Ketika bangku itu kini sepi, tiada lagi yang panjang bercerita. Dengan secangkir teh jahe atau kopi tanpa gula, menemanimu dalam panjang sabarku akan berliku kisahmu. Setiap kalimat mendayu di telinga, menambatkan cinta tanpa masa.
Hanya bekas puntung yang lupa aku bersihkan, untuk menandai kamu dan semua kisah itu. Bawa aku serta berlayar mengarungi indahnya kangen tak berkesudahan. Manikamkan rasa teramat dalam, di ujung pagi dan malam.
Tak ada lagi yang nyaring bunyikan vokal dalam rangkaian konsonan, melambaikan arah marah atau merah kesemuan, sekedar penanda peduli berbagi.
Damaiku adalah saat kicau burung itu menyanyi bersamamu, atau semilir angin dari bunga asoka kuning, merah dan orange yang tertata rapi di samping bangku kita.
Mungkin sudah disabdakan, akulah tulangmu yang hilang, melengkapi keberadaanmu dalam tangis dan tawa.
Malam ini kupanjatkan doa untukmu, wahai kekasih. Walau aku tak boleh sepenuh mencintaimu karena ada Dia yang tak bisa aku duakan. Dia lah yang menjaga kita, merawat kebersamaan dan juga menuntun kita ke shirotol mustakim.
Damaiku adalah saat tangan kita bergandeng tangan dan mengusap rambutmu yang tak lagi hitam. Melihat anak-anak kita yang tumbuh dewasa satu demi satu. Menciumi mereka bagai satu kesatuan. Syair kehidupan kita rangkai bait demi bait.
Cepatlah pulang, gemericik air ini butuh di siram ke tanaman. Percikan airnya yang selalu kita buat ayunan.Siulan burung itu menunggumu datang. Kokok ayam yang biasa kita goda selalu tak sabar untuk melihat kita.
Kekasih, ada saatnya memang kita berjarak. Agar kerinduan selalu terpupuk oleh masa namun kesunyian terlalu memaksa berlagu sehingga aku tak mampu mengalunkan irama yang senada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H