Ketika perilaku peserta didik menyimpang, siapa yang mesti disalahkan? Apakah orang tua benar hanya menyerahkan semuanya pada sekolah ? Apakah sekolah cukup cakap menanggung semua tanggung jawab ? Ataukah semua adalah tanggung jawab komprehensif dari semua pihak ?
Sering kita lihat di koran on line ataupun di media sosial beragam kasus perilaku peserta didik yang menyimpang. Mulai dari tawuran, mengkonsumsi obat-obatan terlarang sampai pada pergaulan bebas yang berakibat fatal menjadi berita yang hampir tiap hari tersaji.
Di sisi lain, keluarga seperti terlena oleh kesibukan sendiri. Orang tua mencari nafkah dan lupa pada tanggung jawab karakter anaknya. Menurut mereka materi yang tersedia cukup baik anak sebagai sarana memenuhi kebutuhan. Padahal anak sekarang itu kebutuhannya lebih kompleks. Dibanding kebutuhan anak jaman lampau , anak sekarang kompleksitasnya sangat tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan orang tua untuk berkomunikasi, mengobrol, berbagi cerita dan memberi solusi pada anak saat kegiatan tersebut.
Penanaman karakter bisa dilakukan orang tua dengan memasukkan nilai-nilai budi pekerti lewat obrolan, candaan dan juga contoh yang layak ditiru. Contoh etika yang dilakukan tiap hari lebih membekas dari pada sekedar perintah dan larangan tanpa alasan.
Salah satu hal yang menonjol saat ini adalah meningkatnya korban pergaulan bebas di kalangan remaja dan anak-anak. Banyak hal yang mempengaruhi. Eksploitasi eksotisme di media sosial , pembicaraan antar pelaku pornografi dan pornoaksi yang menyebar, fasilitas gadget yang memudahkan akses ke dunia" antah-barantah" orang dewasa menjadi sederet hal yang perlu diwaspadai.
Tuntutan guru semakin kompleks untuk tidak sekedar mengajar tetapi juga mengedukasi, mengontrol pembicaraan, mengawasi perilaku, meluruskan tindakan yang menyimpang dan mencegahnya sebelum terjadi. Tidak bisa serta merta sekolah disalahkan atas semua 'kekhilafan' yang dilakukan oleh peserta didik.Â
Lingkungan pergaulan dan dengan siapa dia bergaul sangat membentuk perilaku anak didik. Maka benarlah apa yang dikatakan supaya kita mencari teman yang baik supaya kita juga ketularan baik. Memberi kesempatan teman yang tak baik seperti membiarkan kita berada di jurang yang dalam dan kita siap-siap terkena risiko.
Beberapa kasus yang terjadi menunjukkan para pelaku itu mempunyai komunitas tertentu dan mereka saling berbagi cerita. Penyebaran informasi ini bisa berdampak juga pada semakin lebarnya perilaku terlalu permisif. Hal ini tentu akan mempengaruhi cara pandang terhadap perilaku yang terjadi.Â
Dibutuhkan penanganan segera untuk bisa ' mengamputasi ' kasus -kasus seperti ini. Memang ketika seorang atau beberapa peserta didik dikeluarkan karena kedapatan menjadi pelaku akan menjadikan sekolah menanggung aib tetapi paling tidak lebih banyak yang terselamatkan dari kegiatan yang tak mendidik ini. Risiko menyelamatkan generasi yang lebih baik sangat lebih bermanfaat dari pada menutup aib tetapi akan mendegradasi moral.Â
Kompleksitas masalah ini tidak akan terjadi jika orang tua pun turut serta menjalankan perannya sebagai ujung tombak penjaga karakter keluarga . Sekolah melengkapi dengan pendidikan akademik , kedisiplinan, respek dan tanggung jawab dan masyarakat memantaunya dengan mengupayakan kepedulian pada lingkungan, etika pergaulan dengan masyarakat.Â
Pemerintah pun tak kalah pentingnya dalam hal ini. Banyak tes dan assessment yang hanya mengevaluasi kompetensi tanpa melihat attitude. Berilah peningkatan sumber daya manusia pada guru yang tidak hanya meningkatkan kompetensi tetapi juga " jiwa " untuk mendidik. Kita tentu masih ingat bagaimana guru-guru kita di jaman dulu begitu tulus mendidik kita walau gaji mereka tak seberapa. Ketulusan para guru, dedikasi yang tak pernah berhenti dan diimbangi dengan perilaku para peserta didik yang sangat beradab dalam menimba ilmu menjadi ilmunya berkah dan bermanfaat sampai akhir jaman.Â