Mohon tunggu...
Ahlis Qoidah Noor
Ahlis Qoidah Noor Mohon Tunggu... Guru - Educator, Doctor, Author, Writer

trying new thing, loving challenge, finding lively life. My Email : aqhoin@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar dari Manajemen PPDB 2018

12 Juli 2018   17:05 Diperbarui: 13 Juli 2018   15:04 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PPDB ( Penerimaan Peserta Didik Baru )  dengan sistem hak istimewa untuk siswa miskin telah dimulai dari tahun kemarin ( 2017/2018 ) dan di tahun 2018/2019 adalah tahun kedua dari program "hak privilege" itu. Yang membedakan adalah di tahun ini ada sistem zonasi . Sistem ini sebetulnya mengadopsi dari luar negeri yang diterapkan di Indonesia. Perbedaanya adalah pada kultur budaya, minat baca, sosial kemasyarakatan, tingkat melek literasi dan tujuan utama. 

PPDB ( Penerimaan Peserta Didik ) tahun 2018 menyisakan banyak hal yang layak direnungkan supaya terjadi penangann yang lebih baik lagi di tahun yang akan datang. 

Tidak ada yang salah bila Pemerintah ingin mengentaskan kemiskinan dengan cara mengajak para siswa miskin untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dengan jaminan sekolah gratis dan beberapa jenis beasiswa. Meskipun kebanyakan beasiswa untuk mereka tidak berdasarkan prestasi tetapi tidak menutup kemungkinan mereka pun juga punya prestasi bila dioptimalkan talentanya.

Saya tidak akan menyoroti Karut Marut pelaksanaan PPDB karena itu sudah berlalu satu minggu berlangsung ini. Ada beberapa hal yang bisa saya petik selaku satu dari sekian juta para pendidik yang menerima kehadiran mereka dan ikut mensurvey mereka di lapangan.

Pemerintah perlu mengoreksi dan mengavaluasi lagi kriteria kemiskinan yang selama ini telah ditetapkan. Bukan saja karena sudah terjadi pergeseran paradigma tentang terminlologi ' miskin' tetapi memang bangsa Indonesia telah mengalami kemajuan dalam hal income per kapita, cara memandang kebutuhan primer, skunder dan tersier tetapi juga mutu kehidupan sudah mulai meningkat.

Langkah awal yang mesti dilakukan adalah indikator kemiskinan perlu ditetapkan sebagai juklak dan juknis para ketua RT dan RW serta Kepala Kelurahan dan Kepala Desa untuk bisa membutuhkan tanda-tangan dengan valid. 

Bila perlu sosialisasikan kebijakan pemberian " privilege' kepada orang miskin ini dan juga try out kan bagaimana cara mendapatkan SKTIM yang valid, jujur, tidak berpihak dan tidan mengandung unsur kepentingan yang merugikan orang lain. 

Dari  14 indikator kemiskininan seperti lantai rumah dari tanah, tidak mempunyai listrik, tidak mempunyai kendaraan bermotor, tidak mempunya jamban dan lain-lain rasa- rasanya jarang sekali bisa dijumpai. Artinya kualitas hidup bangsa Indonesia sudah mulai membaik . 

Tetapi ada juga kondisi yang saya temui . Sebuah keluarga mempunyai sepeda motor tetapi kerjanya serabutan, satu hari kerja tiga hari tidak kerja. Sebuah keluarga lain mempunyai rumah yang berlantai keramik tetapi anaknya 4 dan bapaknya meninggal, ibunya hanya buruh tani. Ada lagi rumah agak mendingan , kedua orang tuanya hanya buruh di warung makan yang satu bulan hanya terima upah Rp.950.000. Rasanya tak cukup untuk hidup satu bulan dengan jumlah keluarga yang tidak kecil.

Jadi kompleksitas di lapangan sangatlah tinggi. Saya tidak sanggup membayangkan bila kriteria ini tak segera direvisi maka akan semakin dibutuhkan evaluasi yang tambah panjang.

Di sisi lain ada juga masyarakat umum yang ingin anaknya bersekolah di tempat yang diinginkan, dekat rumah, favorit atau mungkin dengan pertimbangan lain. Namun dia kalah oleh kartu SKTM . Maka  meluncurlah dia ke sekolah yang jauh dari dia harapkan. Dengan tidak adanya baats maksimal  bagi mereka yang miskin untuk masuk sekolah maka di beberapa sekolah di daerah tertentu kuota miskin ternyata lebih dari 50 % . bahkan ada yang mendekati 100 %. Ini terjadi di salah satu desa yang semua warganya mendapat SKTM. Terlepas dari cara memperolehnya , maka pihak yang bertanggungjawab menjadi lebih panjang dan lebar. Tidak sekedar mereka yang membutuhkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun