Di panas mentari sekitar 39 derajat aku sampai di kampus. Inilah hariku mengejar tanda tangan para pejabat sebelum aku ujian terbuka layak. AC tak mampu dinginkan badan.
Duduk mematung rasanya tak sanggup aku lakukan. Segera ku ayun kaki kulangkahkan. Sejenak ambil air wudhu saat adzan menjelang. Usapan air di wajah sedikit menghilangkan gerah.
Usai sholat hatiku tenang, kembali ku duduk di seberang kursi panjang . Ada banyak mahasiswa lalu lalang. Menenteng buku, lap top dan juga ragam tugas serta beban. Lift berganti naik turun bantu mereka tak ada jeda  tak ada hitung.
Sebelahku seorang ibu muda tergesa bertanya. Sudah semester berapa aku rupanya? Kujawab semester ekstra. Ah, aku malu terangkan lebih jauh dan terang.
Dia ingin cari rekomendasi dosen untuk S 3 nya. Janganlah sampai berdarah --darah kataku menyapa. Dia penasaran namun mengerti kenapa.
Di samping kananku seorang anak muda seusia adikku. Lebih muda dua tiga tahun. Bersedih dan lama mematung.
Aku tak tahan kusapa dia dalam mata muram. Dia ceritakan baru saja dipersilahkan pergi karena tak ada janji ketemuan.
Wow. Â Aku kaget tapi kusampaikan memang benar. Ada saatnya dosen tak boleh gegabah kita ganggu walau tak semua begitu.
Maka mengalirlah cerita sepanjang dua jam berganti menit berlalu detik menunggu. Tentang nilainya yang mengharu biru. Bila tidak B maka dia akan bersedih dan kelu.
Kujawab. Car saja dosen lain dan jadikan indah nilai akhir. Dia sumringah dan memintaku nama sang penyelamat akhir. Aku berikan dua tiga nama dan iapun riang gembira.
Dia mulai beri cerita lagi tentang artikel jurnal internasional yang jadi persyaratan ujian. Ku katakan baiklah dari sekarang dia mulai mengarang dan mencincang ide untuk dipatahkan . Menulislah demi intelektual dan menulislah demi kebaikan dan kemashuran.