Oleh: Ahlan Mukhtari Soamole
Pemerintah ekstraktif dengan kepemimpinan otoriter menyimpang menyembunyikan segala kepentingan kelompok, 'mengoyak-ngoyak' tubuh negara, keputusan kebijakan-kebijakan seremonial atas upaya keterlibatan pada kebutuhan kepentingan rakyat, kepemimpinan terjerumus dalam lingkaran pragmatis memperkaya diri, kelompok, memarjinalkan rakyat, menurunnya kepercayaan (distrust) bukankah itu adalah kepemimpinan amat lampau tertinggal tak perlu dibutuhkan samasekali pada era masa perubahan, perubahan menuju kemajuan bersandar pada institusi-institusi  inklusif modern mengutamakan kepentingan banyak orang. Inovasi institusi berdasar nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kemakmuran.Â
Kepemimpinan ekuivalen dengan kepemimpinan sains melibatkan kemampuan membaca alam, kemelaratan. Kemerosotan ekonomi, politik sehingga mampu merumuskan kebijakan secara signifikan. Sebagaimana seringkali diketemukan 'pemerintah dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat'.Â
Kepemimpinan berasal dari kebijaksanaan kepeduliaan mengarahkan kecerdasan emosional pada orang lain termasuk pada pengelolaan sumber daya alam untuk pemanfaatan bagi orang banyak adalah suatu kepemimpinan inklusif maju modern.Â
Ketersediaan sumber daya alam melimpah sebagaimana barang tambang logam, nikel dll, mempunyai harga melimpah namun pengelolaan dilakukan hanya bertolak dari eksploitasi. Dan produksi semata. Kebijakan pengelolaan tambang keterbelakangan pada pengusahaan pengelolaan dengan kebijaksanaan tersebut. Tak hayal bilamana akumulasi modal, keuntungan bersifat sepihak menguntungkan pemerintah, korporasi tersebut dalam kompromi, kebijakan politik menyimpang korporasi korup mendikte institusi-institusi sehingga kebijakan berupa suatu konsesus merepresentasi adanya kepentingan korporasi tersebut.
Alam melimpah ruah menyediakan segala isi kekayaannya untuk kehidupan, Tindakan politik tanpa meletakkan prinsip pembangunan secara menyeluruh dengan mengikuti tata cara pengelolaan barang tambang atau dinamika pertambangan baik dan benar dalam menghasilkan sumber daya alam melimpah mensejahterakan, komoditas tambang tersebut tak dapat diupayakan pembangunannya pada pemenuhan hasil bila mekanisme pengolahan diperuntukkan pada pasar dan laba korporasi atau pemerintah semata.Â
Kebijakan ekstraktif dapat mempolarisasi berbagai keputusan politik menguasai potensi komoditas sumber daya alam ekonomi untuk pertumbuhan ekonomi perspektif ekonomi kerapkali menjadi dalil dalam poros pada rencana ditentukan tersebut.
Sebagaimana pada pusat kapitalisme mengutamakan penguasaan materil, alat produksi sebaliknya penguasaan tanah borjuis, aktivitas penguasaan itu mengakumulasi modal dan keuntungan, eksploitasi terus-menerus disparitas, degradasi lingkungan, konfrontasi hingga kerusakan lingkungan. Penguasaan kekayaan alam melimpah tak selaras kesejahteraan, kemakmuran merupakan suatu kutukan dalam pengelolaan sumber daya alam kekayaan alam dan bentangan alam luas terhimpit kecenderungan destruktif bencana alam, banjir, gempa bumi dll. Krisis lingkungan surplus produksi seyogyanya bertolakbelakang tat kala seiring itu kemelaratan dan kemiskinan kian menghimpit kehidupan secara menyeluruh.
*Ditulis oleh Ahlan Mukhtari Soamole (Penulis adalah Pegiat Pertambangan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H