Sebuah produk yang sebelumnya populer dan diperjualbelikan secara luas, Albothyl, mendadak menjadi sorotan perhatian publik. Isu-isu terkait keamanan dan dampaknya pada  kesehatan konsumen telah memicu kekhawatiran dan meningkatkan permintaan penjelasan yang jelas dari pihak berwenang. Kasus Albothyl ini telah membangkitkan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang praktik industri, tanggung jawab perusahaan, dan pentingnya etika dalam masyarakat konsumen.
PT Pharos Indonesia pun menyatakan akan melakukan penarikan terhadap produk Albothyl yang biasa digunakan sebagai antiseptik dan untuk sariawan, dalam waktu dekat. Ida mengatakan, pihaknya menghormati keputusan BPOM yang membekukan izin edar Albothyl, hingga ada persetujuan perbaikan indikasi. Untuk itu, akan dilakukan penarikan secepatnya terhadap produk tersebut dari seluruh wilayah Indonesia.
Albothyl yang beredar di pasaran saat ini mengandung zat bernama Policresulen dengan konsentrasi 36%. Policresulen adalah senyawa asam organik (polymolecular organic acid) yang diperoleh dari proses kondensasi formalin (formaldehyde) dan senyawa meta-cresolsulfonic acid. Policresulen yang diaplikasikan pada sariawan akan menyebabkan jaringan pada sariawan menjadi mati. Itulah alasan kenapa saat albothyl digunakan pada sariawan akan terasa sangat perih, namun kemudian rasa perih hilang dan sakit pada sariawan pun tidak lagi terasa.
BPOM RI melalui siaran pers-nya menyampaikan, sudah secara rutin melakukan pengawasan keamanan obat beredar di Indonesia melalui sistem farmakovigilans. Tujuannya, untuk memastikan obat beredar tetap memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu. "Dan diputuskan tidak boleh digunakan sebagai hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan serta penggunaan pada kulit (dermatologi); telinga, hidung dan tenggorokan (THT); sariawan (stomatitis aftosa); dan gigi (odontologi)," ujar pernyataan BPOM RI, Kamis (14/2).
Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Pelaporan ini sifatnya bisa berupa Pelaporan spontan, Pelaporan Berkala Pasca Pemasaran (Periodic Safety Update Report), Pelaporan studi keamanan pasca pemasaran, Pelaporan publikasi/literatur ilmiah, Pelaporan tindak lanjut regulatori Badan Otoritas negara lain, pelaporan tindak lanjut pemegang izin edar di negara lain, dan Pelaporan dari perencanaan Manajemen Resiko.
Pihak apotek sudah tidak menjual produk Albothyl dan menunggu ganti rugi dari PT Pharos Indonesia selaku produsen obat sariawan tersebut untuk menariknya stoknya. "Kami langsung nggak jual. Saya juga takut kalau misalnya ada orang BPOM yang pura-pura beli tapi ternyata mau sidak, kami juga nggak mau kena. Intinya kalo kami ada informasi. Kami sudah harus bisa menyingkirkan barang-barang tersebut," ucap JN kepada Tirto, Senin(19/2/2018).
Dalam teori etika teknik industri, terdapat beberapa pendekatan terkait kasus Albothyl ini. Beberapa teori etika yang relevan antara lain:
Utilitarianisme, pendekatan ini menekankan pada pencapaian kebaikan yang sebesar-besarnya bagi banyak orang. Dalam konteks kasus Albothyl, pendekatan ini akan menilai dampak penggunaan produk tersebut terhadap masyarakat secara keseluruhan. Jika penggunaan Albothyl secara signifikan mengurangi masalah kesehatan atau memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat, maka pendekatan ini mungkin akan mendukung penggunaan produk tersebut.
Etika Deontologi, pendekatan ini lebih fokus pada prinsip-prinsip moral yang mutlak dan melihat apakah tindakan yang diambil sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut. Dalam kasus Albothyl, pendekatan deontologi akan menekankan pada prinsip-prinsip seperti keadilan, kebenaran, atau hak asasi manusia. Jika terdapat pelanggaran prinsip-prinsip tersebut dalam produksi atau penggunaan Abotil, maka pendekatan deontologi mungkin akan menolak produk tersebut.
Dalam konteks etika enjiniring, penarikan produk yang telah diperjual belikan merupakan isu yang penting. Adapun alasan penarik produk dengan memperhatikan :
Keselamatan dan kesehatan konsumen: Keselamatan dan kesehatan konsumen harus menjadi prioritas utama dalam pengambilan keputusan terkait penarikan produk. Jika ada bukti atau kekhawatiran yang meyakinkan bahwa produk tersebut dapat menyebabkan bahaya atau risiko serius bagi konsumen, maka penarikan mungkin diperlukan sebagai langkah etis untuk melindungi publik.