Mohon tunggu...
ahkam jayadi
ahkam jayadi Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Masalah Hukum dan Kemasyarakatan Tinggal di Makassar

Laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Memaafkan Koruptor Menentang Penegakan Hukum

31 Desember 2024   12:51 Diperbarui: 31 Desember 2024   12:51 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memaafkan Koruptor Menentang Penegakan Hukum

Oleh: Ahkam Maryadi 

Pendahuluan

 Wacana memaafkan koruptor dengan syarat pengembalian uang hasil korupsi menuai polemik di masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa langkah ini efisien dalam memulihkan kerugian negara, tetapi banyak pula yang mempertanyakan keadilan langkah tersebut. Jika koruptor dapat dimaafkan hanya dengan mengembalikan uang yang dicuri, bagaimana dengan pelaku tindak pidana lainnya yang secara kuantitas dan kualitas berada di bawah tindak pidana korupsi, seperti pencurian kecil atau penipuan sederhana? Apakah mereka juga layak mendapatkan pengampunan serupa? Artikel ini akan membahas implikasi etis, hukum, dan sosial dari kebijakan tersebut.

Tinjauan Teoretis

 Teori Utilitarianisme, Menurut Jeremy Bentham, hukum seharusnya menghasilkan "the greatest happiness for the greatest number." Dalam konteks ini, kebijakan memaafkan koruptor dengan syarat pengembalian uang mungkin terlihat masuk akal, karena dianggap meminimalkan kerugian negara. Namun, teori ini juga menekankan bahwa keadilan harus menjadi bagian dari kebahagiaan kolektif. Jika rakyat merasa hukum hanya melayani elite, maka rasa ketidakadilan akan menciptakan ketidakstabilan sosial yang jauh lebih besar.

 Teori Keadilan Retributif, John Rawls, dalam A Theory of Justice (1971), menegaskan bahwa keadilan harus bersifat retributif, yaitu memberikan hukuman yang setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Jika korupsi, sebagai tindak pidana berat, dimaafkan begitu saja, maka prinsip retributif ini akan runtuh. Hal ini dapat menciptakan persepsi bahwa kejahatan "besar" lebih mudah dimaafkan dibandingkan pelanggaran kecil, sehingga merusak kepercayaan terhadap sistem hukum.

Perbandingan dengan Tindak Pidana Lain

 Jika seorang pencuri kecil yang mengambil uang senilai ratusan ribu diproses secara hukum dan dihukum berat tanpa ampun, maka memaafkan koruptor yang mencuri miliaran rupiah bahkan trilyunan mencerminkan ketimpangan moral dalam sistem peradilan. Selain itu, pelaku tindak pidana ringan seperti pencurian kecil sering kali terdorong oleh kebutuhan dasar, sementara korupsi adalah kejahatan yang dilakukan secara sadar dengan niat serakah.

 Dalam bukunya, Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform (Rose-Ackerman, 1999, Cambridge University Press), Susan Rose-Ackerman menyebutkan bahwa korupsi tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menciptakan dampak sistemik berupa penurunan moralitas publik. Jika koruptor tidak dihukum berat, maka pesan yang disampaikan kepada masyarakat adalah bahwa kejahatan dengan dampak besar bisa dinegosiasikan.

Kutipan Praktik Internasional

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun