Mohon tunggu...
ahkam jayadi
ahkam jayadi Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Masalah Hukum dan Kemasyarakatan Tinggal di Makassar

Laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Urgensi Akhlaki bagi Hakim Konstitusi

20 Juli 2023   11:09 Diperbarui: 23 Juli 2023   09:17 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

URGENSI AKHLAKI BAGI HAKIM KONSTITUSI 

Oleh: Ahkam Jayadi

1. Pendahuluan 

Proses peradilan adalah proses formal untuk menyelesaikan sebuah perkara. Proses tersebut dipahami sebagai proses yang dapat menyelesaikan suatu perkara dengan adil. Hanya saja pada diri proses peradilan itu terdapat realitas yang tidak dapat dihindari bahwa proses itu tidak dapat menghilangkan konflik yang sejatinya tetap memperkuat konflik yang ada dengan lahirnya putusan yang pada satu sisi memenangkan satu pihak dan pada sisi lain menempatkan satu pihak sebagai tersalah atau yang kalah. Putusan pengadilan seringkali bagi pemenang di sebut adil dan yang kalah menganggap tidak adil.

Realitas itu tidak terkecuali juga terjadi di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai peradilan konstitusi. Seperti yang kita sudah ketahui tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi yang tertuang pada UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) adalah: Melaksanakan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir dengan putusannya yang bersifat final dan mengikat dalam menguji perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar (judicial rivew); Mengadili sengketa kewenangan Lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; Memutuskan pembubaran partai politik; Memutuskan konflik hasil pemilihan umum (presiden, legislatif dan pemilihan kepala daerah). Sedangkan kewajibannya adalah: memberikan putusan berdasarkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berkaitan dengan dugaan tindak pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden atas Undang-Undang Dasar. Lebih lanjut di atur di dalam UU MK RI No. 8 Tahun 2011 dan berbagai peraturan perubahannya.

Betapa di dalam realitas putusan MK RI seringkali menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat terkait dengan soal keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Lihatlah putusan MK tentang KUHPidana, UU Cipta Kerja, UU tentang IKN, UU tentang P3, Perkawinan beda agama dan yang lainnya. Gugatan tentang hasil pemilihan Presiden tahun 2014 dan tahun 2019. Demikian juga dengan masalah internal seperti: kasus pergantian Hakim Konstitusi Aswanto; Ketua Mahkamah Konstitusi yang besannya Presiden; masa jabatan Hakim Konstitusi dan yang lainnya.

Realitas tersebut menggugah Satjipto Rahardjo (2006)  dengan melahirkan  "hukum progresifnya". Teori yang menempatkan hukum sebagai alat bukan tujuan. Hukum harus mengabdi kepada kepentingan manusia (masyarakat) bukan atas dasar yang lainnya. Pada ranah inilah sejatinya nilai-nilai akhlaki atau etik dapat berperan dalam mewujudkan putusan peradilan menjadi adil yang dapat diterima oleh semua pihak. Mahkamah Konstitusi di tuntut untuk menjaga dan menegakkan UUD 1945 melalui pelaksanaan tugas dan kewenangannya guna kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara bukan sebaliknya.

Jimly (2015) mengusulkan pentingnya peradilan etik untuk mendampingi proses peradilan formal agar tujuan hukum dapat terwujud dengan baik khususnya mengadili hakim-hakim (aparat peradilan) yang menyalah-gunakan tugas dan tanggung-jawabanya, misalnya dengan menjadikan hukum sebagai komoditi (Achmad Ali, 2009). Pertanyaannya kemudian bagaimana seharusnya kita memahami dan menempatkan nilai-nilai etik dalam segenap proses peradilan yang ada terlebih lagi dalam segenap proses kehidupan yang melingkup aparat penegak hukum di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Allamah, 1997).

Dalam proses peradilan secara umum dan secara khusus di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melibatkan lembaga peradilan dengan hakimnya, panitera, para pihak (pemohon dengan termohon atau penggugat dengan tergugat), peraturan perundang-undangan dan duduk perkara yang di sengketakan serta advokat. Pada semua entitas inilah sejatinya nilai-nilai akhlaki itu harus dilibatkan.

Sayangnya hingga kini nilai-nilai akhlaki hanya di tempatkan sebagai etika profesi yang ditempatkan di luar (eksternal etik), sehingga penyimpangan atau pelanggaran kode etik itu senantiasa terjadi. Apatah lagi peradilan pelanggaran etik hanya di lakukan bila ada pihak-pihak yang mempersoalkan pelanggaran etika itu. Akibatnya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi jarang sekali difungsikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun