MEMAHAMI KENAIKAN DAN SUBSIDI BBM
Oleh: Ahkam Jayadi
Kita sering kali terjebak di dalam memahami berbagai kebijakan pemerintah (bahasa atau ungkapan-ungkapan politis). Misalnya berbagai ucapan yang di lontarkan oleh, "Pemerintah" baik melalui presiden maupun melalui menteri- menterinya yang terkait sebagai pembantu Presiden.Â
Ucapan Menteri Keuangan (Ibu Sri Mukyani cs) yang sempat bikin heboh tentang, "pensiunan" yang kini menjadi beban negara. Melonjaknya beban anggaran keuangan negara untuk subsidi BBM hingga 502 trilyun dan berbagai masalah kemasyarakatan lainnya.
Pada tataran ini kita harus memberikan pencerahan kepada masyarakat. Kita jangan hanya mendukung kebijakan pemerintah dan mengabaikan hak-hak konstitusional masyarakat (warga negara). Pada ruang inilah lembaga-lembaga yang ada punya kewajiban.Â
Perguruan tinggi, ilmuan, lembaga swadaya masyaraat, aktivis, tokoh masyarakat dan tokoh agama harus ikut berperan untuk mencerdaskan masyarakat. Menyampaikan atau mengoreksi sesuatu secara baik dan benar, karena kita semua punya kewajiban untuk menyampaikan kebenaran bukan menutupi kebenaran.
Berbagai wacana yang berkembang setiap saat khususnya terkait dengan rencana dan kenaikan BBM (3 September 2022) serta tingginya beban anggaran keuangan negara untuk subsidi BBM dalam beberapa bagian sungguh menyesatkan.
Subsidi BBM yang besar seakan beban negara (pemerintah), hal yang salah dan untuk itu harus dihentikan dengan cara menaikkan harga BBM. Subsidi BBM adalah hak konstitusional warga negara dan kewajiban konstitusional Negara (Pemerintah) sebagaimana amanah UUD 1945 untuk mensejahterakan rakyat. Subsidi BBM masih menjadi keharusan karena negara gagal mensejahterakan rakyatnya.Â
Negara (pemerintah) gagal mengelola dan menggunakan kekakyaan alam negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tentu saja seandainya masyarakat kita sudah sejahtera dengan pendapatan per bulan yang tinggi maka kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok lainnya tentu tidak akan menjadi masalah.
Pada tataran ini juga seringkali pemerintah membuat perbandingan yang salah atau keliru dan tidak substantif, ketika kebijakan-kebijakan yang ada di bandiung dengan apa yang ada di negara lain (apa lagi negara maju).
 Jangan hanya membandingkan harga BBM Indonesia yang jauh dari negara lain, tapi coba juga ingat dan bandingkan bagaimana perbedaan yang sangat jauh pendapatan perkapita masyarakat kita di banding dengan negara lain. Di kawasan Asia saja bagaimana perbandingan pendapata perkapita masyarakat kita (dibadingkan dengan Malaysia, Singapur, Jepang) dan yang lainnya.
Demikian juga kebijakan Bantuan Langsung Tunai dan yang lainnya jelas bukan kebijakan yang substantial karena hanya sesaat dan tidak bisa menyelesaikan maslah secara keseluruhan.Â