Persoalan ini bagi penulis belum lah tuntas hingga sekarang karena nilai-nilai luhur Pancasila masih dipahami dan ditempatkan sebagai sebuah sistem nilai pada sisi lain dan nilai-nilai agama, nilai-nilai sosial dan nilai-nilai kultur dan sejarah pada sisi lain. Celakanya hal ini bahkan banyak dipertontonkan oleh tokoh-tokoh bangsa, para politisi, tokoh-tokoh agama sehingga dampaknya masyarakat juga menjadi terpecah belah pada kelompok-kelompok yang saling klaim sebagai aku, saya, kamu bukan kita dan kami.
Realitas tersebut semakin nyata kita lihat hari-hari belakangan ini terutama menuju Pemilihan Umum 2024 (pemilihan umum presiden, kepala daerah dan legislatif) yang mengusung kepentingan kelompok dan kepentingan pribadi bahkan cenderung terjadi konflik  dan kampanye hitam. Apa benar kita bisa mendorong terwujudnya peradanan dunia yang  inklusif. Peran Rusia dan Ukraina saja hingga kini tidak bisa diselesaikan dan kita tidak melihat adanya kontribusi bangsa ini. Termasuk kontribusi negara-negara maju termasuk PBB kecuali malah menjadi provokator sehingga peran itu belum berhenti hingga sekarang.
Kita tentu di tuntut tidak hanya berani untuk berkata Pancasila atau Salam Pancasila. Tentu saja kita harus berani menunjukkan kepada dunia kepada siapa pun bahwa ucapan, sikap dan prilaku kita adalah berdasar pada nilai-nilai luhur Pancasila. Ucapan, sikap dan perilaku yang inklusif, saling mencintai dan saling menyayangi satu sama lain tanpa dihalangi oleh berbagi perbedaan kepercayaan, kultur, bangsa dan berbagai hal lainnya. Mari kita sebarkan kepada dunia bahwa nilai-nilai luhur Pancasila adalah nilai-nilai luhur yang sesuai dengan harkat dan martabat entitas kemanusiaan dimana pun manusia itu berasal dan berada.#
Ahkam Jayadi,
Ketua Pusat Kajian Pancasila UIN Alauddin Makassar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H