BERDAYAKAN PEREMPUAN MELALUI KADER
Jauh-jauh hari sebelumnya, sosok perempuan ini telah mempersiapkan segala sesuatu yang kiranya berkaitan dengan kegiatan yang akan dilakukan bersama para kader posyandu lainnya. Samo, sebutlah namanya begitu. Dia merupakan kader yang diberi tanggung jawab mengenai segala kegiatan kesehatan yang dilakukan di tingkat Desa Majannang, wilayah kerja tempat tugas kami yaitu Puskesmas Mattirotasi, kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Persiapan yang dilakukan mulai dari mengkoordinir para kader, menyusun laporan kegiatan Posyandu setiap bulan di lingkup desa Majannang sampai menghubungi pemerintah setempat sebagai bagian dari konfirmasi kegiatan. Kegiatan yang dilakukan pada hari tersebut adalah evaluasi program kerja dari KGM (Kelompok Gizi Masyarakat) sebagai bagian dari proyek peningkatan status gizi yang berlabel NICE (Nutritional Improvement through Community Empowerment). Sebenarnya, kegiatan ini dilakukan secara berkala. Maklumlah, kegiatan upaya peningkatan status gizi masyarakat terutama kaum ibu dan anak ini yang dananya bersumber dari bantuan luar negeri membutuhkan proses pelaporan pada setiap periode tertentu.A
Dalam menjalankan berbagai kegiatan, Samo ini boleh dikatakan kader yang terbilang sangat aktif dan penuh inisiatif. Sebagai perpanjangan tangan dari petugas kesehatan Puskesmas di wilayah desa tersebut, dia berperan besar dalam memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat terutama kaum perempuan dan anak. Tak sampai di situ, kalau selama ini mungkin kita hanya mengenal kaum perempuan sebagai kader Posyandu, Samo menghadirkan cerita lain. Dia mengajak sang suami untuk turut serta berperan sebagai relawan (saya menganggap hal ini sebagai terobosan) yang senantiasa terlibat dalam kegiatan yang melibatkan para kader Puskesmas.
Pada kesempatan itu, sang suami yang sehari-harinya bekerja sebagai petani ternyata bertindak sebagai fotografer kegiatan. Dia terlihat beberapa kali berpindah posisi demi berusaha mendapatkan gambar yang cukup dalam mendokumentasikan kegiatan kami di hari itu. Sementara, para kader perempuan lainnya membagi tugas, ada yang memasang spanduk, mengatur kursi-kursi sampai menyiapkan konsumsi mengingat kegiatan dilakukan sampai siang menjelang sore.
Sebagai pembukaan pada acara pada hari itu, ibu yang bertindak sebagai MC (Master of Ceremony) meminta kepala puskesmas memberikan sambutan dan arahan terhadap kegiatan yang dilakukan. Selaku pihak pemerintah setempat, kepala desa yang tidak dapat hadir pada kesempatan tersebut mewakilkan pada ibu MC tadi yang ternyata adalah sekretaris desa.
Perlu kita ingat kembali bahwa proyek NICE yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam hal gizi ini mempunyai sasaran yaitu perempuan dan anak. Beberapa program kerja diantaranya adalah pemberian suplemen zat besi bagi ibu hamil dan menyusui, pemberian garam beryodium, pemberian vitamin A pada balita, pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan, kampanye tentang pentingnya antenatal care (pemeriksaan kehamilan) bagi ibu hamil dalam mempersiapkan persalinannya sampai pada pendirian warung sehat dalam rangka “menghidupi” program kader selanjutnya agar lebih berkelanjutan dan tidak bergantung pada funding (donatur). Ide tersebut muncul dalam rangka memberdayakan para perempuan dalam mencipta dan mengolah makanantradisional yang bergizi guna terwujudnya KGM dan Posyandu Mandiri.
Dalam bekerja secara lintas sektor seperti kegiatan yang dilakukan dua bulan yang lalu di kelurahan, staf kantor kelurahan bekerja sama dengan fasilitator gizi yang ada di tiap desa, petugas gizi Puskesmas dan juga dihadiri olehpara kader. Kegiatan yang dilakukan adalahmeningkatkan keterampilan dan inovasi KGM dalam mengolah makanan bergizi untuk keluarga melalui penyuluhan gizi dan demo masak menu gizi seimbang.
Selama ini, kami sebagai petugas Puskesmas sangat terbantu dengan adanya para kader tersebut. Walaupun kami terlibat langsung di lapangan dalam beberapa kegiatan, peran mereka tidak bisa dianggap remeh. Mereka adalah pihak yang kerap dilupakan. Padahal, para kader tersebutlah terutama kaum perempuan yang sebenarnya menyelami langsung kehidupan masyarakat sekitar karena persentuhan sehari-hari dalam aspek sosial, ekonomi dan budaya. Mereka bekerja secara sukarela dan jelas tidak bisa mengandalkan hidup keluarga dari peranan sebagai kader. Dalam program pemberdayaan inilah, para kader tersebut diberikan insentif guna mendorong semangat serta meningkatkan peran dan keterampilan kader. Walaupun pada umumnya mereka berstatus ibu rumah tangga, mereka tetap bahu membahu menjalankan berbagai kegiatan di tengah kesibukan mengurus keluarga.
Dalam kegiatan Posyandu yang teratur dilakukan setiap bulan baik dilakukan di Poskesdes maupun di rumah warga desa yang bersedia ditempati, para kader tersebut membantu petugas kesehatan dalam menimbang berat badan bayi dan balita, menyiapkan makanan tambahan bergizi untuk balita seperti bubur kacang hijau yang umum ditemukan dalam kegiatan Posyandu dan melakukan pendataan anak yang akan diimunisasi.
Kembali pada sosok Samo yang tergambar sebelumnya inilah yang bisa menjadi inspirasi dalam memberdayakan kaum perempuan di sekitar kita. Semangat dan dedikasinya sangat layak untuk diapresiasi. Selain itu, dia bisa mendorong peran kaum lelaki dalam meningkatkan kesadaran terutama dalam hal gizi dan kesehatan. Hal ini penting dalam menciptakan keseimbangan peran mulai dari lingkungan keluarga. Kesadaran kritis ini harus tetap terjaga dalam proyek pendampingan masyarakat. Fenomena ketergantungan dengan pihak pemberi bantuan seharusnya dieliminir demi kemandirian masyarakat itu sendiri.
Masyarakat mandiri merupakan tanggung jawab kita bersama dan bukan hal yang terlalu muluk untuk diciptakan. Mari kita memulai dari lingkungan terkecil karena nasib masyarakat boleh dikata berada di tangan kaum perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H