Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... -

Seorang WNI yang berusaha mendapatan kembali kebanggaan sebagai orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Banjir Juga Butuh 'MRT'

24 Desember 2012   03:11 Diperbarui: 13 Juli 2015   11:06 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin banjir adalah masalah yang punya track record paling panjang untuk Jakarta, mulai dari jaman Gubernur Jenderal sampai tinggal sebutan Gubernur. Penanganan banjir pun sudah dilakukan dari jaman VOC hingga jaman android yang serba gadget. Jokowi yang baru 2 bulan menjabat juga tampaknya berusaha all out menghadapi banjir dengan pelbagai jurus, mulai dari apel siaga, pembersihan sampah di pintu-pintu air dan kampanye kebersihan. Hasilnya masih jauh dari memadai, hujan periode 5 tahun (kalau dilihat dari siklus banjir 2002 dan 2007) pada tanggal 22 Desember 2012 membuat Jakarta bak kolam raksasa.

Ada satu hal mendasar yang dilupakan, baik Gubernur terdahulu maupun sekarang, adalah menghitung daya dukung debit sistem drainasi yang ada. Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta tidak pernah mempublikasikan rekaman intensitas hujan selama 30 tahun terakhir (walaupun sebenarnya rekaman hujan untuk 100 tahun pun bisa didapat karena pemerintah Hindia Belanda pasti juga melakukannya) agar masyarakat mengetahui bahwa hujan besar yang kemarin terjadi termasuk periode ulang berapa tahun. Gubernur Jokowi pun pasti setuju dengan transparansi data curah hujan agar dapat digunakan oleh masyarakat luas. Selanjutnya PU DKI Jakarta juga membuat peta sistem drainasi, mulai dari tersier, sekunder sampai primer untuk mengetahui berapa sebenarnya debit yang bisa ditampung oleh sistem drainasi.

Gubernur Jokowi harus dapat menekan pihak Dinas PU DKI Jakarta untuk dapat memaparkan sistem drainasi DKI Jakarta berikut daya dukungnya sehingga tidak ada lagi jawaban “sekenanya” soal banjir dari para pejabat DKI Jakarta. Dinas PU DKI Jakarta dapat minta bantuan kalangan perguruan tinggi untuk memberikan kedalaman informasi tentang sistem drainasi, bahkan mungkin membuat masterplan drainasi Jakarta.

Menghitung daya tampung drainasi memilki prinsip sederhana yakni perkalian antara luas area, koefisien limpasan dan tebal intensitas hujan dalam waktu tertentu. Koefisien limpasan di daerah perkotaan umumnya lebih tinggi apalagi jika ruang terbuka hijaunya terbatas. Salah satu cara untuk mengurangi beban drainasi adalah dengan membuat polder, seperti yang telah ada di Pluit, Grogol dan lain-lain.

Hal yang dikhawatirkan dan sangat mungkin adalah apabila daya dukung drainasi DKI Jakarta di beberapa daerah rawan banjir hanya untuk hujan periode ulang 5 tahun, maka harus dilakukan peningkatan besar-besaran infrastruktur drainasi. Aliran drainasi perkotaan membutuhkan saluran dengan kapasitas besar untuk mengalirkan air.  Jokowi harus berani membuat proyek saluran utama drainasi Jakarta serta menambah kolam penampungan di daerah pusat kota dengan anggaran menyerupai proyek MRT.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun