Mohon tunggu...
Arif Hidayat
Arif Hidayat Mohon Tunggu... -

Seorang WNI yang berusaha mendapatan kembali kebanggaan sebagai orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Harga Rumah Sederhana Terus Naik, Kualitas Stagnan

15 Mei 2015   20:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:00 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pembangunan rumah mungkin termasuk yang sangat sedikit mengalami perubahan terutama dari segi struktur, bahkan dibanding dengan pada masa jaman penjajahan Belanda. Perubahan yang paling mencolok hanya pada konstruksi atap yang sekarang lebih banyak didominasi oleh rangka baja ringan. Hal yang paling ironis adalah justru dirasakan adalah penurunan kualitas konstruksi bangunan rumah, mulai dari pojok dinding yang tidak siku, mutu beton yang campurannya sudah jauh dari komposisi 1:2:3, serta balok yang hanya bersifat seadanya. Kualitas rumah sederhana seringkali diplesetkan menjadi rumah BTN alias Bangunan Tidak Normal. Penyebutan nama bank BTN sendiri karena BTN hampir identik dengan rumah sederhana dalam sejarah KPR Rumah Sederhana.

Pada masa terkini rumah sederhana semakin gencar ditargetkan pemerintah dengan program sejuta rumah yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari program pemerintah SBY terdahulu. Sejuta rumah adalah program raksasa dari segi jumlah, sedangkan harganya sudah melambung di kisaran Rp.100 jutaan yang sebenarnya sangat sulit disebut sebagai rumah murah. Pemerintah masih bisa mensiasati dengan uang muka 1% dan bunga 5 %, tetapi tetap saja tidak dapat dipungkiri kalau harganya sudah jauh melqmbung dibanding tahun 90an yang masih berkisar di Rp.11 jutaan atau bahkan Rp.6 jutaan untuk rumah sangat sederhana kala itu. Lantas bagaimana dengan kualitas rumah itu sendiri? Rasanya kita semua gampang sepakat untuk mengatakan bahwa kualitas rumah stagnan atau tidak ada peningkatan. Konstruksi utama masih dapat dikatakan asal jadi karena pihak bank pun lebih memperhatikan tampak depan rumah ketimbang konstruksi bangunan. Alasan rumah murah menjadi penyama persepsi antara developer dan bank.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kualitas rumah menjadi stagnan, antara lain kualitas sumber daya manusia dan teknologi manual. SDM di bidang pembangunan rumah boleh dikatakan seadanya karena kualitas sekelas tukang seperti jaman tahun 90an sudah langka. Tenaga dengan skill lebih tinggi lebih tertarik masuk ke rumah mewah atau bangunan tinggi dengan alasan klasik yakni upah yang lebih baik. Pekerjaannya sendiri hampir sepenuhnya manual sehingga dapat dikatakan sebagai pekerjaan tangan (hand made) padahal skill tenaga yang ada lebih rendah. Artinya, kualitas SDM yang ada sekarang pada sektor perumahan sederhana secara teoritis tidak dapat menghasilkan kualitas struktur rumah yang memadai.

Kondisinya sebenarnya hampir sama dengan sektor pertanian, yakni SDM yang ada tidak memadai karena ketidaksesuaian upah. Jawaban solusi yang paling simpel adalah teknologi. Pemerintah sekarang menjejali sawah dengan traktor dan alat mekanisasi pertanian lainnya untuk mengatasi kesenjangan SDM. Lantas bagaimana dengan sektor perumahan sederhana? Harusnya jawaban sama juga yakni terobosan teknologi yang didukung oleh kebijakan pemerintah.

Sebenarnya teknologi konstruksi rumah sederhana sudah diciptakan oleh Puskim PU, seperti RISHA yang terdiri atas 3 jenis panel, tetapi penerapan di lapangan masih sangat terbatas padahal RISHA didesain untuk 2 lantai. Penulis pernah bertanya ke salah seorang aplikator RISHA dan jawabannya simpel ialah RISHA masih lebih mahal dari bangunan konvensional. Penulis pribadi sangat tidak setuju kalau dibilang lebih mahal karena sebelumnya sudah dihitung dan mestinya lebih murah. Penyebab utamanya adalah tidak ada penggunaan yang masif dan pemerintah tidak pernah menyokongnya secara nyata. Alasan yang lain adalah mungkin teknologinya masih terbilang rumit dan kurang open source padahal merupakan produk dari lembaga pemerintah yang harusnya public domain. Penulis sendiri mencoba mengembangkan Sistem Satu Panel (STUPA) dimana hanya membutuhkan satu jenis cetakan yang selanjutnya gampang dilakukan duplikasi. STUPA diharapkan kelak dapat menjadi teknologi konstruksi yang bersifat open source agar dapat berkembang cepat di masarakat. Penerapan teknologi selanjutnya adalah dengan pengecoran dinding dengan beton ringan melalui pola cetakan di lapangan (in situ) seperti yang dilakukan di Afrika dan India sedangkan kusen jendela dan pintu dapat juga dibuat secara fabrikasi dengan coran beton, sehingga sekitar 60 % pekerjaan dilakukan terfabrikasi.

Dari sisi pasar, Teknologi konstruksi harus dikembangkan secara massal dan kalau perlu dilakukan oleh BUMN besar agar dapat menekan harga jual komponen. Pada gilirannya masarakat dapat membeli secara retail dengan harga murah sedangkan pemerintah dapat menyokongnya melalui peraturan yang mewajibkan penggunaan teknologi konstruksi di pembangunan rumah sederhana, sehingga kelak kualitas bangunan di Papua tidak berbeda dengan daerah Bogor. Sesuai dengan tujuan yang paling utama adalah peningkatan kualitas konstruksi rumah yang diterima oleh rakyat seiring dengan kenaikan rumah dari tahun ke tahun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun