Yogya, 12/02/2022: Pukul 17.++
Menyusuri jalan Malioboro di sore hari, bak berada di sirkuit lenggang pejalan kaki. Jalan itu kini telah ditata dan menjadi tempat pedestrian yang apik. Lalu-lalang warga Indonesia yang menikmatinya menjadi bauran yang kentara.
Sesekali saya mengucapkan ‘nderek-langkung’ ketika terpaksa menerobos kumpulan wisatawan yang sedang duduk-duduk di kursi-kursi atau ibu-ibu penjaja sate yang duduk di dingklik. Kadang beruntung, ucapan saya mendapat balasan ‘monggo’ atau ‘silakan’.
Beberapa kali saya menolak halus, ”Mboten Pak, badhe mlampah kemawon” ketika bapak-bapak becak menawarkan diri untuk mengantar ke tempat oleh-oleh.
Di bawah anugerah surya yang sama yang perlahan menuju peraduannya, saya masih merasakan kenangan Malioboro dulu. Beberapa kali jalan itu menjadi tempat katarsis, melepas lelah di malam minggu setelah suntuk dengan buku kuliah.
Perlahan keramaian para penikmat Yogya mulai terasa menjelang jam enam sore. Teras Malioboro 1 pun urung saya masuki walau para penegak protokol kesehatan intens mengontrol. Namun gencarnya pemberitaan gelombang Omicron menjadi pertimbangan saya untuk tidak ikutan bergabung di kerumunan. Toh kali ini, tujuan singgah sehari di Yogya sekedar refreshing, tidak sedang membawa misi belanja oleh-oleh untuk anak-istri.
Yogya, 12/02/2022: Pukul 18.++
Kami pun melanjutkan berjalan kaki menyusuri trotoar ke arah selatan hingga sampai di perempatan menuju alun-alun. Di sekitar perempatan, gedung-gedung cagar budaya tetap tegar dan gagah, masih sama seperti dulu. Walau tua dan khas, bangunan-bangunan inilah yang meneguhkan karakter Yogya sebagai kota utama di bumi pertiwi sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang.