Mohon tunggu...
Ahmad HasanHariri
Ahmad HasanHariri Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

Mahasiswa Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Senang menulis cerpen, tapi sudah lama belum mempublish-nya lagi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku: "Muslimah Feminis: Penjelajahan Multi Identitas" Karya Dr Dara Affiah

7 Juni 2022   21:19 Diperbarui: 7 Juni 2022   21:30 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku berjudul "muslimah feminis: Penjelajahan Multi Identitas" ditulis oleh Dr. Neng Dara Affiah diterbitkan oleh NALAR pada tahun 2009. Buku ini terbagi ke dalam empat bab: Aku dan Etnisitas; Aku sebagai Muslim; Aku sebagai Perempuan; dan Aku sebagai Anak Bangsa.

Buku ini menjelaskan pentingnya identitas. Identitas merupakan penegasan sosial mengenai keberadaan seseorang dari tanah itulah berasal. Etnisitas amat melekat dalam diri seseorang dengan identitas entik tertentu pergi dan dengan mobilitas sosial yang tinggi, maka etnisitas tetap melekat kuat pada diri seseorang. Dalam bab ini juga dijelaskan berbagai studi yang menegaskan bahwa etnisitas tidak akan lenyap meskipun dalam masyarakat yang plural. Hubungan etnis menjadi kompleks dan problematik tatkala kelompok-kelompok itu dipisahkan satu sama lain oleh ciri-ciri pembeda.

Selanjutnya, bab ini juga menjelaskan sejarah Banten yang telah ditulis oleh R. Hosein Djayaningrat, salah satu doktor pertama asal Indonesia asal Serang, Banten. Dijelaskan dalam bab ini, Kesultanan Banten dalam merintis daerah ini didukung oleh pedagang Muslim dari berbagai daerah di Nusantara maupun di luar Nusantara. Sultan Hasanuddin dianggap sebagai pendiri kerajaan Banten dan Sunan Gunung Jati lebih dipandang sebagai ayah yang membimbing puteranya hingga sanggup mendirikan kerajaan yang berdiri sendiri. Dalam bab ini dijelaskan juga berbagai sejarah banten dari masa ke masa.

Penulis yang berasal dari Kecamtan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Penulis lahir pada bulan April tahun 1970, anak dari pangangan ibu seorang guru agama dan ayah pemimpin pesantren pemimpin masyarakat. Penulis hidup pada masyarakat yang prular dan berbagai etnis, tetapi mayoritas beragama Islam. Tempat tinggal masa kecil penulis juga terdapat beberapa k      elompok. Pertama, menak, yaitu kelompok pegawai negeri yang bekerja di berbagai instansi pemerintahan dan menjadi guru di sekolah negeri. Mereka berasal dari Sunda Priangan yang bertugas sebagai pegawai negeri atau masyarakat setempat yang cenderung mengidentifikasi pada menak Priangan, Jawa Barat, baik dari cara berbicara maupun perilaku hidupnya. Namun, identitas Muslim mereka tetap dipertahankan. Kelompok kedua adalah kelompok Islam modernis yang pada zaman pemerintahan Sukarno berafiliasi pada partai Masyumi. Mereka bukan ahli agama Islam, tetapi sangat kuat menggunakan simbol-simbol Islam, seperti menjadi tokoh dari partai Islam tertentu. Di antara mereka adalah kaum pedagang yang cukup berpengaruh dan anak mereka kebanyakan disekolahkan di sekolah-sekolah umum. Pada masa Orde Baru mereka cenderung memilih Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai pilihan politik. Hanya sedikit dari mereka yang berafiliasi pada Nahdlatul Ulama (NU) yang senantiasa mempraktikan tradisinya seperti maulidan, barzanzian, tahlilan. Penulis sendiri mengatakan bahwa beliau tidak sepenuhnya sebagai warga NU, karena keluarga neneknya murid langsung dari K.H. Abdurrahman, pendiri organisasi Islam Mathlaul Anwar. Bahkan keluarga neneknya ada yang dinikahkan dengan keluarga K.H. Abdurrahman.

Penulis menjelaskan bahwa ia tidak pernah memilih Islam sebagai agama yang dianut, melainkan melekat begitu saja sebagai identitas yang dibawa sedari lahir. Kakek buyut dari ibu penulis, K.H. Yusuf Syamaun merupakan ulama yang sangat berpengaruh dalam mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di lingkungan mereka. K.H. Yusuf Syamaun adalah pendiri masjid dan pesantren di lingkungan tempat tinggal penulis. Ia mewariskan ilmunya kepada para murid dan anak-anaknya kemudian diteruskan dari generasi ke generasi yang sekarang mereka terus kembangkan sampai saat ini. Kakek penulis sangat mewarisi pendidikan Islam tradisional dengan model pendidikan pesantren. Ayah penulis merupakan lulusan pesantren, maka dari itu pemahaman tentang Islam tidak lagi diragukan.

            Selanjutnya penulis membahas fenomena persatuan umat Islam. Seperti ide yang digagas oleh Jalaluddin al-Afghani tentang pan-Islamisme, yakni persatuan umat Islam. Penulis yang bergelut dalam bidang sosiologi memandang bahwa persatuan umat Islam masih menjadi gagasan utopis, ada dalam ide tetapi tidak ada di dunia nyata. Islam yang bersatu hanyalah pada zaman Rasulullah di mana semua permasalahan bisa ditanyakan kepadanya. Rasulullah adalah Al-Qur'an berjalan, karena mendapat wahyu secara langsung dari Allah. Ketika Rasulullah meninggal, muncul perdebatan dan perpecahan umat Islam karena perbedaan penafsiran ayat Al-Qur'an, sehingga muncullan khawarij, murji'ah, syi'ah, bahkan Ahlusunnah wal Jama'ah. Golongan-golongan tersebut menggunakan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai rujukan, tetapi cara memaknainya amat beragam. Akibatnya terjadilah perdebatan yang panas di antara mereka.

            Selanjutnya, penulis menjelaskan identitasnya sebagai perempuan. Baginya, perempuan ialah kodrat yang tidak dapat ditolak dan ditawar. Sejak kecil penulis sudah dididik dan disosialisasikan sebagai perempuan, seperti mengerjakan rumah tangga. Hal ini terjadi pula pada kakak laki-laki penulis, ia bisa bebas bermain kapan pun dan dengan siapa pun, menonton film, belajar di rumah teman, dan lain sebagainya yang tidak dapat dilakukan oleh penulis. Orang tua penulis sangat membeda-bedakan gender kepada anak-anaknya. Anak laki-laki diharapkan untuk menjadi ulama dan cendekiawan, sementara anak perempuan tidak diberi hak yang sama dengan anak laki-laki. Penulis menjadikan neneknya sebagai inspirasi. Neneknya bukanlah seseorang yang berpendidikan tinggi, tetapi ilmu yang didapatkan dari pesantren dimaksimalkan untuk masyarakat di lingkungannya. Ia mendirikan berbagai sekolah yang sampai saat ini masih ada. Tentunya ada banyak masalah yang didapatkan ketika mendirikan sebuah lembaga pendidikan, terutama pada perempuan. Namun dengan semangat dan kegigihan beliau, sekolah itu melahirkan banyak peserta didik dari generasi ke generasi. Hal inilah yang menjadi poin bahwa gender bukanlah penghalang atau penghambat bagi seseorang untuk bermanfaat bagi orang lain. Karena pada prinsipnya, kehebatan seseorang bukan dilihat dari gendernya, melainkan tekad yang kuat dan kegigihan, sehingga melahirkan kesuksesan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun