Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas adalah salah satu buku yang ditulis pada tahun 2017 oleh Neng Dara Affiah. Buku ini menjelaskan rekaman dan catatan jejak gerakan perempuan Indonesia dengan penanda Era Reformasi. Secara garis besar, buku ini menjelaskan tiga inti pembahasan, antara lain: Islam dan Kepemimpunan Perempuan; Islam dan Seksualitas Perempuan; dan Perempuan, Islam, dan Negara.
Bab Pertama: Islam dan Kepemimpinan Perempuan yang terbagi pada tujuh sub-bab. Namun, saya hanya akan membahas tiga dari tujuh sub-bab tersebut. Sub-bab pertama adalah Islam dan Kepemimpinan Perempuan yang pada sub-bab ini disajikan Q.S. Al-Hujurat 49:13 yang membahas tentang keutamaan ajaran Islam yang memandang manusia secara setara dengan tidak membeda-bedakan mereka berdasarkan kelas sosial, ras, dan jenis kelamin. Dalam agama Islam yang menjadi pembeda adalah kualitas ketakwaan dan kebaikan selama hidup di dunia untuk menjadi warisan amal baik yang ditinggalkannya setelah meninggal.
Selanjutnya, pada sub-bab dijelaskan orang yang pertama kali menghayati kebenaran Islam adalah seorang peremuan bernama Khadijah, istri Rasulullah yang menyampaikan ajaran Allah. Khadijah sangat mendukung perjuangan Nabi dengan memberikan sebagian besar hartanya untuk menjalankan dakwah. Hal inilah yang membuat Nabi sangat terkesima terhadap Khadijah atas pengorbanan yang ia berikan. Perempuan lain yang sangat disayang Nabi adalah Aisyah. Nabi memberikan banyak ilmu pengetahuan padanya sehingga ia tumbuh dan berkembang sebagai ahli ilmu agama Islam dan ahli sastra, sehingga banyak sahabat Nabi dan para penerusnya berguru padanya. Tidak lupa juga pada sosok Fatimah, seorang anak perempuan kesayangan Nabi, tetapi tidak dalam bentuk dimanjakan dengan harta dan kebesaran nama orangtua, melainkan dengan mendidiknya dengan pembentukan mental yang kuat dan penuh kesahajaan.
Ketiga perempuan tersebut merupakan sosok yang paling disayangi Nabi sepanjang hidupnya. Pada saat itu, perempuan dianggap sebagai manusia tidak utuh, dianggap aib, bahkan diremehkan. Setiap kelahiran perempuan, bangsa Arab tidak segan untuk membunuh bayi perempuan. Namun, setelah Muhammad bin Abdullah lahir lalu menjadi Nabi dan Rasul, martabat perempuan sama dengan laki-laki, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal ini pulalah yang menjadi dasar kepemimpinan perempuan dalam pandangan Islam.
Allah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan tidak lain hanyalah untuk menjadi pemimpin (Q.S. Al-Baqoroh: 30). Dalam hal ini, pemimpin dimaknai dengan cakupan yang sangat luas. Ia dapat menjadi pemimpin pemerintahan, pemimpin keluarga, dan pemimpin untuk dirinya sendiri. Namun dalam hal ini, yang lebih penting bagi manusia adalah menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri, yaitu bertanggung jawab pada yang harus diemban dan melaksanakannya dengan penuh amanah. Berdasarkan hal tersebut, tidak ada larangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin.
Namun ada sebuah permasalahan klasik dalam pemahaman kepemimpinan perempuan. Permasalahan tersebut terletak pada kesalahan pemahaman pada ayat: "Laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab atas kaum perempuan" (Q.S. An-Nisa :34). Para ahli tafsir menjelaskan kata qowwam sebagai penanggung jawab, pemilik kekuasaan untuk mendidik perempuan, pemimpin, penjaga moral dan fisik, penguasa, dan pengelola masalah-masalah perempuan. Pada sub-bab ini dijelaskan secara rinci dan detail mengenai ayat-ayat dan hadis mengenai kepemimpinan perempuan. Namun pada intinya, sub-bab ini mencoba kritis problem-problem dalam kepemimpinan Islam.
Sub-bab kedua membahas tentang Kepemimpinan Perempuan dan Otonomi Diri. Pada bab ini dijelaskan bahwa pemimpin perempuan dalam masyarakat hampir dapat dipastikan memiliki hubungan dengan nama-nama besar ayah dan suaminya. Misalnya Benazir Bhutto, anak Ali Bhutto; Begum Khalida Zia, istri mantan presiden Zia ur-Rahman; Syeikh Hasina, putri presiden Mujibur Rahman; dan Megawati Soekarnoputri, anak presiden RI pertama, Soekarno.
Sub-bab ini juga menjelaskan bahwa kepemimpinan perempuan memiliki kesan hanya lahir dari kalangan elit tertentu. Apalagi dalam masyarakat yang bercorak feodal tradisional, kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh keturunan, bukan kemampuan. Ini terjadi pada Benazir Bhutto yang dituduh lawan politiknya, bahwa ia mengeksploitasi nama besar mendiang ayahnya, terbukti dengan mengangkat isu Bhuttoisme sebagai paham yang mebela masyarakat miskin dan tertindas. Hal ini juga terjadi pada Megawati Soekarnoputri yang mengusung ide Soekarnoisme dan mengangkat isu wong cilik dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sehingga menjadi pemenang pemilu tahun 1998.
Sub-bab ketiga yaitu Kepemimpinan Perempuan: Andai Megawati Jadi Presiden. Pada sub-bab ini penulis membahas studi kasus tentang fenomena kepemimpinan Megawati sebagai calon presiden. Penulis membeberkan analisis kepemimpinan Megawati menurut Dr. Onghokham. Dr. Onghokham berpendapat bahwa figur Megawati memiliki karakter keibuan yang cukup kuat dan sangat mengayomi. Analisis Ong (panggilan akrab Dr. Onghokham) mencermati kepemimpinan dalam perspektif gender. Kerinduan arus masyarakat kepada figur pengayom merupakan kejenuhan pada pola kepemimpinan bapakisme yang terlampau mengedepankan sikap otoritarian, hierarkis, penakluk, dan represif yang diterapkan oleh rezim sebelumnya. Kejenuhan tersebut kemudian melahirkan kerinduan pada sosok pemimpin yang mendengarkan hari rakyat, melindungi, dan memberikan keteduhan. Figur tersebut tampak pada figur Megawati Soekarnoputri.
Bab Kedua: Islam dan Seksualitas Perempuan. Bab kedua terbagi kedalam empat sub-bab. Sub-bab pertama: Perkawinan dalam Perspektif Agama-Agama yang menjelaskan kosep perkawinan pada tiga agama besar (Yahudi, Kristen, dan Islam). Pada sub-bab ini dijelaskan tujuan dan fungsi perkawinan, tata aturan dalam perkawinan, pengaturan perkawinan antaragama, dan kemungkinan menafsir kembali makna perkawinan yang memiliki perspektid setara antara perempuan dan laki-laki.
Penulis menjelaskan salah satu fungsi perkawinan menurut agama-agama adalah menciptakan ketenteraman dan kedamaian di antara dua orang anak manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Islam menyebut peristiwa ini sebagai ijab-kabul. Sementara dalam agama Katolik menyebutnya sakramen yaitu perayaan iman dengan menggunakan simbol-simbol tertenu untuk menunjuk kehadiran Tuhan pada peristiwa berlangsung. Fungsi lain dari perkawinan adalah menghindari zina. Zina merupakan sesuatu yang dikecam dalam tiga agama besar tersebut. Agama Islam sangat melarang praktik ini karena dipandang perbuatan yang keji dan terburuk. Larangan ini dijelaskan dalam Q.S. Al-Isra' ayar 32: "Janganlah kamu menghampiri zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan jalan terburuk".Â