Hari itu hari Rabu, hari pertamaku mulai belajar di SMP setelah 2 hari sebelumnya MOS dilaksanakan terlebih dulu. Jam 6.15 pagi aku memasuki gerbang SMP Tunas Bangsa itu. Masih sepi suasana pagi itu, aku jadi berpikir, mungkin itu karena aku terlalu bersemnagat untuk memasuki suasana sekolah baru. Tapi aku tersenyum, baguslah, dan melangkah masuk menuju bangku taman. Udara pagi itu dingin, karena terlihat memang pepohonan di sekolah ini begitu rimbun. Masih 30 menit lagi sebelum bel masuk yang kutunggu berbunyi. Aku memandangi gerbang, satu demi satu terlihat murid-murid sekolah ini memasuki sekolah dengan ekspresi yang berbeda-beda. Ada yang terlihat terburu-buru, gugup, sendirian, berkelompok, bahkan ada yang terlihat seperti takut. Lucu sekali, dalam hati aku bergumam, aku akan mengenal mereka, bertemu orang-orang hebat, dan aku akan belajar banyak. Kemudian aku sadar ternyata di bangku sebelahku juga ada seoarang anak laki-laki, kelihatan juga murid baru, yang juga sendirian. ”Hai”, aku memulai perkenalan. ”Iya?” ”SMP baru juga ya?” ”Hehe.. Iya, dari SD mana?” “SD Bakti Siswa, kalau kamu?” ”Oh, aku dari SDN 5. Nama kamu siapa?” ”Kenalkan, namaku Hasyfi. Kalau kamu?” ”Aku Faiz, salam kenal” Perkenalanku dengan anak bernama Faiz itu menjadi perkenalan awalku di sekolah baruku ini, yang juga menjadi awal persahabatanku selama 3 tahun kemudian. *** Pelajaran pertama hari itu dimulai dengan diskusi sosiologi tentang mengapa suatu pemecahan masalah harus memiliki keseimbangan persetujuan dari orang lain. Kelas 7A itu dibagi menjadi 2 kelompok, dan aku melihat seorang anak, yang ketika pengumuman penerimaan siswa baru memperoleh peringkat 2 nilai tes masuk terbaik setelahku, berada di kelompok lainnya. Aku juga baru sadar, ternyata teman-temanku di 7A baru ini adalah orang-orang yang sama dalam kelompok MOS kemarin. Ekspresi mereka bermacam-macam, bahkan ada yang kelihatan gugup, seakan. Diskusi dimulai, dengan pertanyan guru kepada kelompok seberang. Kemudian anak tadi berdiri, dengan terlebih dulu memperkenalkan diri, kemudian menjawab pertanyaan. ”Perkenalkan, nama saya Nadya.” ”Menururt saya, suatu masalah pasti ada karena ditimbulkan oleh sebab lebih dari seorang. Maka dari itu pemecahan masalah yang diambil haruslah atas pendapat atau persetujuan atas banyak orang pula. Atau dengan kata lain, menjadi tanggung jawab bersama. Terima kasih.” Setelah guru mempersilahkan, giliran kelompokku berbicara, tapi entah kenapa teman-teman di sini mempersilahkannku untuk berdiri. ”Nama saya Hasyfi. Satu hal yang ingin saya ralat dari Anda, Nadya, adalah bahwa masalah tidak selalu disebabkan oleh beberapa orang. Banyak contoh masalah yang dikarenakan oleh satu human error. Sedangkan alasan mengapa suatu solusi harus dipecahkan bersama, adalah dasar behwa manusia adalah makhluk sosial. Maka dari itu, azas sosial tersebut merupakan dasar tindakan untuk mendapatlkan solusi, yaitu dengan bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Jika suatu solusi atas seseorang dilaksanakan bersama, maka pastilah berdampak pada ketidaksesuaian dengan orang lain, karena pada dasarnya manusia memang berbeda. Terima kasih.” Aku merasa puas dengan kepercayaandiriku ini. Setelah itu, diskusi berlangsung. Hasil lain dari diskusi itu adalah, bahwa aku dan Nadya menjadi dua orang dikenal yang mendominasi kelas, kami hanya berbeda kelompok, aku golongan laki-laki dan dia perempuan. Hari hari awal belajarku di SMP pun kulalui dengan penuh semangat, dan menjadi dikenal di kelas 7A, yang konon katanya adalah kelas unggulan, merupakan hal yang berbeda dengan dikenal di tempat lain. *** Satu bulan pertama pun berlalu. Sampai tiba hari yang ditunggu oleh seluruh orang di negeri ini, 17 Agustus tiba. Seperti kebanyakan sekolah pada umumnya, di sekolah kami pun dilaksanakan upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus. Kupikir bakal biasa saja, sampai upacara itu benar-benar dimulai. Pemimpin tiap-tiap barisan mulai menyiapkan barisan yang dijaganya masing-masing. Dilanjutkan dengan masuknya Pemimpin Upacara meuju tengah lapangan, yang membuatku hampir tidak percaya. Meskipun keterkejutanku hanya dalam hati, aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagumku bahwa pemimpin upacara itu adalah temanku sejak kecil, yang dengan ini membuatnya menjadi pemimpin upacara 17 Agustus termuda hanya ketika duduk di bangku kelas 7. sampai upacara itu berakhir, aku tidak bisa mengalihkan konsentrasiku pada selain apa-apa yang dilakukan temanku itu sebagai orang yang berdiri tegak di tengah lapangan. Entah kenapa, setelah itu seakan ada yang berdegup kencang dalam diriku. Aku ingin seperti sahabatku itu, setidaknya bisa turut bekerja untuk mengenang perjuangan kemerdekaan bangsa ini, mengisi amanat pembangunan kemerdekaan. Dan aku memutuskan untuk menyapa Erik, sahabatku itu, setelah peserta uapacar dibubarkan. ”Hei, kerja yang bagus!” saapaku ke Erik ”Oh, iya iya, terima kasih.” ”Tahu nggak, kamu tadi bener-bener hebat! Salut!” ” Ah enggak, biasa aja. Ini Cuma tugas dadakan waktu pemimpin yang sudah berlath ternyata mendadak sakit.” ”Tapi kok kamu yang ditunjuk buat persiapan yang begitu singkat?” ”Enggak tahu, katanya sih soalnya pelatih petugas upacara ini melihat kerjaku jadi pemimpin waktu kelas kita dapat giliran jadi petugas upacara hari Senin dulu, ingat kan?” ”Oh iya-iya..” Bel berbunyi, dan aku harus segera menuju kelas. ”Duluan ya? Sukses terus!” Kataku sambil beranjak meninggalkan Erik yang menjawab sambil menganggukkan kepala. Aku berjalan menuju kelas dengan pikiran yang tertuju pada pembicaraanku tadi dengan Erik. Petugas dadakan? Pikirku dalam hati. Mungkin aku juga bisa suatu saat. Aku harus berlatih. *** Hampir setahun berlalu, sampai hampir tiba tanggal 17 Agustus lagi, tepatnya hari itu sudah besok, karena sekarang sudah tanggal 16 Agustus, haha. Kupikir tidak mungkin aku seperti Erik, mendadak ditunjuk di H-1. Dari perpustakaan di lantai dua aku melihat Pasukan Pengibar Bendera berlatih. Ah sudahlah, kemudian aku masuk ke perpustakaan mengisi waktu kosong. Agak sepi, hanya ada beberapa murid, penjaga, dan pak Fauzi, pelatih ekskul PMR, sedang berbicara dengan penjaga perpus, yang juga menjadi pelatih Pramuka itu. Tidak lama setelah aku mengambil dua buah buku dan duduk dekat pak Fauzi tadi, orang itu memanggilku. ”Kalau tidak salah, kamu yang bertugas jadi pemimpin upacara hari Senin kemarin kan? Kelas 8A?” ”Iya, Pak” kujawab begitu, karena memang iya, Senin kemarin giliran kelasku bertugas, dan giliranku yang menjadi pemimpin. ”Mm.. Besok kamu bertugas jadi pemimpin upacara bisa?” Apa!? Dalam hati aku hampir berteriak tidak percaya. Bagaimana mungkin, ’kan di luar petugas-petugas itu sedang berlatih? Tapi aku memilij menyembunyikan keterkejutan ini, dan berkata, ”Loh, kenapa Pak? Bukannya di luar sudah ada petugas yang berlatih?” ”Memang, tapi itu hanya pasukan pengibar bendera. Kami tidak mempersiapkan selainnya. Dan ini saya sedang meminta petugas dari anak Pramuka, dan yang tersisa adalah pemimpin upacara itu yang belum. Makanya, saya lihat kerjamu sebagai pemimpin upacara kemarin itu sangat bagus, dan kamu juga Pramuka Penggalang kan? Bisa bertugas besok?” Sekali lagi, dalam hati aku tidak percaya. Rasanya bercampur antara tidak percaya, senang, dan seperti bukan kenyataan. Tapi tentu saja, aku menjawab, ”Baik, Pak.” Kemudian aku beranjak keluar sambil menahan senyum sebelum melewati pintu. Iya, akhirnya salah satu cita-citaku terwujud besok, aku harus bekerja baik, bahkan lebih baik dari Erik sebelumnya. Dalam hatiku terus berdebar-debar. *** Hari besok pun tiba, 17 Agustus, upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia dilaksanakan lagi di sekolahku. Tapi yang paling berbeda aedalah, di kesempatan ini aku haru berdiri di tengah lapangan, memberi aba-aba kepada ratusan orang, menjadi pemimpin upacara. Protokol membacakan agenda uapacara pertama. Pamimpin barisan pun menyiapkan barisannya masing-masing. Agenda kedua dibaca, dan dengan penuh percaya diri aku melangkahkan kakiku menuju tengan lapangan. Aku bisa, aku bisa, kata-kata yang terus berdengung dalam telingaku ketika aku melangkah itu. Aku berhasil, berdiri di tengah lapangan upacara sebagai pemimpin upacara. Kemudian aba-aba pertama kusuarakan dengan selantang yang aku bisa. Setelah itu agenda demi agenda upacara dibacakan. Waktu-waktu itu sangat berharga dalam benakku, dan tak akan terlupakan.
Sampai akhirnya tiba di akhir agenda upacara, setelah Pembina Upacara dijemput ajudan dan kembali menuju tempat, aku berbalik bedan menghadap peserta upacara. Tapi apa yang terjadi benar-benar di luar pikiranku. Aku yang tak berani bergerak, hanya berdiri tegap di tengah lapangan, tiba-tiba tangan kananku dijabat oleh Kepala Sekolah yang tadi bertindak sebagai Pembina Upacara. Kemudian Bapak Haris, nama Kepala Sekolah itu, melakukan tepuk tangan pertamanya. Aku menjadi gugup. Tapi itu semua tertutupi oleh gegap gempita tepuk tangan dari seluruh peserta upacara yang ada di sekolah ini. Aku terharu, meskipun aku hanya seorang anak SMP biasa, tapi ini benar-benar membuatku takjub dan kagum pada diriku sendiri. Sampai akhirnya gema tepuktangan itu mulai meriuh rendah, dan berakhir. Pasukan dibubarkan. Dan sebelum aku beranjak meninggalkan tempat istimewa ini, hatiku berbicara untukku, ’Kau bahkan telah berhasil melampaui apa yang kau cita-citakan sebelumnya. Teruslah seperti ini, memperjuangkan apa yang ada dengan sungguh-sungguh, dan kau akan menjadi orang yang berhasil dengan seribu cita-cita.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H