Mohon tunggu...
Ali Al Harkan
Ali Al Harkan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa, aktualisasi, mengejar impian besar. | www.batiksastra.blogspot.com | | www.facebook.com/aharkan | | www.twitter.com/@aharkan |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sahabat Kecil

5 Februari 2012   00:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:03 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu usiaku masih pra sekolah, setiap hari aku menemani ibu berbelanja ke pasar. Kami berangkat menyusahkan kuda dengan naik delman, dan pulang dengan menyusahkan orang karena belanjaan ibu yang banyak itu dibebankan pada satu becak. *Tapi yang ingin kuceritakan bukan itu. Tidak tahu bagaimana aku mengenalnya, teman kecilku itu, (mungkin jika aku ingat akan kutulis dalam kertas tersendiri) karena yang kuingat hanya: "Setiap hari, begitu turun dari delman, kulepas tangan ibuku dan langsung berlari ke tempat para penjual sayur-mayur. Selalu begitu, karena ibu selalu menyempatkan berbelanja sayuran di akhir agar sayur segarnya berada paling atas keranjang, juga sekalian menjemputku untuk pulang. *Tapi yang ingin kuceritakan bukan itu. Begitu tiba di sudut pasar yang penuh sayuran itu, kulihat penjual-penjual ramah yang menawarkan dagangannya, ibu-ibu yang memilih-milih sayuran terbaik dengan 101 kriteria, dan jujur saja, aku menyebut ini sudut pasar terbaik karena di sinilah satu-satunya sudut pasar yang penuh hijau tumbuhan dan segarnya sayur-mayur yang baru dipetik. Hmm.. *Tapi sekali lagi, bukan itu yang ingin kuceritakan. Lelah berlari dari gerbang pasar ke tempat sayuran ini, aku selalu berhenti beberapa detik di pedagang sayur pertama; ibu Irma namanya, ibu-ibu gemuk yang wawasan sayurannya seperti ensiklopedi biologi atau paling tidak kau bisa menyebutnya herbolog otodidak, senyumannya bergambar sayuran, mampu menarik pembeli, dan mengalahkan tawaran harga ibu-ibu dari perguruan tawar-menawar manapun. *Dan, masih bukan itu yang ingin kuceritakan. Karena yang ingin kuceritakan adalah, bahwa (1) sebenarnya kalimat yang tepat bukanlah aku selalu menemani ibu berbelanja ke pasar, tapi aku selalu merengek agar dibolehkan ibu mengikutinya ke pasar, (2) tujuanku ke pasar bukan hanya untuk berlari ke tempat sayuran menikmati segar dan hijaunya tempat itu, (3) tapi tujuanku yang sesungguhnya adalah menemui seorang teman. Teman kecil.

*Tapi tidak hanya itu yang ingin kuceritakan. Setelah berhenti 7,6 detik di tempat ibu Irma, aku segera berlari lagi ke tempat sayur yang paling jauh dari sisi ini. Dan seperti biasa, begitu aku tiba di sana, aku melihatnya berdiri membelakangiku, menghadap ke tumpukan kangkung, membalik-baliknya tanpa tujuan. Selalu begitu, karena meskipun itu membuat sayurnya menjadi tidak segar dan berulang kali ia ditegur si penjual, karena itulah pose terbaiknya waktu menungguku. *Belum, masih belum semua yang ingin kuceritakan. Dan seperti biasa pula, aku memanggilnya, "Eh!" dan dia langsung berbalik, tersenyum, dan aku menghampirinya, mengikutinya membolak-balik kangkung kemudian sawi, dan mengundang, "Hei!" bentakan dari si penjual. Kami langsung berlari kabur sambil tertawa bersama, kemudian berjalan lagi, ke tempat mainan-mainan, kemudian berlari lagi, ke tempat baju-baju, kemudian berjalan lagi, ke tempat sembako, kemudian berlari lagi, ke tempat daging-daging, kemudian berjalan lagi, ke tempat kuda-kuda delman diikat, kemudian berlari lagi, ke tempat warung-warung makan, kemudian berjalan lagi, ke tempat toko-toko emas, kemudian berlari lagi, ke tempat alat-alat dapur, kemudian berjalan lagi, ke tempat pemotongan ayam, kemudian berlari lagi, dan seterusnya, kemudian berjalan lagi, dan sampai tengah hari, kemudian berlari lagi, dan sampai lelah, kemudian berjalan lagi, dan berhenti. Ibu menjemputku. Selalu sebagai pembatas buku yang menandai akhir bab petualanganku di hari itu. Tapi waktu berpisah aku tak pernah berpamitan, tak pernah tersenyum, tak pernah berkata 'dah', tak pernah melambaikan tangan. Yang ada hanya begitu kami melihat ibuku tiba, aku langsung berlari ke arahnya, menggandeng tangannya, dan mengikutinya pulang. Begitu setiap hari. Begitu pula hari Sabtu. Sampai tiba hari Minggu, sebelum Seninnya aku harus masuk TK di hari pertama. Tapi hari itu berbeda. Aku turun dari delman, melepas tangan ibu, berlari ke tempat sayuran, berhenti 7,6 detik di depan ibu Irma, dan berlari ke ujung tempat sayur-mayur. Tapi aku tidak melihat Firda membelakangiku seperti biasa di sana. Tidak ada yang membolak-balik kangkung atau sawi. Pak penjual pun tidak menegur siapapun. Setelah 360 derajat putaran badan yang singkat, aku langsung berlari, kemudian berjalan lagi, ke tempat mainan-mainan, kemudian berlari lagi, ke tempat baju-baju, kemudian berjalan lagi, ke tempat sembako, kemudian berlari lagi, ke tempat daging-daging, kemudian berjalan lagi, ke tempat kuda-kuda delman diikat, kemudian berlari lagi, ke tempat warung-warung makan, kemudian berjalan lagi, ke tempat toko-toko emas, kemudian berlari lagi, ke tempat alat-alat dapur, kemudian berjalan lagi, ke tempat pemotongan ayam, kemudian berlari lagi, dan seterusnya, kemudian berjalan lagi, dan sampai tengah hari, kemudian berlari lagi, dan sampai lelah, kemudian berjalan lagi, dan berhenti." *Yang ingin kusampaikan adalah: Jika kau tidak lagi menungguku di sana, sekarang di mana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun