Ayah Seorang Pelaut
ayah tak tinggal bersama kami
sebab ia punya rumah bahari
berganti detik, berganti pula pijakan kaki
berganti menit, maka daratannya
sudah lain lagi
peluhnya tumpah seluruh
di tengah lautan yang ombaknya bergemuruh
tapi, ayah kerja untukku
kakak, adik, juga ibu
supaya keluarga bisa beli ini itu
setahun berlabuh, tentu kan pulang jua
bawa percik ombak untuk kita
tiada juga tak apa
bukankah bersamanya yang utama?
- Makassar, 23 Februari 2008
---
Sedikit catatan.
Puisi ini saya buat sewaktu duduk di bangku SMA di Kota Makassar. Saya tujukan untuk seorang sahabat, yang ayahnya adalah seorang kapten kapal yang berlayar hingga ke berbagai negara di luar sana. Dalam setahun, hanya pulang sekali. Kadang bisa dua tahun sekali baru pulang. Sahabat ini bercerita bagaimana baiknya sang Ayah dan tetap menjalin komunikasi dengan keluarga di rumah. Qadarallah, sosok Ayah- yang saya maksud pada bait-bait di atas, telah berpulang ke hadapan Sang Khalik pada tahun 2019 lalu. Al-Fatihah..
Teman-teman, ada yang ayahnya berprofesi sebagai seorang pelaut juga?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H