Tulisan ini versi lengkap dari tulisan saya yang dimuat di Koran Jakarta, dengen judul "Mendorong Pembaharuan Desa. Ini adalah versi lengkap dan judulnya belum diganti oleh redakturnya.
Semoga jadi bahan yang menarik untuk kompasianer diskusi, diskusi soal desa :D
Konflik pengelolaan desa menemukan titik temu. Kewenangan pengelolaan desa berada di 2 Kementerian; Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi dan Kementerian Dalam Negeri. Keduanya berbagai tugas mengenai aspek pembangunan dan pemerintahan desa.
Pembangunan berskala desa memang harus menjadi perhatian serius, sebab menyangkut hampir semua permasalahan mendasar bangsa. Mulai dari kualitas tenaga kerja yang rendah, bayi kurang gizi, ibu hamil resiko tinggi, ketertinggalan, keterbelakangan, anak putus sekolah, urbanisasi, pelayanan kesehatan buruk, kesenjangan pendapatan hingga tingkat kemiskinan yang tinggi.
Tertinggalnya wajah pembangunan desa dapat diteropong dari angka kemiskinan yang jauh lebih tinggi daripada di kota. Pada September 2014, misalnya, angka kemiskinan di pedesaan 13,76 persen, sementara di perkotaan sebesar 8,16 persen (BPS, 2011).
Lahirnya UU No 6/2014 tentang Desa menjadi harapan permasalahan utama yang membelit bangsa bisa segera terobati. Ditengah arus optimisme mengenai pembangunan Indonesia dari desa, kekhawatiran mengenai tumbuhnya “raja-raja” kecil dari desa dan aktor-aktor korupsi baru juga menyeruak ke permukaan. Apalagi ditengarai, kualitas SDM aparatur desa tidak sepenuhnya mumpuni.
Stimulus Demokrasi Desa
Kekhawatiran tersebut wajar adanya, namun jangan sampai menyurutkan peluang kesejahteraan masyarakat dari penerapan UU Desa. Terkait kekhawatiran anggaran desa akan dijadikan ruang korupsi bagi kepala desa. Kekhawatirakan tersebut jangan dibesar-besarkan.
Menurut anggapan penulis, kekhawatiran dilandaskan dari besarnya kewenangan desa karena asas rekognisi dan subsidiaritas. Asas yang memberikan jaminan atas keragaman desa, kedudukan dan kewenangan desa dalam mengatur jalanya pemerintahan desa. Asas yang berkonsekuensi, desa memiliki anggaran sendiri dalam mengelola pembangunan desa.
Kewenangan yang besar untuk desa melalui asas rekognisi dan subsidiaritas yang membuat posisi desa memiliki hubungan yang setara dengan negara. Desa bukan lagi pemerintah semu yang jadi katalisator proyek ataupun wilayah administratif. Tetapi desa memiliki otonomi dalam mengelola kebijakan pembangunan.