Suasana gotong royong di suatu desa semasa kecil masih teringat jelas di benak. Para tetangga berbondong-bondong datang membantu mendirikan rumah, Para Ibu-ibu rame membawa beras sambil menggenggam pisau pemotong daging. Anak laki-laki remaja bahkan yang masih anak-anak mencari kayu bakar yang nanti akan ditukar dengan permen. semuanya mereka lakukan untuk membantu tetangga yang memiliki hajatan pernikahan. Moment yang saya tuliskan diatas sungguh sangatlah indah dan penuh dengan makna kalau kita mau mempelajarinya lebih jauh. Memang contohnya hanyalah tampak sederhana tetapi rasa kebersamaan itu sangat terlihat. Tetangga sangat terasa sebagai keluarga dekat, meskipun secara garis keturunan sangatlah jauh. Kebersamaan itu tidak hanya pada saat suasana gembira akan tetapi juga pada saat tetangga berbela sungkawa. Kebersamaan bermakna berbagi kebahagiaan dan saling menghibur di kala duka. Dalam pesan nenek moyang saya : "Mali siparappe, Rebba si Patokkong, Malilu sipakainge" Artinya ketika kita hanyut maka semuanya harus tersangkut, ketika kita jatuh maka harus saling mengangkat, ketika kita lupa maka harus saling mengingatkan. Kultur yang memegang kekeluargaan itu tampak pudar seiring dengan waktu. Banyak yang telah menanggalkannya di saat mereka meninggalkan kampung halaman dan ber-urban ke kota. Gaya hidup kota telah membuat banyak dari kita menjadi individualis. Acuh dengan tetangga, tak peduli duka, istilah kerenya " Emang Lho siapa?". Apakah peradaban di kota memaksa kita untuk menjadi individualis? Dimana ajaran gotong royong yang pernah kita terapkan sewaktu di kampung dulu? bahkan pelajaran PMP atau PPKN yang pernah kita serap waktu sekolah? Nampak terkikis sedikit demi sedikit berganti sok sibuk. hampir semua sama jawabannya ketika ditanya kenapa gak datang di pestaku adalah "SIBUK". Kemudian apakah kesibukan membuat kita harus acuh dengan tetangga? Kemudian kekhawatiran apa yang bakal terjadi kalau masyarakat sudah demikian. Kita cukup membayangkan saja dulu, jika orang-orang kita memiliki rasa individulis yang berlebihan maka yang akan muncul adalah rasa superior yang berlebihan pula. Saling bersaing untuk mendapatkan gelar "hebat", "Top one", "Terkaya" dan banyak ter ter lainnya... Maaf... hanya sekedar mengeluarkan unek-unek pagi ini salam kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H