KOHERENSI (pertalian logis)
Cara-cara berpikir Capres dalam jelang pilpres 2014
Jelang Debat Capres I, setidaknya dalam benak kita muncul beberapa pertanyaan :
Apa sebenarnya hasil yang bisa didapat dari debat capres ?
hasilnya kita mengetahui isi pikiran yang utuh dari Capres tenang visi misi atau apapun, yang bisa dijadikan modal sebagai RENCANA kemajuan Indonesia ke depan.
Bagaimana cara menilai yang tepat mengenai isi pikiran Capres ?
kita sebaiknya menilai isi pikiran capres melalui cara dia menjelaskan isi pikirannya, apakah isi pikirannya utuh dan koheren (bertalian secara logis setiap pendapat-pendapatnya), ataukan isi pikirannya berantakan, meloncat-loncat, dan ngawur, karena wilayah debat ini adalah wilayah teori dan bukan wilayah praktek, jadi yang di nilai adalah kemampuan berpikirnya, bukan menilai wilayah prakteknya. Sehingga dalam Debat disini terminologi KOHEREN akan memegang peranan penting.
KOHEREN (pertalian logis)
Koherensi dalam praktek berpikir menurut saya adalah kemampuan berpikir utuh dari mulai berpikir general menuju detail,atau detail menuju general, ia adalah kemampuan menyambungkan hal-hal melangit menjadi hal-hal yang membumi. Contoh koherensi misalnya ungkapan seorang alim ulama yang mengatakan bahwa “inti agama adalah Marifatullah, inti marifatullah adalah berbuat baik, inti berbuat baik adalah silaturahmi, dan inti silaturahmi adalah menggembirakan orang-orang sekililingnya. Disini terlihat jelas koherensi dari idea melangit menuju idea membumi, saya kira masih banyak contoh lainnya.
Banyak orang bilang untuk berpikir sederhana kenapa harus rumit-rumit, saya ingin katakan kepada orang itu bahwa hal tersebut adalah wajar, kenapa..?, karena orang yang ingin menghasilkan pikiran sederhana maka dia haruslah ia berputar-putar dan mencoba menelusuri kerumitan, karena orang tersebut berusaha berupaya memilih hal-hal sederhana yang JITU dari sekian banyak pilihan sederhana lainya.
Semua orang pun sebenarnya selalu berkehendak untuk berpikir sederhana, tapi hanya sedikit yang mencari hal hal sederhana yang JITU, yaitu memilih dari sekian banyak pilihan sederhana lainnya.
Jadi sangat wajar jika untuk berpikir sederhana yang jitu harus lebih dahulu menelusuri kerumitan, dan bila sudah diperoleh hal jitu tersebut selanjutnya dapat dipraktekan lalu dibiasakan, maka hasil karyanya akan menjadi suatu yang PRAKTIS dan menjadi RUJUKAN.
Sekarang kita tidaklah heran jika jaman ini kehidupan menjadi serba praktis, misalnya kita bisa bertelepon, berinternet, berobat ke dokter ahli, berkendaraan, memasak dll dan semua itu telah menjadi mudah, yang awalnya mugnkin sulit dibayangkan. Ini terjadi karena ada AHLI yang memikirkannya, dengan pola berpikir dari hal-hal general atau universal menjadi hal-hal detil, atau dari hal detail menuju general. SEHINGGA hal-hal PRAKTIS yang sekarang kita rasakan sudah pasti sebelumnya berasal dari hal-hal TEORITIS, kemudian membiasakannya. Para ahli adalah orang yang mampu membumikan hal-hal yang melangit, karena menemukan cara menjembatani antara konsep melangit dan membumi.
PEMIMPIN YANG AHLI
Bagaimanapun SEORANG PEMIMPIN yang diharapkan adalah seorang Ahli, salah satunya mampu berpikir utuh antara konsep general menuju hal-hal detail. Kalau hanya general saja atau detail saja itu pasti absurd, acak-acakan, atau ngawur. Jadi kalau saja ada banyak orang berfilosofis kerja..kerja..kerja.. (cenderung detail saja) atau dikatakan lebih mementingkan teknis, maka itu sebetulnya mustahil bagi seorang pemimpin. Untuk level pimpinan, filosofis seperti ini adalah berbahaya karena akan berantakan dan tidak rapih bila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, contoh bila pemerintah memutuskan penggusuran warga atau kaki lima dari sisi ketertiban saja tanpa melihat aspek yang lebih luas seperti keadilan sosial, ekonomi, dan lain sebagainya, maka hasilnya bisa tidak sesuai yang diharapkan. Filosofis seperti ini cenderung tidak adaptif dengan perkembangan yang ada, atau hantam kromo, karena dalam realita di lapangan selain hal teknis masih banyak hal non teknis yang harus dipelajari.
Begitu juga sebaliknya bila filosofisnya adalah mikir..mikir..mikir (cenderung general saja) juga berbahaya bagi seorang pimpinan karena tidak tahu lapangan dan lebih cenderung menggunakan kamuflase agar dianggap ahli padahal tidak tahu detailnya, berada hanya di belakang meja, cenderung bersikap sok bijak, bahkan menipu atau tertipu karena akibat memaksakan konsep generalnya yang tidak sesuai di lapangan.