Mohon tunggu...
Ahmad Ainun Naim
Ahmad Ainun Naim Mohon Tunggu... -

Pencari kutub-kutub, alumni Alternative University of MPO-Jogja Barat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tentang Kebahagiaan dan Mencintai

28 April 2015   09:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:36 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Awalnya, seorang guru mengira kebahagiaan terbesar seorang guru adalah ketika berhasil mengantarkan murid ke tangga kesuksesan (berdasarkan indikator apapun). Seorang guru mengira akan bahagia jika murid-muridnya telah memahami dan mempraktekkan dengan baik ilmu yang telah diajarkannya. Dan sebaliknya, ia akan bersedih jika menemui kenyataan bahwa sebagian besar muridnya ternyata tidak bisa memahami ilmu yang diajarkannya dengan baik meski berbagai metode pembelajaran sudah dicoba.

Tetapi, melalui serangkaian perjalanan mengajar bertahun-tahun, ia menyadari sesuatu yang lain. Ia merasa pekerjaan mengajar bukan hanya tentang orang lain atau seseorang yang kita sebut murid, siswa ataupun peserta didik, melainkan tentang diri sendiri.

Guru tersebut sampai pada kesimpulan yang baru (lagi). Ia berujar kebahagiaan terbesar seorang guru adalah ketika seorang guru telah berhasil menaiki tangga spiritual menuju Tuhannya sebab kecintaan seorang guru terhadap ilmunya, baik ilmu yang diampunya secara khusus maupun ilmu secara umum. Bukankah semua ilmu mendekatkan manusia kepada Tuhannya?

Pada sangkaan yang pertama, seorang guru menekankan keberhasilan pengajaran kepada orang lain. Sedangkan sangkaan yang kedua, justru keberhasilan pengajaran dilihat dari pencapaian seorang guru sendiri.

Pada sangkaan yang pertama, seorang guru bisa saja terjebak kepada ketidak sabaran yang mengantarkan upaya pemaksaan yang berlebihan agar seorang murid “sukses”. Pada sangkaan yang kedua, seorang guru tanpa sadar berupaya meneladankan sikap mencintai ilmu tanpa terjebak kepada upaya pemaksaan yang berlebihan agar seorang murid “sukses”. Ia mungkin tidak sukses mengajarkan ilmunya kepada muridnya, tetapi ia tidak akan lelah berusaha belajar mengajarkan ilmunya.

Pada dasarnya, tak ada seseorang yang mampu mengubah seseorang yang lain, bahkan seorang Rosul Tuhan. Sebab, hakekat yang memberi petunjuk adalah Tuhan itu sendiri, bukan orang lain. Maka jika seorang murid berhasil menapaki tangga sukses, seorang guru tak bisa serta merta menunjuk dirinya faktor dominan penyebab kesuksesan murid.

Banyak kejadian justru keberhasilan seorang murid jauh melampaui pencapaian gurunya. Hal ini dapat diartikan seorang murid telah jauh melampaui seorang guru dalam hal kecintaannya terhadap suatu ilmu.

Tanda seorang guru mencintai ilmu dapat dilihat dalam uraian berikut.

Seorang guru seharusnya tidak puas terhadap apa-apa yang sudah berhasil ia pelajari. Sebab, seseorang yang mencintai ilmu seharusnya mengetahui jika semakin banyak yang diketahui justu semakin jauh banyak hal yang belum diketahui.

Dengan demikian, ia tak akan membatasi dirinya pada kesimpulan: ah, ini sudah lebih dari cukup sebagai bahan pembelajaran di kelas nanti.

Atau, jika seorang guru tersebut adalah guru matematika: ah, aku tak perlu belajar lagi sebab semua soal-soal matematika sudah berhasil aku kerjakan semua.

Jika ia mencintai ilmu matematikanya, ia tak akan pernah berhenti belajar matematika. Seorang guru yang mencintai matematika mungkin akan menulis komentar-komentar mengenai teori matematika yang sudah ada, membuat cara-cara baru untuk menyelesaikan soal-soal matematika, sampai pada menemukan teori baru di bidang matematika.

Hal paling sederhana dari seorang guru yang mencintai matematika adalah rumahnya dipenuhi oleh kumpulan buku-buku matematika. Buku matematika ini tentu disusun oleh orang yang lebih dahulu mencintai matematika dibanding dirinya. Dengan demikian, seorang guru matematika juga mencintai orang-orang yang lebih dahulu mencintai matematika.

Pada titik ini, seorang guru berarti juga menjadi murid dari seorang guru yang lain. Jadi, sudah selayaknya seorang guru tentu lebih merasa menjadi murid seseorang guru yang lain dari pada merasa ia menjadi seorang guru bagi seseorang yang disebut murid, siswa ataupun peserta didik.

Pada akhirnya, ia sampai pada kesimpulan yang lain: Jika seorang guru saja adalah seorang murid, tentu ia harus dapat dilihat oleh orang lain (termasuk oleh muridnya di kelas) sebagai seorang pembelajar yang baik. Seorang guru paham betul bagaimana menjadi murid yang baik di mata gurunya, bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun