Angan-angan untuk mencoba merancang bisnis baru itu selalu ada. Tentu, tak semudah membayangkan. Niat tak selamanya dapat terwujud jika keinginan untuk bersungguh-sungguh tidak ada. Segepok teori sudah terlahap, tinggal aksi yang tak kunjung membara.
Model bisnis saya, sebenarnya, sudah paten. Weik! Maksud saya, bisnis yang nanti saya kembangkan tak mau hanya menjadi pedagang barang punya orang. Bisnis saya haruslah berangkat dari pengembangan bahan baku lokal, dikemas dan diolah menjadi barang konsumsi yang mempunyai nilai tambah. Sumber inspirasi bahan olahan tadi tentu harus berdasarkan selera pasar. Dan pasar yang saya maksud adalah komunitas di mana saya tinggal. So, sebenarnya, bisnis saya sangat sederhana: melayani komunitas lokal dengan bahan baku lokal.
Untuk tahap awal pengembangan produk, bisnis saya pastilah tak akan memerlukan banyak tenaga kerja. Bisa jadi, karyawan dan sekaligus manajernya adalah saya sendiri. Tenaga pemasarannya cukup numpang titip kepada kawan lama saya yang telah terbiasa menjadi sales. Atau, jika memungkinkan, pemasarannya bisa saya lakukan sendiri, pintu ke pintu atau via internet. Internet? ya, saya juga punya komunitas abstrak atau maya, ‘kan?
Target produksi dan keuntungan dari bisnis yang saya rancang selalu tak muluk-muluk. Toh, saya tak butuh banyak duit untuk hidup dan menghidupi keluarga saya. Maklum, kami hanyalah orang desa. Makan dari hasil tanam menanam sendiri. Rekreasi cukup di pematang sawah atau sesekali ke pasar malam di kecamatan. Kalau hidup bisa sederhana dan murah, mengapa pilih yang sebaliknya? Bagi saya kerja keras itu tidak harus, tetapi untuk tetap menjadi manusia yang hidup, orang memang perlu bekerja. Jadi, saya tidak tahu apakah nantinya saya akan menjadi pengusaha yang banyak duit jika mempunyai pandangan seperti ini.
Oiya, satu lagi. Bisnis saya haruslah bisa ditiru oleh orang-orang di komunitas tempat saya tinggal. Saya akan sangat senang jika ada orang lain yang bisa membuat produk yang sama seperti saya. Katakanlah, saya menjadi pemantik inspirasi bagi orang lain. Weh-weh! Ya, itung-itung membuat komunitas saya menjadi sentra produk tertentu. Kalau sudah ada yang meniru, dan produk tersebut sudah jenuh, ya, saya tinggal buat produk yang baru lagi.
Mau tahu bocoran produk saya? Heh, saya akan dengan senang hati membagikannya untuk semuanya. Daerah tempat saya tinggal adalah daerah pesisir sekaligus dekat dengan pegunungan --kombinasi luar biasa yang bisa menjadi modal strategis dalam pengembangan bahan baku lokal. Pilihan produk saya jatuh pada buah kelapa. Daging buah kelapa bisa diolah menjadi panganan semacam cracker, airnya bisa diolah menjadi Nata, tempurungnya bisa diolah menjadi briket bahan bakar, dan sabutnya bisa diolah menjadi sapu. So, tak ada sisa dari buah kelapa ini.
Sayangnya, hitung-hitungan biaya masih belum juga saya kerjakan. Entah kapan. Yang pasti, sekarang saya masih mengandalkan pendapatan dari menjadi karyawan. Tak lama lagi. Ya, tak lama lagi, kawan! Do’akan saya!
Salam nekat!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H