organisasi Islam besar di Indonesia, telah lama dikenal dengan semangat moderasinya. Sebagai gerakan pembaruan, Muhammadiyah terus beradaptasi dengan perubahan zaman sembari menjaga nilai-nilai Islam yang inklusif dan berkemajuan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, arus ideologi Salafi mulai merasuki sebagian kader Muhammadiyah, menciptakan dinamika baru yang menantang kesatuan organisasi. Fenomena ini sering disebut sebagai "Muhammadiyah Rasa Salafi" atau Musa.
Muhammadiyah, sebagaiSalafi dikenal sebagai gerakan Islam yang berfokus pada pemurnian ajaran agama berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah, dengan menekankan penghapusan praktik-praktik yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam murni. Dalam beberapa aspek, pendekatan ini memiliki kesamaan dengan prinsip tajdid (pembaruan) Muhammadiyah. Misalnya, keduanya sama-sama mengkritisi praktik bid'ah, khurafat, dan tahayul. Namun, pendekatan Salafi yang lebih kaku dalam menafsirkan teks agama sering kali bertolak belakang dengan gaya dakwah Muhammadiyah yang adaptif dan mempertimbangkan konteks sosial-budaya.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Syafiq A. Mughni, memberikan pandangan terkait fenomena varian Musa (Muhammadiyah-Salafi) yang dianggap dapat menjadi masalah dalam tubuh Muhammadiyah. Menurut Prof. Syafiq, Muhammadiyah memiliki prinsip untuk tidak mudah menganggap orang lain sebagai kafir atau melakukan tindakan bid'ah, berbeda dengan sebagian kelompok yang sering kali melabeli pihak lain demikian.
Beliau menjelaskan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang memiliki ruang gerak luas, sikap yang fleksibel, serta pemikiran yang terbuka. Hal ini membuat Muhammadiyah bersedia menerima siapa saja yang ingin berkontribusi secara positif kepada organisasi. Namun, Prof. Syafiq juga menekankan bahwa keterbukaan Muhammadiyah tidak boleh dimanfaatkan untuk tujuan yang merugikan organisasi, termasuk mengambil alih aset yang menjadi milik Muhammadiyah. Pesan ini disampaikan oleh Prof. Syafiq dalam wawancara dengan Republika.co.id yang berlangsung di Aula Masjid At-Tanwir, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pada Senin (27/5/2024).
Di beberapa daerah, masuknya ideologi Salafi membawa perubahan signifikan pada pola dakwah Muhammadiyah. Sebagian kecil kader mulai menunjukkan ciri khas Salafi, seperti pola hidup yang menyerupai tradisi salafus salih. Mereka mempraktikkan kebiasaan seperti memelihara jenggot, mengenakan cadar, melarang musik, serta memakai pakaian tanpa isbal. Selain itu, mereka mengadopsi gerakan yang tidak lazim di Muhammadiyah, seperti formalisasi ibadah tertentu, termasuk kampanye shalat Subuh berjamaah yang tidak selalu menjadi fokus dakwah Muhammadiyah.
Pengaruh ini juga tampak dalam penggunaan idiom Arab dalam komunikasi sehari-hari, yang sering disebut sebagai "Arabisme sosial". Mereka lebih sering menggunakan sapaan seperti akhi dan ukhti dibandingkan istilah yang biasa digunakan di masyarakat lokal. Sementara bagi sebagian masyarakat, hal ini mungkin dianggap wajar, bagi sebagian warga Muhammadiyah lainnya, gaya ini terasa asing dan tidak sejalan dengan karakter Muhammadiyah yang lebih membumi.
Selain pola hidup, beberapa pengikut Salafi dalam Muhammadiyah mulai mengangkat kembali isu-isu lama yang sebelumnya dianggap selesai. Misalnya, perbedaan pandangan tentang ziarah kubur, tawasul, atau perayaan maulid Nabi. Muhammadiyah, dengan pendekatan tarjihnya, telah memiliki keputusan resmi mengenai isu-isu ini. Namun, kader yang terpengaruh Salafi sering kali menghidupkan kembali perdebatan tersebut, yang pada akhirnya memicu konflik internal.
Di beberapa tempat, dakwah dengan pendekatan Salafi justru menimbulkan resistensi dari masyarakat. Gaya dakwah yang cenderung eksklusif dan kritis terhadap tradisi lokal dianggap kurang sesuai dengan prinsip dakwah Muhammadiyah yang ramah dan inklusif. Akibatnya, hubungan Muhammadiyah dengan masyarakat setempat terkadang terganggu, yang pada gilirannya melemahkan kepercayaan terhadap organisasi.
Risiko lain dari fenomena Musa adalah potensi perpecahan internal. Ketegangan antara kelompok yang pro-Salafi dan kelompok yang ingin mempertahankan identitas moderat Muhammadiyah semakin terasa, terutama dalam forum-forum organisasi. Perbedaan pandangan ini kerap menjadi bahan perdebatan dalam musyawarah organisasi, yang seharusnya menjadi ajang untuk memperkuat visi bersama.
Ketegangan ini tidak hanya terjadi di tingkat individu, tetapi juga berdampak pada lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah. Beberapa sekolah dan universitas Muhammadiyah mulai menunjukkan perbedaan dalam penerapan nilai-nilai Islam. Misalnya, dalam isu toleransi, peran perempuan, atau hubungan antar umat beragama, perbedaan pendekatan antara kader yang terpengaruh Salafi dan yang mengikuti tradisi Muhammadiyah sering kali menjadi sumber ketegangan.
Majelis Tarjih dan Tajdid, sebagai lembaga yang bertugas menjaga konsistensi ideologi Muhammadiyah, juga perlu lebih proaktif dalam menghadapi fenomena ini. Melalui panduan yang jelas, Muhammadiyah dapat memastikan bahwa kadernya tetap setia pada nilai-nilai organisasi, tanpa terjebak dalam gaya dakwah yang terlalu eksklusif.