Mohon tunggu...
Shoofi Arini
Shoofi Arini Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Rapot Merah Pendidikan

3 Februari 2017   22:09 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:23 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era pasar bebas sekarang ini, dimana peran pemerintah dalam mengatasi masalah bangsa kini semakin di sunat. Hampir semua sektor kehidupan publik dipercayakan kepada kebajikan pasar. Liberalisasi perdagangan dan keuangan kini kian gencar dilakukan, semua harga kebutuhan masyarakat di serahkan kepada mekanisme pasar. Sehingga pendidikan pun menjadi sasaran empuk bagi kalangan kapitalistik untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai pencetak manusia instan sesuai kebutuhan pasar.

Banyaknya sekolah menengah kejuruan (SMK) menjadi contoh betapa instannya sebuah pendidikan yang di orientasikan pada kebutuhan pasar, seolah-olah manusia hanya sebatas alat yang diproduksi masal untuk tujuan tertentu semata. Seharusnya Pendidikan harus mampu melakukan perubahan struktur ekonomi-politik masyarakat secara fundamental dimana Pendidikan berada. 

Pendidikan harus diartikan sebagai Alat Perlawanan terhadap sistem dan struktur ketidakadilan dan penindasan. ini sesuai dengan Amanat Pembukaan UUD 1945 yakni “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”.

Arah Pendidikan tidak hanya berkisar pada Student Movement melainkan sebuah gerakan Social Movement, ke arah transformasi sosial menuju sistem sosial baru yang lebih adil yang memihak rakyat kecil dan yang tertindas. Dengan kata lain, tugas utama Pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil. Dalam dunia pendidikan, guru dan siswa adalah dua komponen yang tidak dapat dipisahkan. Jika guru tidak ada maka siswa akan sulit berkembang, begitu juga sebaliknya.

Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional pasal 3 telah ditegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Namun tampaknya upaya pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dan institusi belum sepenuhnya mengarahkan dan mencurahkan perhatian secara komprehensif pada upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional. Ini bisa kita kritisi dengan banyaknya guru/pendidik yang masih menggunakan “system gaya Bank” dalam pembelajaran.

Dalam konsep pendidikan gaya bank ini, pengetahuan merupakan sebuah anugrah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Dalam artian, seorang guru menampilkan dirinya di hadapan murid-muridnya sebagai orang yang berada pada pihak yang berlawanan, dengan menganggap murid mutlak bodoh, dengan sepenuhnya sumber pengetahuan hanya milik guru. Dalam gaya bank senantiasa memelihara dan bahkan mempertajam kontradiksi itu melalui cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan sebagai berikut:

  1. Guru mengajar, murid diajar.
  2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
  3. Guru berfikir, murid dipikirkan.
  4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan.
  5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.
  6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
  7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.

Konsep tersebut juga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid. Murid hanya bisa mendengar, mencatat, menghapal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang telah disampaikan oleh guru. tanpa harus menyadari dan memahami arti dari makna sesungguhnya. inilah yang disebut sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence). Dalam kondisi seperti ini, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas.

Maka jangan heran jika mentalitas masyarakat kita masih mlempemkarena pendidikan yang sejatinya dijadikan sebagai alat penyadaran dan perlawanan terhadap sistem dan struktur ketidakadilan dan penindasan. justru dialih fungsikan menjdi pabrik-pabrik pencipta manusia yang tak bebas di alam fikirnya. Pendidikan harus mampu menyelesaikan persoalan struktur ketidakadilan didalam dunia pendidikan itu sendiri yakni antara murid dan guru. 

Artinya Pendidikan harus mampu pula mentransformasikan dirinya sendiri, yakni mentransformasikan relasi “knowledge/power” dan dominasi hubungan yang “mendidik” dan “yang dididik” didalam diri pendidikan itu sendiri. Sehingga Pendidikan bisa menjadi institusi kritis menuju perubahan sosial yang lebih adil dan memihak kepada yang lemah. Sehingga murid terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. Proses Pendidikan harus memberi ruang untuk menyingkirkan segenap “tabu” untuk mempertanyakan secara kritis sistem dan struktur yang ada serta hukum yang berlaku.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun