Mohon tunggu...
Shoofi Arini
Shoofi Arini Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Demokrasi Palsu

2 Mei 2017   21:44 Diperbarui: 2 Mei 2017   21:54 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

DEMOKRASI PALSU

Fenomena yang patut kita cermati bersama dalam proses demokratisasi di Indonesia yang terjadi pascareformasi, yakni semakin tumbuh suburnya politik dinasti yang menempatkan hubungan kekerabatan pejabat sebagai faktor utama dalam suksesi kepemimpinan. Contoh saja di Sulawesi Selatan, adik-adik serta anak Gubernur Sulsel menduduki posisi bupati, anggota DPR, dan bahkan DPRD. Hal demikian juga terjadi di Banten, yang mana suami, anak, menantu, dan saudara Gubernur ikut berada dalam lingkar kekuasaan.

Pada dasarnya, hal demikian bukanlah sesuatu yang dilarang dalam kehidupan berdemokrasi. Semua orang, tak peduli kerabat pejabat atau bukan, memiliki hak politik yang sama untuk ikut serta dan dipilih dalam pesta demokrasi bertajuk pemilihan umum atau dikampus kita biasanya disebut pemilu raya (pemira). Namun, fenomena ini tentunya tidak sehat dalam perkembangan demokrasi kita. Inilah paradoks demokrasi, di satu sisi tidak dilarang, tapi di sisi lain tidak patut dan etis rasanya karena rawan menciptakan oligarki.

Dalam demokrasi, rakyat adalah raja. Dalam demokrasi, suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi, vox dei). Tapi tidak di Kampus ini. Rakyat/Mahasiswa adalah sang hamba dan suaranya adalah suara setan. Terkecuali dalam ritual pemilihan Raya (pemira), suara mahasiswa (mencoblos kertas suara) sangat didambakan. Setelahnya, suara mahasiswa tak lebih hanya dianggap hasutan. Di kampus ini, Demokrasi telah menjadi pilihan untuk mencapai kejayaan dan kemakmuran rakyatnya, tapi semuanya tak berjalan seperti yang diharapkan. Bukan kesejahteraan, bukan keamanan bukan pula kedamaian yang ditemukan, tapi demokrasi dikampus ini telah membiakkan kegaduhan, menyuburkan kebodohan serta melanggengkan Oligarki. Inilah fenomenanya.

Dalam demokrasi asli, rakyat selalu aktif dilibatkan dalam menentukan kebijakan sedangkan dalam demokrasi kampus ini rakyat dinistakan dan dianak tirikan. Dalam setiap pergantian kekuasaaan rakyat dianggap cerdas menentukan pilihannya, namun dalam penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam pembuatan UU/program kerja mahasiswa selalu dibodoh-bodohkan sehingga dalam musyawarahpun tak pernah diikut sertakan.

Pertanyaan yang sering muncul adalah kenapa semua ini bisa terjadi? Kita pastilah mempunyai jawaban tersendiri. Bukan karena kita pintar, bukan pula karena kita paham demokrasi. Tapi kondisi yang kita alami saat ini adalah jawaban dari pertanyaan tadi. Artinya demokrasi kita adalah demokrasi tanpa happy ending, but, always sad ending. Atau gampangannya kita pasti tau siapa yang akhirnya bakal menang.

Kegagalan demokrasi di kampus ini tak lepas dari berkuasanya para Mafia Mayoritas yang bersembunyi dibalik tirai demokrasi palsu. Transparansi, akuntabiltas serta keterbukaan sebagai penyangga utama pohon demokrasi berganti wajah menjadi korupsi, manipulasi dan konspirasi antar keluarganya sendiri yang berkuasa. Inilah penyebab ambruknya bangunan demokrasi kampus ini.

Ketikakepentingan mahasiswa dinomerduakan dan kepentingan Mafia Mayoritas diutamakan maka demokrasi menjadi tak berarti. Demokrasi hanya menjadi ilusi para generasi. Ia seperti ayat suci yang diletakkan dibawah kaki. Tak berharga, dan tak sakral lagi. Pada akhirnya, demokrasi akan dikubur tanpa rekam jejak prestasi. Dan inilah yang sedang terjadi.

Dalam Demokrasi, kita bisanya mengenal dua istilah penguasa,penguasa tradisionaldanpenguasa procedural.penguasa tradisionaladalah rakyat atau dalam konteks ini adalah seluruh mahasiswa. Dan penguasa proceduraladalah penguasa/birokrasi/atau dalam hal ini BEM, SEMA, DEMA, dan HMJ. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diambil oleh penguasa prosedural semestinya harus atas restu penguasa tradisional (mahasiswa). Dengan kata lain. Setiap kebijakan yang diambil dan disepakati harus berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan mahasiswa seluruhnya. Inilah hakikat slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.

Namun yang terjadi selama ini, mahasiswa hanya ikut berpartisipasi dalam menentukan perwakilannya saja melalui mekanisme demokrasi politik yang disebut pemilu Raya (pemira). Selanjutnya, rakyat alpa atau memang sengaja dialpakan dalam menentukan arah dan proses demokrasi berikutnya. Sementara disisi lain, para wakil mahasiswa lebih tunduk pada Mafia Mayoritas dari pada mengutamakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Hal ini akan berdampak kuat terhadap robohnya nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Inilah wajah demokrasi kampus kita selama ini. Demokrasi tuna aspirasi, tuna partisipasi dan demokrasi kaya konspirasi, kaya oligarki serta gemuk korupsi.

Demokrasi layaknya “agama” jika terjadi masalah dalam demokrasi, yang patut di-per-salahkan bukan demokrasi itu sendiri tapi lebih kepada proses dan aktor-aktor yang ada di dalamnya. Tidak adanya larangan dalam peraturan hukum bukan berarti hal itu diperbolehkan. Tak pernah ada larangan seseorang tidak boleh berbicara kasar, atau buang air di pojok kelas, tetapi etika dan kepatutanlah yang kemudian menjadi batasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun