Mohon tunggu...
Agus Sastranegara
Agus Sastranegara Mohon Tunggu... Administrasi - bukan pujangga, hanya pemuja kata

Bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika "Kartu Kuning" Sudah Masuk ke Ranah Politik

8 Februari 2018   08:43 Diperbarui: 8 Februari 2018   09:04 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejenak kita terkejut oleh berita beberapa hari yang lalu dimana seorang mahasiswa memberikan kartu kuning untuk seorang Presiden. Bayang yang mendukung aksi tersebut, akan tetapi banyak juga yang menyayangkannya. Tentu dalah hidup di negara demokrasi wajar apabila terjadi perbedaan pendapat dalam memandang suatu masalah. Tidak butuh waktu yang lama dengan pemberitaan yang intens dan masif baik melalui media sosial, pemberitaan di media massa sampai maka hal terbebut langsung menjadi Vilar.

Habis kartu kuning terbitlah kartu-kartu yang lainnya, mulai dari kartu hijau sampai kartu merah. Sederhana saja, pihak yang mendukung kinerja pemerintahan tentunya akan memberi kartu hijau sedangkan lawan politiknya akan memberikan kartu kuning, bahkan kartu merah. Sebelum lebih dalam membahas tentang kartu tiga warna ini, penulis akan sedikit melihat makna dari kartu tersebut.

Ketika kita mendengar kartu kuning, kartu merah tentunya akan teringat dengan permainan sepakbola. Penulis mengambil contoh cabang olahraga ini karena sepakbola merupakan olahraga yang paling familiar didunia. Oke kita kembali ke dalam pembahasan. Dalam permainan sepakbola ada aturan mainnya, salah satunya adalah bila terjadi pelanggaran akan diberikan teguran oleh pengadil lapangan(wasit).

Pelanggaran ringan akan diberi peringatan, pelanggaran sedang akan mendapatkan kartu kuning dan jika seorang pemain mendapatkan kartu kuning pertama dan dalam satu pertandingan kembali melakukan kesalahan maka akan diberikan kartu Merah. Jika kartu kuning dimaknai sebagai peringatan, maka kartu merah artinya sang pemain bersangkutan harus keluar dari area permainan. Apakah boleh seorang wasit bisa langsung memberikan kartu merah pada pelanggaran pertama? Jawabannya bisa, apabila pelanggaran yang dilakukan sangat berat dan bisa berakibat fatal bagi pemain lawan. 

Dari ilustrasi diatas, jelas bahwa makna dari kartu kuning dan merah tersebut. Apabila dalam kasus seoarang ketua BEM di sebuah Universitas memberikan kartu kepada Presiden bisa disimbolkan sebagai peringatan kepada bapak Presiden dari kalangan mahasiswa. Kita pasti tidak lupa bahwa tahun 1998, mahasiswa adalah ujung tombak perubahan arah negara dengan cara melakukan demonstrasi yang pada puncaknya dengan menduduki gedung DPR/MPR RI pada waktu itu sehingga membuat Presiden Soeharto mundur dari jabatan sebagai Presiden. 

Penulis mencoba netral dalam melihat aksi kartu kuning tersebut, mungkin dalam pandangan mahasiswa tersebut bahwa kinerja dari pemerintahan sekarang dinilai belum bisa berjalan dengan baik dengan berbagai kasus yang belum selesai. Kasus gizi buruk di Asmat menjadi isu utama dibalik kartu kuning tersebut. Bagaiaman jawaban dari bapak Presiden? Diluar dugaan beliau memberikan jawaban yang langsung menusuk ke jantung. Dengan pembawaannya seperti biasa, kalem, tennag dan senyum kesederhanaan beliau mengundang mahasiswa tersebut untuk mengunjungi langsung ke Asmat.

Setelah muncul wacana mengirimkan mahasiswa untuk ke Asmat untuk melihat "medan" kondisi yang real dilapangan, ditolak oleh yang bersangkutan. Oh iya mengapa kata medan diberi tanda kutip oleh penulis? Hal ini karena ada sedikit cerita lucu didalamnya, mungkin karena terlalu lugu atau polos perkataan bapak Presiden yang mengatakan bahwa mahasiswa tersebut diundang ke Asmat untuk melihat medan disana diartikan bahwa kata medan disisni diartikan nama sebuah kota. 

Andai saja kita menelaah secara seksama kata medan itu bisa berarti kondisi disuatu daerah, atau keadaan dilapangan. Jangan bilang lapangan juga diartikan sebagai tempat bermain bola ya. Salah persepsi ini sempat menjadi bahan candaan didunia maya, medan yang dimaksudkan disini adalah kondisi real dilapangan yang artinya kondisi di Asmat bukan medan nama Kota.

Bahkan dengan pedenya seoarang netizen tetsebut menyalahkan Presiden bahwa medan kok di Papua, medan itu di Sumatera. Kembali ke topik permasalahan, setelah kartu kuning dari mahasiswa, presiden mendapat kartu kuning selanjutnya oleh lawan-lawan politiknya dan bahkan yang kartu merah. Pada akhirnya masyarakat disuguhi oleh main kartu yang dimainkan oleh politikus kelas atas. Penulis sedikit heran, apakah cara mengkritisi kinerja pemerintahan sudah berubah dengan memberikan kartu?. Bukankah ada cara yang sudah diatur dalam konstitusi pemerintahan kita bagaimana menilai kinerja pemerintah. Bukankah ada cara yang elegan dan baik dari pada main kartu?. Dan pertanyaan selanjutnya, seberapa besar pengaruh kartu itu dalam mengkritisi pemerintah?.

Mengapa kartu hanya diberikan kepada pemerintah, kenapa tidak diberikan kepada penjahat berdasi, para koruptor negeri ini, kepada partai yang kadernya banyak yerlibat kasus korupsi, kepada wakil rakyat yang tidak mewakili aspirasi rakyatnya?. So, masih mau main kartu lagi bapak-bapak yang terhormat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun