Mohon tunggu...
Agus Yuniarso
Agus Yuniarso Mohon Tunggu... profesional -

Agus Yuniarso berdomisili di Wirosaban, Yogyakarta. Penulis sekaligus media-trainer yang juga dikenal sebagai kartunis ini aktif mengikuti perkembangan media, teknologi dan regulasi penyiaran di Indonesia. Aktifitas lainnya adalah dokumentasi sosial budaya melalui berbagai karya video dan fotografi. Tautan ke berbagai aktifitas dan karyanya, dapat ditelusuri melalui Blog Agus Yuniarso.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menelusuri Sisa-sisa Benteng Keraton di Kotagede

19 Mei 2010   05:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:07 1649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selain situs Makam Raja-raja Mataram serta Masjid Besar Mataram, sisa wajah Kotagede sebagai bekas pusat kerajaan besar ditunjukkan dengan adanya peninggalan berupa tembok benteng Keraton yang mengelilingi bangunan utama Keraton dan berbagai pemukiman penduduk. Sayang, kondisinya sudah sangat parah dan rusak termakan jaman. Hanya sebagian kecil yang masih tersisa berupa reruntuhan di sejumlah tempat. Batas-batasnya pun sangat sulit dikenali. Bangunan Keraton serta berbagai pemukiman penduduk pun tinggal toponim saja.

Dahulu, tembok benteng Keraton Mataram berdiri mengelilingi alun-alun, pasar, makam para raja, serta berbagai pemukiman penduduk, seperti pemukiman kaum bangsawan, para pandai besi, para penyamak kulit, abdi dalem, kaum ulama, para pembuat tembaga, penjagal ternak, para pembuat senjata, dan pemukiman golongan Kalang. Di sekeliling tembok benteng terdapat jagang atau parit dalam yang berfungsi sebagai saluran air sekaligus juga sebagai sarana keamanan untuk menghambat masuknya musuh ke dalam Keraton. Ada 2 buah parit di sekeliling benteng, yaitu Jagang nJero di sisi dalam dan Jagang nJaba di sisi luar.

Selain tembok Benteng Cepuri yang mengelilingi Keraton, di luar masih ada lagi tembok besar mengelilingi kota, yang disebut Benteng Baluwerti. Dibandingkan dengan kondisi Benteng Cepuri, kondisi Benteng Baluwerti jauh lebih memprihatinkan. Sisa-sisanya sudah teramat sulit dijumpai. Sebagian besar tembok telah rata dengan tanah dan hanya menyisakan fondasi di beberapa tempat. Gerbang kota dan pintu gerbang Keraton juga sudah tidak ada.

Menelusuri tembok Keraton Mataram di Kotagede seperti menelusuri tubuh Semar yang sedang tidur meringkuk menghadap ke barat. Semar adalah salah satu tokoh pewayangan yang berbadan tambun. Bentuk tembok di bagian selatan diidentifikasikan sebagai kaki Sang Semar, sedangkan kuncung kepalanya berada di tengah tembok utara. Bagian yang masih mudah dikenali adalah Bokong Semar, yaitu tembok yang melengkung di bagian tenggara. Tubuh Semar itu tidak lagi utuh seperti adanya semula. Di bagian utara hanya tersisa seonggok tembok yang telah dipugar. Ke arah barat, tembok telah berhimpit dengan dinding rumah penduduk dan sebagian hilang dipotong jalan-jalan kecil. Di bagian barat, banyak batu-batu tembok yang lepas dan digunakan untuk bangunan rumah penduduk. Di luar tembok masih terlihat cekungan-cekungan tanah yang sejajar dengan tembok dengan kedalaman 1 sampai 3 meter dan lebar antara 15 sampai 25 meter. Cekungan ini merupakan sisa-sisa parit atau jagang.

Tempat dimana Panembahan Senopati tinggal, sampai sekarang dikenal dengan nama Kampung Dalem yang terletak sekitar 300 meter di sebelah selatan Makam Senopaten. Bekas Dalem Ageng diperkirakan terletak di tempat dimana Pasareyan Hasto Renggo saat ini berada. Kompleks pemakaman ini dibangun pada tahun 1934, atas prakarsa Sultan Hamengku Buwono VIII sebagai makam keluarga Kasultanan Yogjakarta.

Di sebelah selatan Pasareyan Hasto Renggo, berdiri sebuah bangunan kecil di tengah pelataran yang dikelilingi pohon beringin. Dalam bangunan ini tersimpan Watu Gilang, Watu Gatheng dan Watu Genthong. Watu Gilang adalah batu berbentuk bujursangkar yang memiliki lebar sekitar 2 meter dengan tinggi 30 centimeter. Watu Gilang dipercaya sebagai bekas singgasana Panembahan Senopati. Sedangkan Watu Gatheng adalah 3 buah batu bulat berwarna kuning keemasan yang diletakkan di sebuah dudukan batu persegi. Konon, batu ini dipergunakan oleh Raden Ronggo, putra Panembahan Senopati, untuk bermain gatheng atau lempar batu. Di sisi pintu yang lain, terdapat tempayan dari batu hitam dengan beberapa cekungan sebesar jari tangan di sisi depannya, yang disebut Watu Genthong. Ini dipercaya sebagai wadah air wudhu yang dipakai bersuci oleh Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Giring, para penasehat Panembahan Senopati.

Sebuah keunikan terdapat pada Watu Gilang, dimana salah satu sisinya dhekok atau terdapat cekungan berukuran selebar dahi. Konon, ini adalah bekas benturan kepala Ki Ageng Mangir Wonoboyo yang dihempaskan oleh Panembahan Senopati selagi menyampaikan sembah bakti. Ki Ageng Mangir Wonoboyo adalah suami Ni Pembayun, putri Panembahan Senopati. Seorang tokoh yang dianggap memberontak dan dianggap musuh oleh Panembahan Senopati. Perkawinannya dengan Ni Pembayun adalah taktik Panembahan Senopati untuk melumpuhkannya. Karenanya, makam Ki Ageng Mangir Wonoboyo separuh berada di sisi dalam dan separuh di sisi luar bangunan Prabayeksa di Makam Senopaten yang melambangkan statusnya, sebagai menantu sekaligus musuh Panembahan Senopati.

Pada permukaan Watu Gilang terdapat prasasti misterius dengan 4 bahasa : Latin, Perancis, Belanda dan Italia, yang diletakkan dalam bentuk lingkaran. Di dalam lingkaran ini terdapat tulisan berbahasa latin yang berarti “untuk memperingati nasib yang kurang baik”. Tulisan lainnya memiliki arti “Selamat jalan kawan-kawanku. Mengapa kamu sekalian menjadi bingung dan tercengan. Lihatlah wahai orang yang bodoh dan tertawalah, mengumpatlah, kamu yang pantas dicaci maki”. Di dalam lingkaran kecil terdapat tulisan huruf singkatan IGM atau in glorial maximam, yang berarti untuk keluhuran yang tertinggi. Tulisan-tulisan berbentuk lingkaran :

ITA MOVETUR MUNDUS ( Bahasa Latin )

AINSI VALE MONDE ( Bahasa Perancis )

ZOOGAAT DE WELERD ( Bahasa Belanda )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun