Kita sedang menjalani ketergantungan alamiah kita sebagai manusia, yaitu mahluk sosial. Saling membutuhkan satu sama lainnya dan bukan untuk saling membanding-bandingkan sesuatu yang buruk-buruk. Namun sebagian kita berjiwa penentang yang masih suka membanding-bandingkannya. Membandingkan rejeki orang lain, membandingkan milik orang, nasibnya, keberuntungan, dan membandingkan masa-masa susah kita dalam perjalanan hidup
Tidak jarang dari kita mengatakan, "Saya lebih menderita daripada anda," atau "anda tidak tahu betapa saya dulu sangat menderita sebelum saya kaya raya seperti sekarang ini," dan berkata. "Anda tidak tahu kalau dulu sebelum seperti sekarang ini, 7 turunan saya sangat sengsara."
Ungkapan-ungkapan ini sudah menampakkan kualitas diri kita. Sudah melingkari nasib kita lebih menyedihkan daripada orang lain. Padahal semua manusia itu menderita, dan sudah berada pada takarannya masing-masing, sudah berada pada tekanannya masing-masing. Seberapa kuat ia menghadapi cobaan atau ujian hidupnya, yang terpenting orang yang tidak memiliki hutang adalah hidupnya lebih ringan.
Anda, saya, dia, mereka, kita semua sudah memiliki atau menjalani cobaan masing-masing, jadi tidak ada perbandingan. Perbandingan itu hanya berada pada batas keikhlasan dan keimanan kita menghadapinya, bukan pada siapa yang paling menderita.
Cobaan hidup bertujuan untuk menjembatani antara dua sisi, akan menjadi baik atau buruk diri kita setelah menjalaninya. Celah perbedaan ujian di antara manusia itu "tidak ada", cobaan dengan memiliki harta banyak atau sedikit harta adalah sama, yang membedakan hanyalah besar kecilnya nafsu duniawi yang dimilikinya (apa yang diinginkannya, berlebihan atau tidak), menguji apa yang terjadi dalam hati dan pikiran manusia dengan memiliki banyak harta atau tidak.
Semua manusia adalah sama, berat atau ringan suatu cobaan itu diturunkan langsung oleh Tuhannya, dan akan di balas Tuhan atas apa yang terjadi setelah cobaan selesai, baik di balas secara langsung di dunia berupa harta dan tahta (dapat pula rejeki itu dilimpahkan kepada anak cucu atas apa yang telah diperbuat orangtuanya), atau di balas nanti di akhirat.
Cobaan hidup bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada Yang Maha Kuasa. Bukankah sudah dijelaskan dalam agama bahwa, "hidup dunia ini hanya bersifat sementara." Atau, "kehidupan di dunia ini hanya tempat bersenda gurau." Cobaan-cobaan yang tiada henti yang kita jalani akan menentukan ke arah mana akhir pencapaian yang sudah kita lakukan di dunia ini. Bukan untuk dibanding-bandingkan yang akan membuat diri sendiri merugi. Jika membanding-banding hal positif untuk menambah ketakwaan, itu baik adanya, selain sebagai pelajaran, juga ditujukan untuk mengurangi ketegangan dan pertikaian dalam proses kehidupan.
Apakah dengan membanding-bandingkan dapat membuat diri sendiri bahagia?, apakah dengan mengatakan paling menderita itu dilakukan agar mendapat perhatian dari orang lain?, atau agar orang mengetahui jika kita lebih menderita dari manusia manapun juga di dunia ini?.
Terbebas dari kita memaksakan siapa yang lebih menderita dan siapa yang tidak. Kita sebagai manusia secara konsisten telah menetapkan bahwa kita harus (wajib) bertakwa. Kita yang hidup di jaman modern ini sudah dibatasi oleh undang-undang yang dibuat pemerintah dalam masalah hidup bernegara, kewajiban, hukum, dan disiplin dengan batasan-batasan cara bertingah laku pada orang lain dan mengetahui cara hidup bermasyarakat.
Secara logika dan secara agama, perbuatan dosa di jaman baheula (dahulu) dan jaman sekarang adalah ulah syaitan, semua adalah permainannya, semua tipu dayanya, ia ingin menjadikan kita sebagai temannya. Ia pun mengikuti perkembangan/kemajuan jaman, mengiringi arah dalam berfikir manusia, dalam penciptaan/kreatifitas manusia, bagaimana cara menyesatkan manusia pada tiap jamannya.
Kita semua dipaksa untuk melakukan dosa pembunuhan dengan cara membunuh karakter orang melalui medsos, walau masih sering terjadi pembunuhan secara langsung. Syaitan mencari cara menimbulkan kebencian dalam hati kita, membanding-bandingkan apa yang diperlihatkan orang di medsos, kita di paksa untuk memperburuk diri sendiri dan cara menjelek-jelekkan orang lain. Kita membunuh karakter orang secara perlahan-lahan melalui tulisan-tulisan di medsos, saling bersilat lidah, lalu hanya dengan menulis satu kalimat saja dapat di penjara, dan dapat dimiskinkan.
Orang-orang membanding-bandingkan jika perkataan orang lain itu salah, dan merekalah yang paling benar, perbuatan mereka adalah yang terbaik, dan lain sebagainya.
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa ujian atau cobaan sudah berada pada takaran jaman dan berdasarkan keimanan tiap manusia. Semakin kuat keimanan seseorang akan semakin kuat juga ujian yang datang. Tuhan memberikan persyaratan tentang kewajiban dan larangan, semua diserahkan kepada kehendak manusianya, (oleh karenanya, Tuhan menciptakan kehendak dalam dada kita), pilih menjalankan kewajiban atau larangan-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H