Rasanya pudar sudah senja yang emas di ruang keluarga. Kalimat ini begitu datar memang, tetapi kita resapi apa yang disebut waktu senja yang begitu berkmakna. Ya, Aku ingat betul waktu itu, sekitar tahun 2006 yang lalu, tatkala Bupati Wonosobo H.A Kholik Arif, mengajak semua elemen warga untuk kembali ke Keluarga. Dia bersama semua tokoh lokal mencanangkan sebuah gerakan Senja Keluarga. Dimana sebuah ajakan yang mengambil filosofi budaya adat ketimuran bangsa Indonesia. Yakni waktu senja adalah saatnya kembali ke rumah. Alam dan binatangpun juga telah mengisyaratkan hal itu. Tatkala sang surya mulai terbenam semuanya bergegas persiapan kembali ke habitatnya. Ayam akan kembali ke kandang, sementara pohon-pohonpun mulai merunduk, tanda datangnya malam akan tiba.
Setelah satu hari penuh manusia disibukkan oleh urusannya, maka saatnya senja datang mereka kembali ke keluarga. Aku ingat betul saat aku kecil, Dimana adzan magrib magrib berkumandang aku bersama kawan-kawan langsung ke Mushola untuk beribadah dan belajar kitab suci. Setelahnya aku pulang makan malam bersama keluarga, bercengkrama dengan saudara dan tentu ibuku juga, karena ayahku sudah tiada sejak aku umur 9 tahun lalu. Rasanya nikmat, meski hanya berkisar satu setengah jam, waktu yang begitu produktif. Kami dapat berkumpul bersama keluarga, berbagai hal untuk kami lakukan bersama. Juga kami dapat mendengar cerita pengalaman kakakku dari aktivitasnya siang itu meskipun terkadang aku belum paham semuanya karena jarak usiaku dengan mereka terpaut jauh.
Waktu senja adalah waktu emas bagiku dan bagi keluargaku. Saatnya untuk merefleksi hubungan inter keluarga dan antar keluarga dengan tetangga. Meski hanya lewat makan bersama, berkumpul saling mengungkapkan cerita atau pendapat, bahkan pada pembelajaran bersama, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu pelajaran sekolah. Akhirnya aku memahami bahwa aku merasa dicintai oleh keluargaku.
Namun seiring berkembangnya kehidupan sekarang ini,seolah waktu senja tidak memiliki arti lagi. Lihat saja di Mall-Mall, tidak saja orang tua, anak muda pun masih asyik jalan-jalan di waktu itu. Kapan mereka berinteraksi bersama keluarganya? Papa dan mamanya super sibuk mencari uang yang takkan pernah kenal waktu. Anak-anak tanpa pendampingan dibiarkan hidup sendiri meski secara materi berkecukupan. Seolah hubungan antar individu dan keluarganya cukup dengan HP, email atau alat-alat canggih lainnya. hubungan personal dari hati ke hati lewat pertemuan fisik mulai berkurang. Mungkin inilah era digitalisasi, manusia seperti mesin, penuh dengan kabel dan strum listrik yang melekat di badannya.
Belum lagi bagaimana seolah Televisi tak pernah mati 24 jam. Semua tayanganpun banyak berbau duniawi, kesombongan, perkelahian, kasus, kekerasan dan lainnya yang menghembuskan aura negatif. Sudah begitu kita pun lengah tak mampu memfilter isi siaran, karena nyatanya sulit untuk mengkritisi bahkan melarang isi tayangan yang kadang atau bahkan kurang tepat di mata anak-anak. Tentu tidak bijak kalau kita melarang semua orang untuk mematikan Televisi di waktu senja. Apalagi jam-jam itu memiliki rating tinggi bagi pemasang iklan. Namun mematikan televisi di rumah dengan kesadaran sendiri inilah yang paling memungkinkan.
Memulai semuanya dari diri sendiri dan anggota keluarga, menjadi kunci dari pembinaan karakter bangsa. Memang seolah semua kata-kata ini mudah untuk dilaksanakan. Karena begitu banyak godaan dan gangguan yang merintangi niat ini. Termasuk aku si penulispun masih terasa sulit. Semoga dengan tulisan ini dapat memotivasiku lagi untuk kembali bersama keluarga di waktu-waktu senja yang emas. Meraka adalah Mutiaraku yang kelak akan bersinar meneruskan cita-citaku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI