2019 di Sisi Penyair:
Puisi Indonesia terus bergolak mengiringi tahun politik bangsa ini, seakan menjadi saksi sekaligus pelaku politik yang terlibat bersama sama rakyat untuk menentukan masa depan negeri ini. Penyair Indonesia dengan bahasanya menjadi saksi utama di tahun yg menentukan itu.
Gonjang ganjing peristiwa politik menjadikan perubahan pada karya karya penyair Indonesia. Yang acuh tak acuh disebut penyair buta tuli. Yang berpihak disebut penyair salah kaprah, dan yang independen disebut penyair tak punya pendirian atau penyair bingung (istilah penulis)
Rupanya perubahan itu menjadi menjadi ragamnya karya cipta puisi di tahun 2019. Karya-karya tersebut jelas tidak menjadi universal atau menjadi karya yang agung. Disamping ragamnya yang beraneka iklim negara ini tak membuat karya cipta melahirkan yang agung.
Puisi puisi penyair oleh para penyair di 2019 yang penulis istilahkan di atas hanya sebatas menyindir, lempar batu, separo hujat dan sepro puji, kebingungan dan juga potret tragedi yang terabaikan dari hiruk pikuk ramainya isu politik .
Penulis tidak menyoroti karya untuk hal suasana panasnya suhu politik tetapi akan menyoroti beberapa karya penyair yang patut mendapat apresiasi tinggi yaitu penyair dan puisi yang jeli melihat sisi yang dilupakan dan ditinggalkan di sudut negeri di sudut peristiwa.
Di awal tahun 2019 hingga pertengahan puisi puisi tercipta dalam kelahirannya termasuk kegiatan yang mengiringinya tak mendapat respon dari masyarakat. Keadaan ini disebabkan banyaknya isu hoax yang ramai dimasyarakat. Tak jarang puisi 2019 seperti pelaku pelaku politik semua hanya 'pencitraan.
Sementara penyair2 Indonesia masih tetap eksis dalam tahun politik yang sangat panas. Komunitas-komunitas penyair menampilkan isi yang tak bersinggungan dengan politik di tahun ini.
Komunitas aktif masih terlihat pada komunitas-komunitas nasional lama seperti Puisi Menolak Korupsi (Solo), Warung Apresiasi (Bulungan), TIM, Negeri Poci (Tegal) , Dapur Sastra (Jakarta) Lumbung Puisi ( Indramayu), Yayasan Hari Puisi Bekasi , Tembi Solo, Kindai Sastra (Banjarbaru), Bengkel Sastra Taman Maluku (Semarang), dan lain-lain.
Kegairahan pelaku sastra itu tampaknya juga semu seakan hanya untuk mengisi kegiatan ini dapat dilihat dari pada berita yang ditimbulkan kurang mendapat komentar dari masyarakat pecinta sastra. Meski belum bisa dikatakan bosan, mereka yang kita sebut sebagai pejuang-pejuang sastra itu patut mendapat acungan jempol karena merekalah yang memelihara sastra Indonesia.
Dalam tahun panas ternyata juga melahirkan banyak puisi yang di terbitkan dalam bentuk antologi baik tunggal maupun bersama. Puisi yang terbit dalam antologi-antologi itu belum mendapat sambutan masyarakat. Ini disebabkan juga karena perhatian masyarakat yang mau tidak mau digiring ke dalam wacana politik negeri ini.