Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kisah M. Sholeh, Aktivis'98 yang Menang Gugatan Sistem Pemilu di Mahkamah Konstitusi

21 Juli 2023   21:58 Diperbarui: 21 Juli 2023   22:02 1320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhammad Sholeh. foto: beritamoneter.com

Namanya, Muhammad Sholeh, karib disapa Cak Sholeh. Seorang advokat yang lumayan kondang di Surabaya. Sosoknya gesit dan lincah. Kalau bicara blak-blakan, tanpa tedeng aling-aling, khas Arek Suroboyo.
 
Saya kenal baik dengan dia, bahkan boleh dibilang bersahabat. Kami sering berdiskusi, bertukar pikiran, dan saling memberi info-info ter-update.

Terutama di Era Reformasi 1998, saat itu, saya masih menjadi wartawan, sementara Sholeh masih menjadi aktivis mahasiswa yang kerap turun jalan.

Yang saya tahu, M. Sholeh menamatkan kuliah Fakultas Hukum di Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya. Sebelumnya, Sholeh menempuh studi Sekolah Tsanawiyah Tebuireng Jombang, lulus tahun 1991.  

M. Sholeh kerap hadir di aksi demonstrasi mahasiswa. Dia juga sering didapuk untuk berorasi. Membakar semangat para mahasiswa.  

Ada satu lagi teman M. Soleh yang juga piawai orasi. Namanya, Taufiq Hidayat alias Taufiq Monyong yang kini menjadi Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur.

Saya sering mewawancarai dia. Sebagai narasumber, saya menilai Sholeh punya kecakapan menjelaskan persoalan yang menjadi agenda setting untuk disampaikan kepada publik. Narasinya runtun, detail, dan bernas.

Di masa mahasiswa, M. Sholeh bergabung dengan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) tahun 1994-1996. Organisasi tersebut underbow Partai Rakyat Demokratik PRD. Banyak kalangan menyebut organisasi beraliran kiri.  

M. Sholeh kemudian dipercaya menjabat Ketua PRD Surabaya, tahun 1998 hingga 2000. Zaman itu, ada beberapa nama beken yang menjadi pengurus PRD, di antaranya  seperti Budiman Sujatmiko, Andi Arief, Faizal Reza, Dita Indah Sari, dan Pius Lustrilanang.

Di masa Orde Baru, nasib nahas dialami M. Sholeh. Dia harus mencicipi penjara Kalisosok selama 1,5 tahun. Sholeh dituduh melakukan kegiatan subversif. Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menvonis Sholeh 4 tahun penjara, tahun 1996.

M. Sholeh tak sendiri. Rekan sesama organisasinya di PRD yang juga seorang penulis produktif, Coen Husain Pontoh, juga ikut mendekam di Penjara Kalisosok selama 2,5 tahun.

Sholeh pernah menceritakan betapa dia kaget berada di Penjara Kalisosok. Bayangannya, penjara Kalisosok itu menyeramkan, angker. Ternyata dia salah setelah menjalani hidup sebagai warga binaan di sana.

Cerita M. Sholeh kepada para wartawan, di Kalisosok dia ditempatkan di blok E yang merupakan blok isolasi. Satu kamar di blok itu hanya diisi satu orang. Di blok tersebut biasa diisi para tahanan politik.

Di Kalisosok, kata Sholeh, para narapidana bebas berkeliaran dari blok satu ke blok yang lain.

Tentu ada batas waktu kapan harus masuk sel lagi. Di sana, dia bersama narapidana lain bisa berolahraga bersama, nonton TV, baca buku, dan lainnya.

Selain menggeluti profesi sebagai pengacara. M. Sholeh juga berhasrat masuk panggung kekuasaan. Ingin mencecap riuhnya suasana politik.

Dia sempat mencalonkan sebagai anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerindra, dan bakal calon wali kota (bacawali) dari jalur independen, tapi belum berhasil.

Suatu hari, saya pernah bertemu M. Sholeh di kantornya, di sebuah ruko di Jalan Genteng Muhammadiyah, Surabaya. Di sana, saya ketemu Budiman Sujatmiko, Adi Sutarwijono (kini ketua DPRD Surabaya), dan Jagad Hari Suseno.

Nama terakhir adalah anak Ir Sutjipto Soedjono (kini sudah almarhum), tokoh PDIP, pernah menjabat Wakil Ketua MPR RI, tokoh kepercayaan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Di kantor M. Sholeh kami berdiskusi banyak hal sembari makan rujak cingur Genteng yang legendaris. Satu di antaranya soal rencana penerbitan buku biografi Ir Sutjipto.

M. Sholeh saat menjadi bacawali Surabaya jalur independen. foto: surabaya.tribunnews.com/yusron naufal putra 
M. Sholeh saat menjadi bacawali Surabaya jalur independen. foto: surabaya.tribunnews.com/yusron naufal putra 

***

"Oh yang di MK itu. Oke, nanti saya kirim datanya. Saya belum bisa bertemu karena minggu-minggu ini ada di Jakarta," begitu kata M. Sholeh menjawab WA saya, Minggu (16/7/2023).

Setelah bongkar-bongkar file, ketemulah data lewat perkara nomor 22/PUU-VI/2008, terkait uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Waktu itu, Ketua MK dijabat Prof. Moh. Mahfud MD (sekarang Menko Polhukam).

Keputusan tersebut dibacakan pada 23 Desember 2008. Disebutkan jika Muhammad Sholeh selaku pemohon, meminta pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Dengan keputusan MK tersebut, penetapan calon anggota legislatif (caleg) untuk Pemilu 2009 ditentukan dengan sistem suara terbanyak. Bukan lagi ditentukan oleh elite partai politik atau mekanisme melalui nomor urut.

Dikabulkannya gugatan M. Soleh oleh MK itu mendapat perhatian luas dari masyarakat. Nama M. Sholeh yang mengajukan gugatan pun moncer. Menjadi perbincangan publik.

Banyak media massa mainstream menjadikan berita keputusan MK itu sebagai laporan utama. Jawa Pos malah memasang wajah M. Sholeh menjadi utama di halaman 1.

Yang menarik, foto Sholeh itu dimontase dengan sosok Superman lengkap dengan kostumnya dengan huruf "S".

M. Sholeh menceritakan, ketika itu putusan MK mengubah sistem pileg ke sistem proporsional terbuka murni relatif mepet dengan pelaksanaan pemungutan suara, yaitu setelah penetapan daftar calon sementara (DCS).

Adanya perubahan ini memang menghentak. Membuat sebagian caleg yang sudah terdaftar di dalam DCS kalang-kabut.

Sebab, mereka telanjur merencanakan strategi pemenangan dengan mengamankan nomor urut kecil, sebagaimana berlaku pada Pemilu 2004, bukan dengan berlomba meraup suara terbanyak.

Sementara itu, terang M. Sholeh, dengan sistem proporsional terbuka murni, para caleg dinilai harus pandai-pandai mengambil simpati dan membangun kedekatan dengan konstituen di dapil masing-masing.

Namun, keceriaan dan kegembiraan M. Sholeh tidak berbanding lurus dengan posisinya yang saat itu juga mencalonkan diri sebagai caleg.

Pasalnya, setelah keputusan MK itu,  M. Sholeh dicoret dari daftar caleg PDIP dapil I Jawa Timur pada Pemilu 2009.

Belakangan, M. Sholeh sangat aktif menekuni profesinya sebagai pengacara. Dia memanfaatkan media sosial (medsos) untuk kampanye tagline no viral no justice.

Yang paling saya ingat, M. Sholeh pernah menggegerkan publik setelah muncul rekaman video dirinya dengan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, dukun pengganda uang yang kemudian dipenjara atas kasus penipuan dan penggandaan uang.

Waktu itu, M Sholeh memang menjadi kuasa hukum kasus pembunuhan pengikut Dimas Kanjeng.

Dalam video tersebut, Dimas Kanjeng pamer "kesaktian" mengeluarkan uang dari balik tubuhnya.

Dimas Kanjeng dengan memakai baju batik warna coklat, terlihat berdiri di depan M Sholeh di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas.

Dari balik tubuhnya dia mengeluarkan uang gaib. Sebelum aksi dimulai, M Sholeh sempat memeriksan belakang tubuh Dimas Kanjeng hingga membuka baju yang dikenakan dia.

M. Sholeh mengaku uang yang dikeluarkan Dimas Kanjeng itu berupa lembaran Dollar Singapura, Real, Euro, dan Pound Sterling. Jika ditotal nilainya Rp 50 jutaan.

M. Sholeh di kantornya. foto: mainmain.id
M. Sholeh di kantornya. foto: mainmain.id

***

M. Sholeh mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terkait Pemilu dengan penuh keyakinan jika permohonannya akan dikabulkan.

Itu sebabnya, ketika banyak orang mempertanyakan niatnya, bahkan ada yang mencibirnya karena dianggap cari panggung, cari popularitas, dan lainnya M. Sholeh sama sekali tak peduli.

Dan upaya itu tak sia-sia, karena Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan gugatan M. Sholeh. Hal ini membuktikan jika harapan akan keadilan hukum bisa dirasakan secara nyata.

Bukti itu juga dikuatkan jika pada tahun ini (2023), MK juga tidak mengabulkan gugatan untuk mengganti sistem pemilu legislatif. Yakni, tetap menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka.

MK yang merupakan lembaga negara pengawal dan penafsir konstitusi (the guardian and the interpreter of the constitution), sangat dibutuhkan untuk banyak melakukan sidang berkaitan dengan pelanggaran terhadap konstitusi di Tanah Air.

Bagaimanapun juga, penegakan hukum di Indonesia merupakan conditio sine qua non (syarat wajib) yang harus dijalankan tanpa pandang bulu. Jangan sampai kesan atau stereotype di masyarakat jika menegakkan keadilan di negeri ini adalah barang langka.

Publik membutuhkan pembuktian konkret yang bisa ditunjukkan dari kinerja pemerintah menegakkan supremasi hukum.
Jangan sampai publik dibawa dalam suasana penuh kecurigaan, prasangka, dan fitnah.

Sehingga dalam setiap keputusan hukum pada akhirnya muncul dua asumsi jika hukum telah tersubordinasi kepentingan politik dan kekuasaan.

Tak hanya itu, publik sangat mengharapkan aparat penegak hukum di MK bersikap tegas dan konkret terhadap berbagai penyimpangan dan ketidakadilan. Untuk itu, penguatan internal, baik kelembagaan dan personal,  di MK harus menjadi agenda penting.

Semua kenyataan itu tentu bukanlah pekerjaan yang ringan. Karena itu, 20 Tahun Mahkamah Konstitusi Republik Indonedia menjadi momen penting untuk melakukan perbaikan agar menjadi lebih baik.

Dalam masih lekat dengan suasana Tahun Baru Hijriyah 1 Muharam, seyogianya MK "menghijrahkah" hati, pikiran, dan amal perbuatan.

Jujur, bangsa ini harus dilepaskan dari ancaman dan bahaya frustasi, di mana muncul generasi yang memandang sinis masa depannya. Seolah tak ada secercah asa untuk melihat Indonesia lebih gemilang.

Hijrah bisa berarti menguatkan keyakinan akan perubahan yang menjadi pilihan mutlak. Tidak ada yang tidak mungkin dilakukan jika kita mau bertindak, berikhtiar tanpa kenal lelah dan membuka diri untuk dikoreksi. Karena perubahan menjadi salah satu karakter manusia yang sehat. (agus wahyudi)
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun