Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menikmati Jogja di Low Season

7 November 2022   12:41 Diperbarui: 7 November 2022   21:36 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gua Pindul yang eksotik. foto: dok/pribadi

Sengaja datang ke Jogjakarta di hari kerja. Di luar Sabtu dan Minggu. Begitu yang kami lakukan pekan ini. Bepergian bareng istri dan dua anak lelaki saya. Kami bertamasya, mengunjungi spot-spot wisata di Kota Gudeg. Tentu juga dengan kulinernya.

Ada tiga alasan kenapa memilih berlibur di hari efektif. Pertama, terkait masalah cuti. Tidak mudah mengambil cuti mendadak. Terutama jadwal kerja istri yang bertugas sebagai tenaga medis di puskesmas.

Hari Sabtu, istri masih bekerja. Yang sering memenuhi agenda vaksinasi yang cukup padat. Selain diburu target, lokasinya juga berpindah-pindah. Dari mal hingga ke kampung-kampung. Belum yang massal di ruang terbuka.

Kedua, tidak ingin terjebak macet dan antrean pengunjung. Hari Sabtu dan Minggu Jogja pasti padat. Banyak kunjungan wisatawan, baik domestik maupun dari mancanegara. Pemandangan itu terjadi sejak dulu hingga kini.

Tidak mudah mendapat hotel dan penginapan yang bagus dan representatif di Jogja pada Sabtu-Minggu. Harus booking jauh-jauh hari. Atau juga penginapan yang agak jauh dari pusat kota.

Ketiga, bisa mengeksplor objek-objek wisata. Jujur, setiap berkunjung ke Jogja, kami tidak banyak waktu menikmati spot-spot wisata yang menjadi rujukan banyak orang.

Pantai Timang dengan ombak ganas. foto: dok/pribadi
Pantai Timang dengan ombak ganas. foto: dok/pribadi

Pernah suatu hari, kami pelesir sekeluarga ke Jogja. Kala itu jalan tol belum dibangun. Kami menyewa mobil plus sopir dari Surabaya. Pikiran kami dengan membawa mobil sendiri bisa leluasa menjelajahi objek-objek wisata.

Kami berangkat ke Jogja hari Jumat, kemudian balik ke Surabaya hari Minggu. Perjalanan Surabaya ke Jogja waktu itu butuh 11-12 jam. Tidak seperti sekarang, Surabaya-Jogja hanya butuh waktu 4 jam lewat tol. Waktu yang sama juga bisa ditempuh dengan jalur kereta api.

Perjalanan berasa panjang. Sore berangkat, tiba di Jogja dinihari. Tidur tak lebih 5 jam di penginapan. Praktis, kami hanya punya waktu sehari full untuk mengunjungi objek-objek wisata.

Yang terjadi, liburan di Jogja jauh di luar ekspektasi, benar-benar tak sesuai harapan. Pasalnya, sopir tak kelewat paham lokasi objek wisata. Yang mengesalkan dia juga sering salah jalan.

Buntutnya, butuh waktu lama untuk mengunjungi satu objek wisata di Jogja. Waktu lebih banyak habis di jalanan. Sehari full kami hanya mengunjungi Candi Ratu Boko, kemudian lanjut ke Pasar Beringharjo. Malam hari baru ke Malioboro.  

Menyisir sungai di Goa Pindul dengan ban pelampung. foto: dok/pribadi
Menyisir sungai di Goa Pindul dengan ban pelampung. foto: dok/pribadi

***

Di Jogja banyak pemandu wisata partikelir. Saya tidak tahu sejak kapan mulai ada dan menjamur pemandu wisata partikelir itu, kabarnya sudah lama. Mereka biasanya juga nyambi menjadi sopir ojek online.   

Dalam suatu kesempatan, istri saya bersama keluarga ke Jogja. Mereka pesan taksi online dari sebuat aplikasi transportasi. Tujuannya ke tempat oleh-oleh. Sang sopir mengantarkan dengan ramah.

Dalam perjalanan, sopir bertanya beberapa hal terkait kunjungan ke Jogja. Lazimnya dia melayani customer-nya. Di tengah pembicaraan dia cerita objek-objek menarik di Jogja. Yang unik, eksotik, dan paling sering dikunjungi wisatawan mancanegara.

Pembicaraan selanjutnya pun bisa ditebak. Istri dan juga keluarga saya jadi penasaran. Mereka pun lantas bertanya, "Apakah Bapak bisa mengatarkan kami ke sana?"

Sang sopir antusias menyanggupi. "Ibu nanti tinggal beri kabar kapan datang ke Jogja. Saya jemput di mana, nginep di sini berapa hari? Nanti saya akan bikin rundown-nya, Bu," katanya.

Sopir juga menjelaskan soal pembiayaannya. Tersedia paket paket all in yang meliputi sewa mobil, bahan bakar, dan supir. Minus tiket masuk tempat wisata dan parkir.

Untuk paket 14-15 jam seharga Rp 600 ribu sehari dan Rp 300 ribu untuk paket 7-8 jam. Bila melebihi jamnya atau penambahan yang bersifat insidentil, semisal menambah objek wisata, bisa nego langsung.     

Tiba di tempat oleh-oleh, istri dan keluarga langsung menawarkan kepada sang sopir, apakah mau menunggu untuk mengantarkan ke tempat oleh-oleh lain yang recommended di Jogja.

Sang sopir menyanggupi. Tentu saja kali ini tidak pesan melalui aplikasi, melainkan offline. Biayanya dinego langsung. Rutenya tidak jauh dari tengah kota. Seketika, sopir ojek online itu pun berganti menjadi pemandu wisata partikelir.     

Setelah mengantarkan beberapa tempat oleh-oleh dan kembali ke hotel, sopir itu menyerahkan kartu nama. Berikut nomer WA-nya. Sebelum pergi dan memberi salam, dia mengucapkan selamat menikmati Jogja.

Belakangan, istri saya baru tahu kalau dia menyopir ojek online di sela waktu luang kerjaan utamanya sebagai pemandu wisata partikelir. 

Sopir itu pernah bekerja di perusahaan farmasi, pernah tinggal lama di Jakarta. Selama bekerja di Jogja, dia merintis usaha pemandu wisata partikelir ini. Dari usahanya, dia bisa membeli tiga mobil dan punya dua anak buah sebagai sopir.

Saat pandemi covid-19, perusahaan tempatnya bekerja goyah. Banyak karyawan dirumahkan alias di-PHK, dan dia menjadi salah satunya. Setelah di-PHK itu, dia full mengoperasikan usaha sebagai pemandu wisata dan sopir ojek online.

Griya Dahar Mbok Sum yang pernah dikunjungi Presiden Jokowi. foto: dok/pribadi
Griya Dahar Mbok Sum yang pernah dikunjungi Presiden Jokowi. foto: dok/pribadi

***

Dua minggu jelang keberangkatan ke Jogja, saya mengontak sopir pemandu wisata itu. Mengabarkan waktunya, berikut jadwal kedatangan kereta api yang akan kami tumpangi.

Dia meminta kami segera mem-booking hotel. Kata dia, di Jogja meski bukan high season, sulit mencari hotel yang recommended. Dia lantas mengirim nama-nama hotel tersebut.

Benar juga, ada tujuh hotel yang saya lacak via marketplace. Sebagian besar kamarnya memang sudah sold. Hanya kamar dengan rate relatif tinggi dan premium yang masih ada.

Dari tujuh hotel itu kami memutuskan mem-booking dua kamar di hotel yang termasuk direkomendasikan itu: double bed room dan twin bed room. Sekalian kami transfer DP-nya sebesar 50 persen.

Hotel yang akan kami inapi itu berlokasi di Jalan Jogokaryan. Dekat Masjid Jogokariyan. Masjid yang fenomenal dan mendunia. Masjid yang didirikan Pengurus Pimpinan Ranting Muhammadiyah Karangkajen itu dianggap sukses menerapkan manajemen modern yang berlandaskan nilai-nilai pada zaman Rasulullah SAW.

Saya kemudian menerima rundown dari dia, tiga hari dua malam. Waktu yang diestimasikan tak melesat. Mulai jadwal kedatangan hingga kepulangan, karena kami membeli tiket kereta api pulang-pergi, tidak ada keterlambatan.  

Memanfaatkan tiga hari di Jogja itu, saya mengunjungi sedikitnya lima objek wisata. Empat objek saya menamai Wisgundul (Wisata Gunung Kidul), satu lagi museum bersejarah. Plus empat tempat kuliner dan oleh-oleh yang hits, yakni Griya Dahar Mbok Sum, Kopi Klotok, Bakmi Mbah Gito, dan Pabrik Bakpia Patok 25.  

Berikut pengalaman mengunjungi objek-objek wisata di Jogja:  

Pemandangan kota Jogja dari Heha Sky View. foto: dok pribadi
Pemandangan kota Jogja dari Heha Sky View. foto: dok pribadi

1. Heha Sky View

Ini tempat yang keren. Lokasinya di Dlingo-Patuk, Kabupaten Gunung Kidul. Melihat pemandangan Kota Jogja dan pegunungan yang memesona. Cuacanya sejuk dan cenderung dingin.

Tempat-tempat seperti resto, kafe, dan taman yang didesain apik, apalagi   dihidupkan oleh mural-mural yang instagramable. Pantas saja diburu orang untuk ber-selfie ria.

Kami bisa mengeksplor lebih baik tempat ini lebih enak karena datang di low season. Area parkir tidak kelewat penuh. Kami bisa parkir di dalam dekat pintu masuk, biasanya parkir meluber sampai luar area.

Jalan menuju ke lokasi berkelok. Dari kota kira-kira 50 menit bila lalu lintas tidak padat. Waktu perjalanan pulang melewati jalur selatan, ada perbaikan jalan. Lalu lintas diberlakukan buka-tutup.    

Gua Pindul yang eksotik. foto: dok/pribadi
Gua Pindul yang eksotik. foto: dok/pribadi

2. Goa Pindul

Namanya unik. Saya sempat tanya kenapa diberi nama pindul. Dikutip dari cerita seorang pemuda bernama Joko Singlulung mencari ayahnya yang hilang. Dia menyusuri banyak hutan dan goa. Ketika berada di goa pipunya terbentur, sehingga dinamakan Goa Pindul. Pindul diambil dari kata pipi kejendul (pipi terbentur).

Banyak knowledge dan insight yang didapat setelah mengunjungi goa ini. Goa ini memiliki banyak kilauan stalaktit (batuan kapur yang tumbuh dari bagian atas gua) dan stalagmit (kebalikan dari stalaktit). Usianya ribuan tahun, berwarna putih kristal.

Di sana juga ada stalaktit gong, kalau dipukul akan menghasilkan suara mirip gong, membahana karena terpantul di dinding goa. Terdapat juga sebuah ruangan yang cukup besar dengan lubang di atasnya yang berada di tengah goa.

Kami juga menyisir sungai dengan ban mobil sebagai pelampungnya. Saya waktu kecil sering ngintir seperti ini di Kalimas. Malah pakai ban prahoto. Arusnya deras. Tapi di sungai ini arusnya tenang.

Kami yang ngintir berempat dibantu dorongan pemandu wisata. Tahap pertama berjarak 350 meter, tahap kedua berjarak 1,5 km. Kami cukup lama menghabiskan waktu di air terjun.

 

Pantai Timang yang eksotik. foto: dok/pribadi
Pantai Timang yang eksotik. foto: dok/pribadi

3. Pantai Timang

Ini wisata paling ekstrem yang pernah kami lakukan. Kami menyewa jip untuk sampai ke lokasi. Selama perjalanan kami melewati persawahan dan perbukitan dan persawahan yang terjal. Jalanan dipenuhi batu-batu.

Kondisi jalan yang berat itu menjadi berkah bagi penduduk di sana. Karena bisnis sewa jip di sini menjadi laris manis. Banyak warga dekat Pantai Timang memanfaatkan hal itu dengan memodifikasi mobil-mobil lama  menjadi jip bak terbuka. Harga sewanya sama, Rp 350 ribu.

Di Pantai Timang, kami menjajal gondola. Gondola ini berbahan kayu, dikaitkan dengan tali yang ditancapkan di ujung pulau dan Pantai Timang. Gondola mampu mengangkat beban seberat 500 kg. Tempatnya sempit, hanya bisa digunakan 2 orang.

Dari bibir pantai dengan Batu Panjang jaraknya 100 meter. Ada 9 tali yang menjulur dan terikat dengan gondola tersebut. Waktu kami naik gondala, ada enam orang yang menarik kami dari pulau satu ke pulau lainnya. Duh, semriwing rasanya waktu meluncur.  

Sebelum pulang, kami sempat menikmati kuliner di sana. Kami makan lobster dan ikan laut. Harganya relatif terjangkau. Rasanya juga lezat. 

  

Panorama di Heha Ocean View. foto: dok/pribadi
Panorama di Heha Ocean View. foto: dok/pribadi

4. Heha Ocean View

Kami datang malam hari di tempat ini. Tak banyak pengunjung yang datang. Bahkan untuk parkir manajemen tidak memungut biaya alias gratis.   

Boleh dibilang baru pertama kali kami mengunjungi tempat wisata yang menyediakan spot-spot foto berbayar. Dari harga Rp 10 ribu sampai Rp 30 ribu. Sedikitnya ada 12 spot foto yang desainnya menarik, unik dan instagramable.

Konsep penataannya hampir sama dengan Heha Sky Views karena memang satu manajemen. Hanya bedanya di Heha Sky Views berlatar perbukitan dan pegunungan, sementara Heha Ocean View menawarkan pemandangan laut.

Waktu pulang, kami naik mobil pengantar bagi pengunjung yang disediakan secara cuma-cuma. Mobil itu didesain dengan tempat duduk seperti angkot dan terbuka.   

Salah satu spot di Ullen Sentalu Museum. foto: dok/pribadi 
Salah satu spot di Ullen Sentalu Museum. foto: dok/pribadi 

5. Ullen Sentalu Museum

Ini satu-satunya tempat yang kami kunjung di luar Wisgundul. Lokasinya di Pakem, Kabupaten Sleman. Saya direkomendasi mendatangi museum ini sebagai rute terakhir, sebelum menuju Stasiun Tugu Jogjakarta.

Untuk masuk museum ini harus membeli tiket Rp 50 ribu per orang, itu yang tur Adiluhung Mataram. Kalau Tur Vorstenlanden harga tiketnya Rp 100 ribu.

Menikmati museum ini tidak sebebas museum-museum lainnya. Setelah membeli tiket harus menunggu, minimal 10 orang dalam satu rombongan, kemudian menjelajah bersama pemandu yang ditunjuk . Di sini pengunjung dilarang memotret. Hanya spot-spot di luar museum saja yang boleh dipotret.

Waktu di dalam museum, ada pengunjung perempuan yang nekat memotret. Pegawai museum yang mengetahui langsung menegur dan meminta telepon selulernya dimasukkan tas.    

Sebagai pecinta sejarah, saya sangat menikmati berada di museum ini. Apalagi menceritakan tentang Dinasti Mataram yang kebetulan menjadi kajian para pegiat sejarah di Surabaya.

Kami juga menikmati koleksi-koleksi batik yang disimpan di museum tersebut. Beda batik Solo dengan batik Jogja. Berikut lukisan-lukisan dari para raja dan keluarganya dari Keraton Surakarta Hadiningrat dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. (agus wahyudi)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun