Hari-hari ini, urusan menggaet customer (pelanggan) memang sangat rumit. Karena faktanya, tak ada pelanggan benar-benar setia. Mereka punya preferensi yang tidak mudah ditebak. Terlebih generasi milenial dan generasi alpha. Generasi yang sudah terbiasa dengan teknologi informasi. Bahkan sejak masih dalam kandungan.
Banyak pelaku bisnis, baik yang baru maupun lama, hingga sekarang masih mencemaskan dampak disrupsi. Meski tak sedikit di antara mereka yang akhirnya memilih adaptif. Menyesuaikan dan mengikuti perubahan zaman yang makin digital.
Dulu, membuka usaha selalu menekankan 3 parameter. Yakni, lokasi strategis, harga murah, dan berada di keramaian. Sekarang, parameter itu agaknya tidak mutlak diperlukan. Karena kini keberadaan toko swalayan yang beroperasi dengan memenuhi kriteria tersebut, toh ujung-ujungnya juga tumbang.
Beberapa waktu lalu, saya bertemu perwakilan manajemen jaringan toko swalayan ternama di tanah air. Memiliki banyak cabang di Indonesia. Kami berdiskusi banyak hal. Salah satunya terkait dua gerai swalayan di Surabaya berhenti beroperasi alias tutup. Saat ini, beberapa gerai lagi juga dalam tahap evaluasi ketat.
Penyebab ditutupnya gerai swalayan tersebut lantaran pengunjungnya menurun tajam. Tak terlihat lagi antrean panjang dan mengular pembeli membawa troli. Gak ada lagi pamandangan uyel-uyelan pengunjung berebut menukar kupon diskon. Hingga pada akhirnya omzet penjualan anjlok.
Selain itu, ada dua faktor lagi yang dianggap sangat mempengaruhi. Yakni, perubahan konsumen dan persaingan industri ritel makanan dan minuman yang meningkat.Â
Sebelumnya, banyak orang belanja bulanan di waralaba. Belanja dengan volume besar. Sekarang, pelanggan memilih ke ritel modern. Fasilitasnya sama, harganya lebih murah. Mudah dijangkau.
Belakangan saya dengar, pasca penghentian operasi dua gerai waralaba tersebut, manajamen berpikir keras mencari terobosan. Salah satunya, membidik pasar-pasar tradisional dan sentra-sentra kuliner yang kurang bergairah. Masih sepi tepatnya. Selain pertimbangan cost, manajemen juga ingin mendekati kerumunan masyarakat. Hanya, keinginan itu tak mudah terwujud. Karena masih terkendala regulasi dan perizinan.
Hal serupa juga dikeluhkan beberapa pengusaha restoran ternama di Surabaya. Kasusnya nyaris sama. Tiba-tiba pengunjung menurun. Padahal sebelumnya mereka yakin dengan pelanggan setianya. Tapi nyatanya berbanding terbalik. Pelanggan setianya jarang datang, bahkan ada yang tidak kembali lagi. Kondisi ini pun berimbas pada pendapatan. Beberapa pegawainya terpaksa di-PHK.
Hari-hari ini, saya dibikin kesengsem dengan brand kopi lokal yang cukup fenomenal. Gerai ratusan. Tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Muncul belum lama, namun mampu membuat brand asing kelabakan. Ketika keberadaan gerainya di soal di salah satu mal di Jakarta. Hingga brand kopi lokal tersebut "diusir" karena dianggap menggangu brand asing yang sudah mendunia.