Rasanya seperti klangenan. Saat seorang teman ngajak saya ikut "meramaikan" lagi pasar tradisional di Kota Pahlawan. Yang mayoritas kondisinya terpuruk. Lesu dan tak bergairah. Jumlah pengunjung melorot. Omzet anjlok.
Kawan itu, A Hermas Thony. Dia menjabat wakil ketua DPRD Kota Surabaya periode sekarang. Thony juga pernah menduduki kursi legislatif periode 1999-2004. Kini, selain menjadi legislator, Thony juga ketua di Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkoppas) Jawa Timur. Organisasi yang semula baru saya dengar. Visi dan misinya untuk menjadikan Inkoppas sebagai pemain utama perekonomian nasional.
Pasar tradisional, bagi saya, bukan hal baru. Hampir lima tahun saya ikut menyemarakkan pasar tradisional di Surabaya. Bersama PD Pasar Surya, saya terlibat di komite Festival Pasar Surabaya 2011. Event besar yang melibatkan 81 pasar. Hadiah utama satu unit rumah di salah satu kompleks perumahan di Surabaya Barat. Â
Saya juga pernah buka usaha di pasar tradisional. Menjadi pedagang di Pasar Tambahrejo (Pasar Kapas Krampung). Pasar yang legendaris itu, dulunya ramai. Pengunjungnya bukan hanya warga Surabaya, tapi warga daerah lain di Jawa Timur. Semua keperluan tersedia di sana. Komplet.Â
Lalu lintas di pasar itu padat. Berdesak-desakan. Karena menjanjikan, harga stan di Pasar Tambahrejo sangat mahal. Per meternya bisa jauh lebih mahal dari harga tanah kavling. Begitu pun harga sewa stan juga sangat tinggi.
Saya punya teman karib. Biasa dipanggil Kho Untung. Dia punya empat stan di Pasar Tambahrejo. Ada yang berukuran 3x4 meter dan 2x3 meter. Ketika Pasar Tambahrejo belum direvitalisasi setelah terbakar, tahun 2002, Kho Untung tergolong pedagang tajir. Selain buka sendiri, dia juga menyewakan stan-stannya.
Namun setelah direvitalisasi, Pasar Tambahrejo tinggal berada satu komplek dengan mal dan hotel. Konsep yang diusung dengan bangunan baru adalah one stop shopping. Belanja banyak kebutuhan dalam satu tempat. Celakanya, konsep tersebut tidak berjalan mulus.Â
Pasar Tambahrejo yang disediakan dua lantai kondisinya makin terpuruk. Sementara keberadaan mal yang diharapkan menyedot pengunjung juga tidak sesuai harapan. Pun hotel yang okupansinya cukup rendah.
***
Tahun 2010, saya dan teman-teman pedagang di Surabaya pernah "berinovasi". Bikin Grosir Malam Tambahrejo (GMT). Lokasinya di lantai dua Pasar Tambahrejo. Skemanya, kami memanfaatkan "bola muntah" pengunjung Pasar Kapasan, pasar grosir garmen yang ramai dan jadi jujugan peritel di Indonesia Timur. Lokasinya sekitar  satu kilometer dari Pasar Tambahrejo. Pasar Kapasan buka sampai pukul 5 sore. Sementara GMT buka mulai pukul 6 sore.
GMT berhasil menarik minat pedagang Pasar Kapasan. Gak sampai sebulan, sedikitnya 160 pedagang garmen buka stan di GMT. Pedagang Pasar Kapasan serasa punya jam buka lebih lama. Sementara pembelinya punya kesempatan lebih lempang memilih barang. Kami terharu menyaksikan keriuhan GMT yang semula sepi menjadi ramai pembeli. Orang-orang mengusung barang dagangan. Transaksi terjadi di semua stan.
Namun, beberapa bulan berjalan, masalah timbul. Pedagang mengeluhkan kondisi eksisting pasar yang tidak nyaman. Pertama, bau dari pasar basah di bawahnya yang menyeruak ke lantai 2. Hal ini membuat produk garmen yang dijual terimbas. Kedua, pengapnya udara lantaran buruknya sirkulasi udara di pasar tersebut.