Esok hari, suasana di pelatnas geger. Koran-koran ibu kota memberitakan kejadian itu cukup besar. Ada atlet nasional yang berhasil menangkap copet. Bahkan, ada koran yang menyebut sprinter nasional berhasil meringkus copet. Atlet-atlet di pelatnas mencecar Henny, apa benar yang dimaksud koran-koran itu dengan inisia LHM adalah dirinya? Henny tak menjawab selain menggelengkan kepalanya.
Setelah peristiwa itu, dua bulan Henny tak berani naik bus. "Tiap hari saya naik taksi. Saya takut kalau-kalau gerombolan mereka mencari saya," kenang Henny, lantas terkekeh.
***
Di atletik, kita memang agak sulit mencari bakat sehebat Henny Maspaitella, Emma Tahapary, Gurnam Singh, Purnomo, atau Mardi Lestari. Bahkan, kurun waktu terakhir, prestasi atlet-atlet atletik Indonesia cenderung menurun. Masih kalah dibandingkan Filipina Thailand, dan Vietnam.
Bahkan, untuk pemecahan rekor Henny di nomor 100 meter, yang berhasil dipecahkan Irene Truitje Yoseph pada 1999 dengan waktu 11,56 detik, butuh waktu empat tahun.
Soal lamanya rentang waktu pemecahan rekor atletik ini, Henny menilai hal itu terkait pembinaan. "Kalau pembinaan tetap seperti ini, saya pikir untuk memecahkan rekornas saja kita susah. Padahal, di dunia rekor itu hampir tiap tahun ada yang pecah," jelas pemilik tinggi badan 171 sentimeter dan berat 60 kilogram ini.Â
Henny mengakui, kaderisasi di atletik ini agak tersendat. Makanya, butuh terobosan. Dia tak setuju format PON diubah menjadi lebih lama atau lebih cepat dari empat tahunan. Formatnya tetap empat tahunan, tapi kualifikasinya diperketat.
Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI), kata Henny, selama ini terlalu mengonsentrasikan diri pada atlet yang ada di pelatnas. "Dulu, kalau saya diminta ikut pelatnas, pelatih langsung minta kepada ayah. Ayah saya tahu, apakah saya punya prospek atau tidak. Sekarang, mestinya pola seperti itu bisa dilanjutkan," sarannya.
Tentang iming-iming hadiah uang, Henny menilai, harus dilihat dari aspek positifnya. Bonus jangan semata dilihat dari aspek pencarian uang, tapi bagaimana itu bisa memacu prestasi atlet lebih baik lagi.
"Tidak semua atlet kita berasal dari keluarga mapan. Banyak atlet saya dari daerah yang berpotensi. Saya bilang, ini kesempatan mencari peluang. Entah bagaiman cara, pokoknya harus bisa berprestasi. Setelah berprestasi mereka pun bisa dapat bonus dan beasiswa," papar mantan karyawati Bank Dagang Negara yang memilih pensiun dini pada 1999 ini.
Tahun 2000, Henny mulai terjun di dunia kepelatihan. Dia ditawari memegang kendali di pelatnas. Henny menganggap amanah ini tidak ringan. Sebelumnya, ia sempat ikut penataran untuk mengambil sertifikat level 1, dan pada tahun 2002 ikut level 2.