Seperti sebuah siklus yang terjadi sepuluh tahunan. Kegersangan hati kembali mendera. Kecemasan yang berat. Perasaan waswas yang hadir tanpa sebab. Menyesak ke relung hati teramat dalam. Membelenggu batin yang teramat menyiksa.
Berada di antara kenyakinan, lamunan, dan kenyataan. Bayang-bayang minor menyeruak. Berkelibatan, merangsek menusuk dalam alam bawah sadar. Menjejal dalam genangan mimpi-mimpi buruk. Mengganggu kesenyapan malam yang membuat terjaga dalam tidur.
Darwis tiba tiba tersadar. Hari keempat di bulan Rabi'ul Awal. Masih dengan perasaan dan pikiran yang nyaris sama seperti hari-hari sebelumnya. Entahlah, sudah berapa butir pil chamomile yang ditelan, namun tak membuat jenak. Matanya berasa terganjal cemeti.
Jantung Darwis mendadak berdegup keras. Napasnya berasa agak sesak. Keringat dingin mengembun, lalu menggelontor sekujur tubuh. Kaus putih macbeth yang dikenakan pun berubah rada gelap. Dia melirik kedua kakinya, bergemetaran.
Darwis berupaya menghadang ketegangan. Sejenak, dia mendiamkan diri. Mencoba memusatkan pikirannya dengan membayangkan hamparan sawah nan hijau. Berimajinasi duduk menyendiri di batu besar memandangi ombak lautan yang menggelegar.
Beberapa saat berlalu, ia lantas tanggalkan selimut yang membalut tubuhnya. Diraihnya sebotol air mineral yang teronggok di meja. Tangannya cepat memutar tutup botol, lalu menuangkan ke dalam gelas kaca. Gelontoran air mineral membasahi tenggorokan. Sesaat, cukup meredam kekalutannya.
"Kamu mimpi buruk lagi, sayang?" suara parau Virta cukup mengejutkan Darwis.
"Apa lagi yang kamu pikirkan, Mas? "Kembalilah tidur, sayang," ajak Virta seraya meraih tangan Darwis.Â
Darwis merespons dingin. Dia memilih gak berucap sepatah kata pun. Hanya menatap lekat perempuan berdarah Manado-Belanda itu, lalu menggelengkan kepala.
"Bukankah hari ini kamu pantas bahagia, Mas. Project barumu di Australia dan Kanada itu dipastikan running, kan? Â Banyak tuh yang mengapresiasi," ucap Virta, meyakinkan.
Perempuan yang telah menemaninya sebelas tahun itu beranjak mendekat. Mencoba menghibur Darwis yang murung. Diraihnya Apple Iphone 7 yang tergeletak di lipatan bantal. Ia buka WAG. Ia bacakan sejumlah komentar temannya. Juga sebaran link beberapa portal online.
"Tidurlah, manisku. Aku lagi gak mood bahas itu," Darwis memotong pembicaraan sebelum Virta melanjutkan membaca.
Darwis seolah membaca pikiran Virta. Belum sempat terlontar ucapan, ia beru-buru menyela, "Aku nanti  menyusul. Aku butuh berdiam diri, setidaknya setelah fajar menyapa. Aku baik-baik saja, manisku."
"Please, istirahatlah sayang. Jangan biarkan waktu membunuhmu. Banyak orang mengharapkan kehadiranmu. Tak terkecuali buat dia." Virta meraih tangan Darwis, kemudian menempelkan ke perutnyaÂ
Darwis mengangguk. Namun, lagi-lagi, ia tak menjawab secuil kata pun. Hanya pelukan hangat yang ia berikan agar istrinya tenang. Darwis lalu merapatkan selimut, kemudian mengecup lembut kening perempuan itu.
***
"Berapa banyak lagi yang ingin kau nikmati?" Darwis tiba-tiba tersadar oleh deru ingatan dalam otaknya. Berbagai kemaksiatan, keculuasan, kenaifan, kesia-siaan. Semua hal yang melenakan. Berbarengan dengan dorongan nafsu insani.
Perasaan menggiring seolah menginsyafi, betapa betapa bodoh manusia dengan segala keangkuhannya. Dia yang luluh tanpa daya tatkala emosi dan akalnya memopor akal sehat, hingga jatuh dalam kebingungan dan kehampaan yang menyiksa.
Saat sedih begini, ia terlecut mengingat sejumlah referensi tentang seni mengatur pikiran. Betapa pikiran negatif itu memang selalu menghampiri di antara segunung impian, harap, dan asa. Yang mengerek setinggi mungkin untuk meraihnya.
Di saat yang sama, prasangka berbalut amarah dan cemburu melintas tanpa ampun. Mengabaikan semua kekuatan yang jauh lebih besar dari kealpaan dan kelemahan manusia.
Beban ini kelewat menggoncangkan hati. Seperti kabut tebal mengurung bumi. Bukankah kekalutan memang menjadi ladang empuk bagi setan untuk mengaduk-aduk perasaan manusia? Ah, kenapa aku selemah ini? Kerdil dan pandir?
Darwis mengambil air wudlu. Ini cara kesekian kali yang dilakukan untuk mengatasi ketidakyamanan hatinya. Dia membasuh kepala, muka, tangan, dan kakinya. Berharap mampu membasuh batin yang gersang. Menembus ruang batin yang tandus dari benaih-benih kebaikan.
Darwis membeber sajadah yang dipungut dari almari. Wangi dari aroma stella fogo paper merebak. Dia menegakkan qiyamul lail. Rakaat demi rakaat dilakukan penuh kekhusyukan. Hingga tiba waktunya mengkahirinya dengan witir.
Duduk bersila, pria dengan segudang prestasi akademik itu, menengadahkan kedua tangannya. Merapal doa-doa yang sebagian besar dia belum tahu artinya. Darwis hanya percaya Allah tahu maksud dan kehendak dirinya. Karena Dia yang berhak dan kuasa membolak-balik hati manusia.
Tersisip sebuah dorongan dalam kalbu. Jika inilah ujian yang paling jujur yang harus dijawab dengan sikap dan perilaku. Terbimbing dalam bisikan halus dan membius.
"Jangan kau pernah takut dengan ujian. Karena di situlah tempat bagimu mempertebal keyakinan dan kedewasaannmu. Allah lebih tahu dari apa yang kamu kira dan prasangkakan. Mulailah menginsyafi diri atas semua takdir, kodrat, dan iradatNya."
Subhanallah, bak tersambar petir yangg datang menggelegar. Beriringan dengan sapuan angin. Inilah jawaban yang tersenbunyi di balik semua kecemasan ini.
Darwis bergegas mengambil Galaxy Tab S3 miliknya. Jari-jemarinya lincah bermain di fast notepad..Kebiasaan yang selalau ia lakukan ketika harus mengendapkan banyak memori. Â
"Hari ini aku belajar tentang mengendalikan emosi. Tapi kenyataan tak semudah yang aku bayangkan. Sabar adalah kata kuncinya. Dan bersyukurlah mereka yang bisa bersabar menghadapi kesulitan dan kesempitan." Â
"Hari ini aku belajar mengendalikan prasangka. Pikiran-pikiran negatif yang datang berkecamuk. Bayangan kegalauan, kecemasan akan ketetapan Alllah. Datangnya kematian. Datangnya bencana tak disangka-sangka."Â
"Hari ini aku belajar tentang keikhlasan. Lagi-lagi masih terkesan klise. Tapi inilah kenyataannya. Menjadi manusia yang ikhlas tak semudah seperti membalik tempe goreng. Ikhlas sejatinya untuk menggusur riak-riak yang menempel dalam hati." Â Â
Darwis membaca ulang tulisannya. Dia lihat ejaan, aksara, konjungsi, dan semua hal yang berbau typo. Pengalamannya ikut kursus creative writing cukup membantunya memiliki ketrampilan menulis.Â
***
Hujan masih menghajar bumi, petang ini. Gelap yang telah menyisir senja telah digantikan deretan sorot lampu penerangan jalan. Awan tebal menggelayut. Menghiasi langit yang redup. Kilatan petir sesekali menyambar. Angin berhembus kencang. Merangsek di antara bangunan-bangunan pencakar langit.
Di selasar apartemen, Darwis duduk selonjoran. Tubuhnya direbahkan di bale bale kursi resban ukir Jepara berbahan kayu jati. Mencicip kopi espresso yang di roasting tanpa gula. Kedua tangannya membekap dada. Beberapa saat ia pejamkan mata. Menghirup udara sore dalam-dalam. Benar-benar membuat batinnya berasa adem.Â
Dingin makin menyergap. Darwis merapatkan jaketnya. Dia tak mau beranjak pergi. Ingin berpuas diri. Menikmati selaksa peristiwa yang berseliweran dalam ruang batin dan pikirannya. Datang silih berganti. Menusuk dalam keriuhan dan kobaran hasrat dan cita.
Satu peristiwa menguak ingatannya. Menjejal begitu saja. Saat pagi ia dihampiri puluhan perempuan lanjut usia. Mereka memdekapnya seraya menangis sesunggukan. Menangis dalam keharuan. Di tengah kerumitan hidup yang dialami. Para perempuan yang harus bergulat memenuhi kebutuhan periuk nasi lantaran ditingga suaminya. Yang bingung mencari tempat berlindung. Yang kerap jantungnya bergedup lantaran tak punya harapan hidup. Yang buta menemukan peta jalan untuk mendapatkan biaya pendidikan anak-anaknya.
Darwis sudah berbulat hati mewakafkan tanah dan hartanya. Ia ingin mewujudkan cita-citanya membangun rumah buat para janda. Di atas tanah seluas setengah hektar yang dibebaskan dari delapan orang pemilik persil, Darwis akan membangun permukiman layak huni buat para perempuan malang.
Desain dan rancangan rumah dikerjakan sendiri oleh Darwis dan istrinya yang dulu sama-sama pernah menempuh studi arsitektur di Maastricht University Belanda. Rumah-rumah dengan kerangka dasar berupa baja ringan dilapisi dinding papan-papan semen fiber ringan, beratap genting metal, berukuran 6 x 8 meter.
Niatan tulus yang sudah lama ia impikan. Berbagi dengan kaum dhuafa. Ini juga yang menguatkan Darwis mewujudkan nadzar orang tuanya yang telah menghadap Sang Khaik.
Darwis sungguh tak pernah mengira bisa sampai di titik ini. Dia juga tak pernah menyangka dari pintu mana ia tahu mendapatkan kemudahan dan keberkahan tiada tara. Dari pelajaran profetik tentang prinsip khoirunnas anfa'uhum linnas. "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain."
Senyum Darwis mengembang. Mengikuti diorama dengan keceriaan yang melintas di pelupuk matanya. Yang sulit dijelaskan dalam kata-kata dam nalar warasnya. (agus wahyudi) Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H