Mohon tunggu...
Agus Wahyudhi
Agus Wahyudhi Mohon Tunggu... -

Nama saya agus wahyudhi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjalanan Panjang

24 April 2015   20:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:43 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tiba di tempat dimana mesin-mesin itu berlalu-lalang. Tempat dimana aku akan menyelesaikan janji-janjiku bersama keempat temanku. Kami memiliki tujuan yang sama yaitu, melunasi hutang apabila kami berhasil masuk ke perguruan tinggi impian kami. Sultan, Aan, Jaya dan aku masuk ke perguruan tinggi impian kami masing-masing namun, Aman tidak. Ia hanya menemani kami melunasi hutang kami. Berjalan lurus searah dengan mesin-mesin itu. Tak terasa waktu sudah di ujung pergantian hari.

“Gusti sudah makin gelap nih. Ayo mulai”, Teriak Sultan kepadaku. Ia ingin segera melunasi hutangnya.

“Brrr, OK. Bawa makanan kita. Masukkan ke dalam tasku”, Ujarku dengan sedikit menggigil.

Kami memulai perjalanan panjang kami tepat setelah kami melewati gerbang tol. Tempatnya tak sepi namun tak ramai juga. Kami berlima berjalan lurus diiringi hembusan angin dan dipayungi oleh redup lampu jalanan. Layaknya superhero kami berjalan dengan dada yang dibusungkan dengan gagah. Hanya saja kami tak memiliki kekuatan hanya tekad yang kuat untuk sesuatu yang kami janjikan kepada pencipta kami. Langkah demi langkah kami jalani dengan pasti. Berharap semua akan berjalan lancar tanpa ada kendala yang berarti. Lima kilometer telah terlewat. Semangat kami kian membara saat mengetahui kami sudah menginjak lima kilometer. Suhunya begitu rendah membuat kain yang membaluti tubuh kami tak dapat menahannya. Menggigil pun kami rasakan.

“Gus, aku sepertinya aku harus mengeluarkan cairan yang ada di tubuhku, sepertinya aku harus menepi sebentar”, celetuk Aan tiba-tiba sambil menunjuk tepi jalan yang dihiasi semak belukar.

“Aku ikut ya An”, sahut Sultan.

Kedua temanku ini sudah seperti saudara kembar yang memiliki pikiran yang sama dan selalu bersama dalam keadaan suka maupun duka. Dalam kesehariannya mereka saling membantu satu sama lain. Aku terinspirasi dari mereka yang bisa selalu bersama. Mereka sangat sulit untuk dipisahkan. Contohnya saja saat berangkat sekolah apabila Aan tidak berangkat maka Sultan juga tidak akan berangkat sekolah. Mereka tak pernah menghiraukan perkataan orang tentang persahabatan mereka.

“Ya sudah jangan lama ya”, jawabku.

“Siap”, sahut mereka kompak.

Kami menunggunya di bawah lampu jalanan. Tiba-tiba terdengar suara teriakan.

“TOOLOONGG!!”

Kami segera mendatangi sumber suara. Ternyata teriakan tersebut berasal dari Aan. Kami berlari lebih kencang mendatangi Aan. Innalillahi wa innaillaihi rojiun Sultan telah berpulang kepada penciptanya. Ia ditabrak oleh Kijang berwarna hijau yang tak bertanggung jawab. Tak terasa di umurnya yang lumayan muda Ia telah dipanggil oleh sang pencipta. Hari-hari yang telah kami lewati bersama akan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Bagi Aan Ia telah kehilangan sesosok orang yang Ia anggap sebagai saudara kembar selama ini. Teman seperjuangan kami yang sangat setia telah tiada. Kami tak sanggup membendung perasaan sedih kami. Air mata menetes tak henti bagai sungai berarus deras. Kami tak dapat menelpon polisi karena alat komunikasi kami tertinggal di mobil saat berangkat. Haru semakin pilu kami tak dapat berbuat apa-apa di kematian sahabat kami yang setia ini.

“ Kawan tak ada gunanya menatapi jasad yang sudah tiada, mari kita melanjutkan perjalanan” ketus Aman.

“ Kamu tak melihat sahabat kamu meninggal dan kamu ingin meninggalkannya, manusia macam apa kamu? tak berperasaan. Sahabat macam apa kamu?” sahut Aan dengan nada kesal

“ An sudah. Benar kata Aman Allah telah menentukan jalan kematian kita. Tak ada gunanya kita bersedih, hanya akan menambah luka di hati. Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan kita agar dapat melunasi hutang kita. Menepati janji kita kepada-Nya” jawabku.

Aan mengiyakan kata-kataku dan setuju untuk melanjutkan perjalanan. Namun, Aan masih menyimpan cairan di dalam tubuhnya akhirnya Ia pergi kesemak belukar itu untuk membuangnya. Kami menunggunya di samping jasad Sultan sambil mencari bantuan. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya ada juga orang yang ingin membantu kami memulangkan jasad Sultan ke kediamannya. Sementara itu Aan belum kembali dari membuang cairan dalam tubuhnya. Kami menyusul Aan ke semak belukar tersebut dan mendapati sesosok orang tergantung terbalik dengan kepala yang hampir putus. Itu adalah Aan teman kami yang kocak namun setia. Semasa hidupnya Ia rela sakit demi kami. Dua orang teman kami telah tiada dalam satu malam yang mencekam. Dalam kesunyian yang gelap di bawah langit yang bertabur bintang kesedihan. Sedih semakin menjadi melihat jasadnya yang mengenaskan. Kami meminta bantuan kepada orang yang melintas di jalan ini agar memulangkannya ke kediamannya.

Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami yang panjang. Walaupun langkah kami berat kami harus kuat. Kuat menahan sakit yang tak terelakkan ini. Terus berjalan dibawah naungan bintang. Berusaha menepati janji kepada sang Kholik. Jalan menjadi saksi pertemuan terakhir kami dengan Sultan dan Aan. Ia merasakan dinginnya air mata yang menetes dari mata kami, ikut merasakan kepedihan dan darah. Hanya aku, Jaya dan Aman yang tersisa. Kami mencoba menyelesaikan janji kami ini dan menanggung janji kedua sahabat kami yang telah tiada.

Jalan semakin sunyi. Semakin berat melanjutkan perjalanan. Langkah kami bergetar. Air mata berceceran di sepanjang jalanan. Dengan wajah masam kami bertiga melanjutkan perjalanan mengerikkan ini tanpa tahu siapa yang melakukan ini kepada kedua teman kami. Sampailah kami di tempat peristirahatan di tengah perjalanan. Kami memutuskan untuk singgah di sebuah kafe bernama Batavia. Sesuai namanya kafe ini memang memiliki tampilan tua namun klasik.

Kami memesan makanan yang memiliki harga murah dan dapat mengenyangkan maklum kami mencoba menghemat uang. Setelah makan kami beristirahat sebentar. Aku dan Jaya tetap di meja dan Aman pergi ke toilet. Kami menunggunya sangat lama akhirnya kami memutuskan untuk menjemputnya  di toilet. Kami menemukan Aman tergeletak di kamar mandi dengan tubuh basah mirip gelondongan.

Ternyata memang ada orang yang ingin menghabisi kami semua. Tiga orang dari kami telah berpulang. Pikiranku sudah tak karuan. Hatiku tercabik amarah, rasanya aku ingin meledak dan menghajar orang yang telah membunuh ketiga teman kami. Tapi aku tak tahu siapa dalang dibalik semua kejadian di malam ini. Aku bimbang akan melanjutkan perjalanan atau tidak. Apabila aku melanjutkan perjalanan aku bisa saja mati tapi apabila tidak melanjutkan perjalanan kematian ketiga temanku akan sia-sia. Aku terjebak dalam dua pilihan yang sulit. Aku berpikir bahwa lebih baik mati berjuang daripada mati menyerah.

Aku dan Jaya memilih untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan yang sangat mengerikkan yang menjadi pertama kalinya dalam hidupku dan untuk yang terakhir kalinya. Aku harus tetap tegar layaknya batu karang, aku harus tetap ceria layaknya mentari yang tersenyum di pagi hari, aku harus berjuang layaknya pahlawan yang memberikan secercah cahaya kepada teman-temanku. Aku dan Jaya akhirnya membeli senjata untuk melindungi diri dari orang yang menaruh dendam pada kami. Kami melanjutkan perjalanan dengan waspada.

“Mengapa semua ini terjadi pada mereka? Mengapa tak terjadi padaku saja?”, tanyaku kesal.

“Ini juga akan terjadi padamu juga kok Gus”, jawab Jaya.

“Maksudnya?”.

“Ya aku yang menyewa orang yang telah membunuh ketiga teman kita dan aku akan membunuhmu disini dengan tanganku sendiri.”

Aku berlari sekencang-kencangnya. Jaya terus mengejarku. Aku teringat bahwa dulu kami pernah membuat Jaya cidera patah kaki saat bermain bola dan kami belum pernah meminta maaf. Mungkin itu yang membuatnya dendam pada kami dan membuatnya berpikir bahwa membalas dendam adalah cara terbaik untuk mengobati luka lamanya.

“ Jaya STOP, aku minta maaf waktu itu karna kami kakimu patah”.

“Udah telat Gus. Aku sakit. Setiap aku berlari aku selalu merasakan sakit. Kamu tak tahu kan bagaimana rasanya? Bagaimana rasanya menderita seumur hidup? Cacat seumur hidup? Sakit Gus”.

“ Ya aku tahu maka dari itu aku minta maaf Jay”.

“Sudah telat Gus aku akan menghabisimu sekarang dengan parang ini”

Tiba-tiba

JREEET

Tangan Jaya terpotong. Ternyata Aman belum meninggal Ia menyusulku dan menyelamatkanku dengan badanya yang berlumuran darah. Jaya tergeletak mencium aspal sambil menangis menyesali perbuatannya polisi datang. Aku tak percaya ternyata Aman adalah sosok pahlawan yang sebenarnya. Sahabat yang menyelamatkan orang terdekatnya dengan segenap kemampuannya. Kami berdua pun berhasil menyelesaikan hutang kami dan menanggung hutang Aan dan Sultan. Perjalanan yang panjang namun tak terlupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun