Saat Jokowi menegaskan mendukung Palestina merdeka dan negara Palestina dan Prabowo tidak menyentuh aspek itu. Saya cuma tidak tau apa yang PKS dan kader2nya rasakan (sementara mereka selama ini sangat keras dan militan mendungkung Palestina). Yang saya yakin adalah PKS tidak akan lagi bersuara keras dan mengancam keluar dari Koalisi Prahara seperti saat jokowi membuka rekening partisipasi rakyat untuk mendukung biaya Kampanye Jokowi-JK jika Prahara ikut-ikutan membuka rekening juga. Lalu, tak lama Prahara menyadari itu adalah taktik dan strategi yang bagus sekali untuk membangun keterlibatan rakyat dan menjalin hubungan emosional langsung dengan rakyat, dan Prahara ikut2an membuka rekening juga, dan PKS cuma diam aja. Bahkan beberapa elite Prahara mengatakan silahkan PKS keluar dari koalisi jika tidak sependapat. Bisa jadi besok Prahara juga akan ikut2an menyatakan mendukung Palestina merdeka.
Ini juga mirip walau tidak sama dengan langkah yang diambil PKS saat sat satu elite Partainya terindikasi Korupsi dan ditangkap KPK. PKS bukannya berbenah internal sehingga memastikan partainya benar-benar steril dari korupsi, namun malah melakukan perlawanan dan menyerang KPK sampai-sampai bersuara sedemikian keras dan mendorong dibubarkannya KPK. Sungguh-sungguh sebuah langkah yang bertentangan dengan hati nurani rakyat yang menginginkan negeri ini lebih baik dan bebas korupsi.
Beberapa kejadian sebenarnya sudah cukup memberi signal, namun menurut saya PKS terlalu lambat untuk belajar atau sudah terlanjur basah dengan langkahnya berada dalam Koalisi yang sangat berpeluang menghasilkan perpecahan, soon or later.Jika PKS memilih menjadi oposisi (tidak perlu menjadi bagian dari Pemerintah), karena perolehan suaranya juga sangat terbatas, menurut saya PKS akan berkesempatan membangun kekuatannya kembali.  Padahal dulu PKS begitu kuat auranya karena ia membawa angin segar "Perubahan" di negeri ini. Sekarang angin segar dan harapan "Perubahan" itu ditawarkan oleh Jokowi, dan PKS semakin larut dalam pola-pola lama sebagaimana dianut oleh partai-partai politik lainnya. Ia tak lagimempunyai pembeda dengan partai2 lama dan menggunakan pola-pola lama (mengesampingkan idealisme dan lebih transaksional). Padahal jika PKS terus mendorong "kebersihan" yang diusungnya serta "perubahan" dan memberi contoh bahwa orang-orangnya memegang dengan baik "amanah" yang diberikan, harusnya akan PKS akan dapat menjadi partai yang besar dan dominan karena 80 % Penduduk Indonesia beragama Islam. Yang juga perlu diingat negara ini dibangun atas dasar kesadaran "Kebhinekaan" dan siapa pun yang memimpin negeri ini harus cukup memberi rasa nyaman  bagi SELURUH rakyat negeri yang heterogen, multi ras dan multi agama ini.
Kondisi ini, diperparah dengan para elit atau tokoh-tokohnya yang vokal seperti Fahri Hamzah yang, maaf, sukanya ngomong dulu dan mikir belakangan. Sungguh ini bertenangan dengan figur  tokoh2 PKS yang selama ini kalau ngomong tenang, berisi dan dapat dipercaya. Kehadiran atau barang kali peran yang diberikan (setidaknya itu interpretasi saya karena dibiarkan dan bahkan didukung oleh jajaran PKS lain) pada tokoh seperti Fahri Hamzah seperti itu justru merusak citra PKS sendiri.
Menurut saya, jika PKS terus dengan pola pendekatannya seperti ini, ia akan semakin kehilangan pendukungnya.
*Sebuah pengamatan individual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H