Mohon tunggu...
Agustus Sani Nugroho
Agustus Sani Nugroho Mohon Tunggu... Advokat, Pengusaha -

Lawyer, Pengusaha, Penulis, Pemerhati masalah sosial budaya

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Penerapan Hukum Itu Perlu Prioritas dan Rasionalitas

29 April 2015   09:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:34 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah sempat ditahan, Penahanan Ambraham Samad ditangguhkan dengan jaminan 5 pimpinan KPK. Samad dijadikan Tersangka dalam kasus Pemalsuan Dokumen Kependudukan. Ya, saya adalah pendukung KPK. Namun sebagai seorang Advokat juga, saya mencoba melihat kasus ini dengan kepala dingin.

Beberapa waktu lalu saya juga pernah mengatakan bahwa para pimpinan KPK juga bukan Dewa. Sebagai manusia biasa, tentu semua kita tak akan luput dari kemungkinan berbuat salah. Salahkah Pimpinan KPK waktu menetapkan BG sebagai tersangka ? Setidaknya menurut Hakim Sarpin yang terkenal itu, ya, salah. Itulah sebabnya penetapan status Tersangka BG dibatalkan oleh Pengadilan yang dipimpin Sarpin, walau keputusan itu sangat menimbulkan tanda tanya dan kehebohan dikalangan hukum. Terbukti kini, keputusan Sarpin yang menilai Status tersangka sebagai objek Praperadilan (sementara UU jelas2 dan tegasnya) disanggah oleh hakim2 lain dalam kasus yang lain yang muncul setelah kasus BG.

Dari awal tinggat kredibilitas KPK terhadap kasus2 yang ditanganinya masih tinggi. Namun saya juga mengkritik bahwa gap antara penetapan seseorang jadi Tersangka dan penahannya atau pengajuannya kepengadilan sebagai Terdakwa kadang terlalu lamaaa dan itu menimbulkan banyak spekulasi diluar tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan juga rentan terhadap berbagai intervensi politik atau lain. Disisi lain belum ada kasus di KPK dimana seorang yang sudah ditetapkan sebagai Tersangka lolos dari jeras hukum. Dalam konteks itu, saya menilai, walau terkesan terburu-buru dan seperti ada motif politik, tidak mudah bagi KPK untuk menetapkan BG sebagai Tersangka dan keputusan itu sudah tentu didukung oleh bukti2 permulaan yang cukup. Oleh karena itu bagi saya penetapan BG sebagai tersangka saat itu, dari sudut langkah pemberantasan korupsi, adalah sebuah langkah terobosan yang baik karena pemberantasan korupsi diwilayah aparat penegak hukum sendiri (Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman) adalah termasuk yang paling sulit dilakukan. Publik sudah mengetahui informasi yang beredar luas tentang banyaknya rekening gendut para Pati Polri yang angkanya sangat2 menusuk mata dan hati rakyat di negeri ini. Semua tak tersentuh hingga kini. penetapan BG sebagai tersangka, dari kacamata ini, akan membuka tabir itu dan jika itu terbuka, memang akan banyaaak petinggi Polri yang gerah diseluruh penjuru negeri. Namun proses pengembangan kasus BG dan pembersihan indikasi korupsi di institusi Polri ini, terlepas dari dimensi politiknya yang juga sangat heboh, dihentikan oleh Sarpin, dengan keputusannya yang sangat kontroversial itu.Salah satu dampak lain yang muncul adalah kesan nyata perlawanan pihak Polri kepada KPK dengan "memaksakan" dan juga "menyegerakan" pemrosesan kasus pidana yang disangkakan kepada Bambang Wijayanto dan Ambraham Samad, para pimpinan KPK, dengan kasus-kasus yang sekarang bisa kita nilai sendiri. Langkah itu juga disusul dengan menetapkan Deni Indrayana (Manatan WaMenkumham) yang getol membela KPK, dengan kasus yang berbeda.

Lantas, salahkan Polri langkah2 hukum tersebut ? Murni secara hukum tertulis, jika memang ada perkaranya, tidak. Apalagi seperti pernah saya katakan, Pimpinan KPK juga bukanlah Dewa, dan manusia biasa jika memang mau dicari-cari salahnya pasti akan ketemu juga terlepas seberapa signifikan bobot kesalahan itu. Namun demikian, penerapan hukum itu memerlukan prioritas dan rasionalitas juga. Penerapan hukum juga harus mempertimbangkan kemaslahatannya (memberi manfaat) bagi masyarakat.

Kasus Asyani, seorang nenek umur 63 tahun yang ditahan Polri dan diajukan ke Pengadilan oleh Jaksa karena didakwa mencuri beberapa batang Kayu Jati milik Perhutani di Situbondo, adalah contoh lain. Salahkah Polri memproses hukum dan manahan nenek Asyani itu ? Secara hukum, jika memang terbukti benar, tidak salah. Namun perlukah menahan si Nenek yang sudah sakit-sakitan itu ?

Lalu jika secara hukum memang benar, apakah langkah2 yang diambil Polri itu terasa adil ? Disinilah sesungguhnya letak masalahnya. Penerapan hukum itu memerlukan prioritas dan rasionalitas juga. Ada banyak hal yang mungkin lebih prioritas dan memerlukan penanganan segera. Ada kesetaraan kebijakan yang juga perlu diterapkan. Jika AS ditersangkakan karena alasan pemalsuan dokumen kependudukan, mengapa BG boleh membuka rekening di 2 bank dan menyetor masing-masing Rp 5 milyar (terlepas dari pertanyaan itu uang apa dan dari mana) dengan KTP yang berbeda yang menunjukkan dia punya lebih dari 1 KTP, sebagaimana juga ramai diberitakan di berbagai media ? Jika nenek Asyni harus dipenjara (walau kini juga ditangguhkan penahanannya atas jaminan Bupati) karena didakwa mencuri beberapa batang pohon kayu jati, mengapa begitu banyak Pengusaha Perkebunan dibiarkan menikmati kekayaan yang luar biasa dari uang membapuluhan ribu hektar hutan dinegeri ini ?? Apakah pihak Polri tidak mengetahui bahwa perusak lingkungan hidup juga dapat diancam pidana menurut hukum ??

Disisi lain Kepolisian menurut saya harus mendapat apresiasi dsalam pelaksanaan tugas mereka memberantas terorisme. Walau terkesan balapan dengan KPK saya tetap memberi apresiasi atas rencana Polri memeriksa H Lulung yang merupakan koordinator Komisi E DPRD dalam kasus UPS ajaib di APBD DKI Jakarta karena harga dan masuk akal itu. Namun saya tidak setuju bahwa Komunikasi dengan masyarakat adalah penyebab utama ketidak percayaan masyarakat pada Polri seperti dikemukakan Kapolri menanggapi pembakaran Markas Polsek di Jambi baru-baru ini atau dibeberapa tempat lain belakangan ini. Bukan hanya soal komunikasi itu pak persoalannya, tapi soal "Kepercayaan" masyarakat yang hampir sirna kepada Polri dan itu disebabkan oleh tindakan aparat Polri sendiri dilapangan. Penerapan hukum itu bukan hanya butuh komunikasi tapi yang lebih penting adalah butuh prioritas dan rasionalitas; butuh dilaksanakan secara konsiten dan setara untuk semua warga negara, termasuk terharap aparat Polisi sendiri (dan juga aparat KPK karena mereka juga warga negara dan tidak kebal hukum).

Di era yang sudah sangat transparan ini, Polri sudah watunya segera berbenah. Negeri ini membutuhkan Polri yang kuat dan berwibawa. Polri yang dapat dipercaya oleh dan melindungi rakyatnya. Mari segera berbenah karena carut marut dan diinternal Polri ini makin hari akan makin terkuak luas. Laksanakan penerapan hukum secara bijaksana dan tidak pilih kasih. Tentu, sekali lagi, harus ada rasionalitas dan prioritas dalam menerapkan hukum. Jika tidak, mungkin kita harus segera menyetop pembangunan semua jalan tol dan pelabuhan dinegeri ini dan menggantinya dengan pembangunan penjara karena penjara yang ada sekarang sudah pasti tak akan muat jika seluruh memegang KTP ganda di negeri ini harus dipenjara atau ada banyak kasus lain yang tidak prioritas semua harus diproses penerapan hukumnya seketika.

Salam Indonesia Raya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun