Ketika beberapa saat lalu, Florence Sihombing yang berbicara melalui akun sosial medianya mencaci-maki serta menghasut orang untuk tidak tinggal disana kota tempat tinggal dimana dia menimba ilmu, Jogjakarta, ia seperti menyebar bibit badai yang "instant" dan langsung menuai hasilnya yang dasyat. Bukan hanya di kecam sangat keras dan dibully di berbagai forum (bukan hanya sosial media, namun juga dibahas di berbagai media cetal dan elektronik), ia bahkan dipidanakan dan Polisi dengan "Sigap" segera memproses dan bahkan sempat "menahan" Flo di dalam penjara karena dinilai tidak kooperatif, sebelum kemudian dilepas setelah mendapat penangguhan penahanan akibat berbagai desakan kelompok masyarakat lain, termasuk UGM, universitas tempatnya mengambil program studi saat ini, padahal Flo sudah sempat menyadari kesalahannya dan mengumumkan permintaan maafnya secara terbuka dihadapan media mau pun dimedia sosial.
photo Klarifikasi-Florence-Sihombing_zpsd4f46031.jpg
Salahkah Flo ? Dari satu sisi, ya. Oke, coba kita ulang kata-kata Flo: "Jogja miskin, tolol dan tak berbudaya. Tema-teman Jakarta, Bandung, jangan mau tinggal di Jogja." dan kita menuliskannya disecarik kertas dalam buku harian, atau buku catatan kuliah, akankah ini menjadi masalah ? Belum reda kasus Flo ini, kini kita pun disuguhi pula oleh berbagai reaksi keras masyarakat atas Tema yang dipilih mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Surabaya, saat melakukan orientasi mahasiswa baru. Reaksi masyarakat yang mengalir deras, kemudian demikian keras. Padahal jika kita melihat dari dimensi mahasiswa "Filsafat" saya justru langsung menduga ada hakekat yang dalam dalam yang ingin mereka sampaikan pada para mahasiswa baru di fakultasnya itu (Mahasiswa Filsafat) sebagai bagian dari proses mereka untuk memperkenalkan cara pikir kritis, terbuka dan luas dan saya sangat-sangat tidak yakin ada tujuan menistakan Tuhan dibalik tema itu; apa lagi ini bukan sekedar mahasiswa filsafat, namun juga Ushuluddin dan diadakan di Universitas Islam pula. Kasus yang menuai badai kecaman pada UIN Surabaya ini, berujung sanksi pembekuan dewan mahasiswa. Dimana letak salahnya ? Menurut saya salahnya bukan pada materi yang sah-sah saja untuk jadi muatan ilmiah dan proses melatih cara berfikir cerdas dan kritis mahasiswa filsafat, namun pada tingkat kepekaan sosial dan strategi Public Relation (PR). Andai Thema itu misalnya dijadikan materi dokumen internal mahasiswa yang mengikuti orientasi itu dan tidak dijadikan thema umum yang ditulis di spanduk-spanduk yang bisa dibaca orang-orang diluar kampus (baca: yang tidak ingin terlibat berfikir secara ilmiah dan dalam) atau bahkan yang lebih parah orang-orang yang membenci cara pikir luas dan terbuka umat islam agar dapat dijejali oleh doktrin-doktrin sempit lalu mudah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu, maka thema itu menurut saya sama sekali tidak masalah dan tidak akan menimbulkan masalah juga. Mengapa sampai meledak jadi masalah yang terkesan heboh ? Karena Media, termasuk sosial media yang kemudian memblow up issue ini tanpa pernah mengetahui secara sungguh-sungguh dan detail tentang apa arti dan latar belakang hadirnya thema itu; apa yang ingin dicapai dewan mahasiswa dalam memberikan pembekalan bagi para mahasiswa baru di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat itu ? Semua sekerang melihat judul atau tulisan tentang thema itu saja dan langsung menyimpulkan sendiri dan menghujat. So, dimana salahnya atau apa yang terjadi pada kasus Flo dan kasus Mahasiswa UIN Surabaya ini ? Menurut saya ini adalah refleksi ketidakdewasaan kita, rakyat negeri ini dalam berdemokrasi, dalam menghargai kebebasan berbicara yang sekarang kita nikmati. Seakan kita semua lupa, bahwa belum lama berselang, sebelum era tahun 1998, apakah kita dapat menikmati demokrasi yang demikian terbuka dan babas seperti saat ini ?? Apakah kita bisa menikmati kebebasan berbicara seperti sekarang ini ini, dimana setiap media, bahkan setiap orang bebas berbicara apa saja seakan tanpa batas ?? TIDAK !! Dimasa orde baru khususnya, hingga tumbangnya rezim Soeharto, kita sama sekali tidak dapat menikmati udara kebebasan yang sekarang kita hirup. Bahkan dalam forum-forum ilmiah didalam kampus pun tak ada kebebasan itu. Secara Politik, partai-partai politik diperkecil tinggal 3 (Golkar, PPP dan PDI yg kemudian berubah jadi PDIP) dan semua partai "dikendalikan" oleh pemerintah. DPR hanya akan bilang satu kata "Setujuuu.." dan selalu akan mendukung program pemerintah. Penentang pemerintah dijaman itu apakah itu individual mahasiswa, pengajar, ulama atau politisi atau anggota masyarakat biasa, akan dicap PKI dan diburu, diculik dan dihilangkan atau (jika masih untung tidak dihilangkan) dipenjara. Lupakah kita bahwa diujung masa itu ada belasan mahasiswa diculik dan 13 diantaranya masih "hilang" (jika tak mau disebut "dihilangkan") hingga saat ini ? Lalu kini apa yang kita lihat terjadi ? Kembali ke Flo dan teman-teman mahasiswa (dewan mahasiswa) panitia orientasi mahasiswa baru UIN Surabaya mungkin dapat dikategorikan "Tidak/Kurang Bijaksana" namun menurut saya tidak salah-salah banget juga. Mengapa ? Karena jangankan mereka yang masih berstatus "mahasiswa atau pelajar" itu, ada banyak pemimpin dan calon pemimpin dan wakil rakyat yang merasa dirinya "terhormat" bahkan juga tidak menghargai demokrasi dan kebebasan berbicara yang saat ini kita nikmati itu. Mereka bahkan memberi contoh yang sangat nyata dan menyolok mata, bagaimana tidak menghargai sebuah proses Pilpres demokrasi yang menurut kacamata rakyat yang melihat dan merasakan dan mengawasi secara langsung dapat dikategorikan sebagai Pilpres yang paling transparan dan demokratis yang pernah terjadi di negeri ini (walau tentu saja belum sempurna dan masih membuka ruang perbaikan disana-sini). Mengapa mereka dapat dikategorikan tidak menghargai demokrasi, padahal ngomongnya semua demi tegaknya demokrasi dinegri ini dan semua demi rakyat ? Lihatlah betapa gencar kampanye HITAM yang dilakukan. Betapa mereka yang dimasa kampanye, bahkan hingga saat ini, gencar membuat issue, menyebarkan dan menyebar benih kebencian serta menghasut rakyat agar terpecahbelah demi membela kepentingan politik mereka semata. Penanggung jawab dan wartawan tabloid Obor Rakyat misalnya, yang jelas-jelas kerjanya memfitnah dan menghasut rakyat dan menyebarkan kebencian itu hingga saat ini pun masih bebas merdeka tanpa sedikit pun merasa bersalah. Sekelompok Calon pemimpin negeri dan para politisi pendukungnya masih sibuk bergerilya mencari cara memenangkan Pilpres atau menumbangkan Presiden dan Wakil presiden yang terpilih oleh mayoritas rakyat dan telah diuji diperadilan MK dan telah sah secara hukum. Artinya tidak mau menerima hasil demokrasi jika mereka kalah. Begitukah cara menghormati demokrasi ?? Mereka lupa dibalik hak mereka itu ada juga hak orang lain yang HARUS DIHORMATI. Kebebasan kita berdemokrasi juga tidak bisa kemudian mengesampingkan hak-hak orang lain dan hak-hak serta aturan hukum yang berlaku. Disisi lain, kebebasan berbicara juga demikian. Ada batasan etika dan batasan hukum atas kebebasan berbicara seseorang. Apakah pantas dan boleh misalnya membuat pernyataan dimuka umum, akan membentuk dan mengajak rakyat membentuk Milisi, mau membakar Istana Negara,  juga mau menduduki istana negara, jika kalah menghasut  rakyat melakukan gerakan Poeple Power, beberapa kali menghasut rakyat untuk menangkap dan menculik Ketua KPU. Setelah kalah di MK mengajukan gugatan ke PTUN, dan ditolak oleh PTUN karena gugatan tak berdasar, malah bicara mau kudeta Jokowi JK ? Bahkan dinegara yang sudah lama mendorong dan menerapkan demokrasi, Amerika Serikat saja misalnya, jika kita berteriak-teriak didepan Gedung Putih (the White House) di Washington, bahwa kita akan "menduduki dan membakar" Gedung Putih kita akan dibiarkan saja melakukan hal itu ? Silahkan anda coba, jika ingin merasakan segera ditangkap oleh aparat penegak hukum disana. Mengapa ketika Flo yang mengatakan kata-katanya itu diakun sosmed probadinya, lalu sudah meminta maaf secara terbuka, tetap dengan sigap ditahan oleh Polisi, walau kini diberi penangguhan penahanan, sementara Setryadi dan Darmawan  (yang kasusnya sudah lama dilaporkan ke Polisi), Fahri Hamzah, Egi Sujana, Fadli Zon dan Jonru dan beberapa orang lain yg berorasi mau membakar istana, membentuk milisi, dan sejenisnya dengan banyak pernyataan-pernyataannya yang tidak benar, meresahkan bahkan cenderung menghasut dan memecah belah umat dan masyarakat, hingga saat ini masih bebas merdeka dan memberi contoh dan signal yang jelas ke publik bahwa yang mereka lakukan itu baik dan sah-sah saja ? Ini adalah contoh orang-orang yang tidak menghormati kebebasan bicara yang saat ini mereka dan kita nikmati bersama. Seakan-akan kebebasan berbicara itu artinya boleh suka-suka memfitnah, membuat berita bohong/tidak benar, menyebarkan kebencian dan mengasut atau bahkan mencoba memecah belah umat atau rakyat negeri ini ? Tindakan seperti itu justru menunjukkan mereka tidak menghormati kebebasan berbicara yang mereka miliki karena dibalik setiap kebebasan itu ada hak orang, kelompok, organisasi lain dan bahkan pemerintah yang melekat dan juga harus dihormati untuk tidak difitnah, diinfokan salah, tidak dibuat masyarakat terhasut dan membencinya hanya untuk membela kepentingan politik seseorang atau kelompok tertentu saja. Jika Polisi tidak berani menerapkan hukum secara sama kepada setia WNI, biarlah itu menjadi catatan kita atas kinerja aparat penegak hukum di negeri ini yang harus kita perbaiki kedepan. Kita sungguh-sungguh berharap tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Pilpres, Kasus Flo dan  Kasus teman-teman mahasiswa (dewan mahasiswa) UIN Surabaya juga memberi tau kita bahwa kita dan para pemimpin dan rakyat negeri ini memang masih belum dewasa dalam berdemokrasi dan dalam menikmati kebebasan berbicara. Beberapa saat yang lalu saya juga menulis bahwa Usia vs Dewasa, Pendidikan vs Pintar, Pintar vs Bijaksana memang tidak selalu berjalan paralel. Semoga ini bisa jadi pelajaran bahwa dibalik demokrasi dan kebebasan berbicara yang merupakan hak individual setiap orang itu selalu melekat hak orang lain yang juga harus kita hormati. Semoga rakyat negeri ini semakin Dewasa, Pintar dan Bijaksana dalam menikmati demokrasi dan kebebasan berbicara yang saat ini kita peroleh. Andai Flo menulis bahwa "Jogja itu indah" dan Mahasiswa UIN Surabaya menulis "Tuhan Tersenyum", tentu tak ada yang akan salah sangka dan marah-marah pada mereka. Memang, butuh proses ya, untuk menjadi dewasa dan bijaksana. Salam INDONESIA RAYA. *Foto Ilustrasi Tuhan Membusuk diunduh dari sini. **Ilustrasi foto Florence Sihombing diunduh dari sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya