Kasus Ojek dan Taxi On-Line (Gojek, Grabike, Uber, dan sejenisnya) menjadi kontroversial ketika Menteri Perhubungan menulis surat kepada Kapolri untuk meminta dilakukan penertiban atas sarana transportasi umum ilegal yang digemari dan dirasakan manfaatnya masyarakat luas. Tak lama, setelah masyarakat bereaksi keras, dan Presiden pun ikut bereaksi, Menteri Perhubungan mencabut suratnya dan tindakannya itu pun membuat kontroversi pula.
Mari kita lihat secara objektif; salahkan tindakan Menteri Perhubungan dengan meminta Kapolri untuk melakukan tindakan penertiban ? Dari sudut hukum, sama sekali tidak salah. Ketentuan yang mengatur bahwa kendaraan roda 2 (sepeda motor) tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum diatur oleh Undang-undang dan Undang-undang bukan kewenangan Menteri bahkan Presiden sendiri untuk merubahnya.
Pada saat masyarakat memperoleh sebuah sarana transportasi yang murah dan menyelesaikan masalah (misalnya masalah kemacetan), mengapa hal ini kemudian menjadi masalah ? Bukankah selama ini Ojek non-on line sudah lamaaaaa ada dan justru jauh lebih rendah standard keselamatan dan keamanannya ? Bukankan di bandara atau pelabuhan, walau pun sudah cukup banyak taxi resmi yang memadai, tetap aja masih banyak taxi gelap beroperasi ? Lantas apa bedanya ojek tradisional dan Gojek atau Grabike yang menggunakan sistem on line dan lebih teroganisir serta dapat memberikan banyak sekali jasa lain atau tazi-taxi gelap yang justru sangat rawan kejahatan dengan taxi uber yang menggunakan sistem on line yang lebih terorganisir, lebih baik tingkat keselamatannya dan lebih aman ? Secara esensi sebagai sarana tranportasi ojek tradisional dan Gojek atau Grabike sama saja. Bahkan, bisa dibilang ojek2 on line jauh lebih baik dari sisi keselamatan baik dari sisi safety gear yg digunakan pengemudi dan penumpang, maupun adanya pertanggungan asuransi, sementara pada ojek2 tradisional yang jumlahnya jauuh lebih banyak itu sama sekali tidak jelas (kalau tidak mau dibilang jauh leboih rendah standardnya). Hal yang sama juga terjadi pada taxi-taxi gelap jika dibandingkan dengan taxi uber, misalnya. Lantas mengapa sekarang saat ojek diorganisir dengan baik dengan harga yang terjangkau pula, atau taxi uber mulai beroperasi memberi alternatif sarana transportasi yang cukup baik bagi masyarakat, justru dipersoalkan ?? Jika memang alasan Menteri Perhubungan adalah demi aspek keselamatan penumpang dan demi tegaknya hukum (sebagaimana diatur dalam Undang-undang), maka bukankah seharusnya ojek-ojek tradisional yang standardnya jauh lebih rendah dibanding ojek-ojek online yang ditertipkan terlebih dahulu ? Bukahkah taxi-taxi gelap yang masih banyak beroperasi dibandara dan pelabuhan yang rawan kejahatan itu yang harus ditertipkan terlebih dahulu ?
Saya kok melihat elemen persaingan usaha yang kental dibalik kebijakan ini. Sesungguhnya ketegasan Pemerintah memang sangat diperlukan untuk menjalankan Undang-undang (hukum) secara tegas dan konsekwen. Namun, apa yang terjadi dalam praktek ? Kewenangan yang diberikan Hukum pada pemerintah sering kali disalahgunakan hanya sebagai sarana untuk mencari "uang" bukan untuk sungguh-sungguh melindungi masyarakat atau pengusaha yang baik (yang mematuhi semua ketentuan hukum yang berlaku).
Mari kita lihat kasus sarana transportasi umum ini. Dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun televisi, Menteri Perhubungan menyebutkan bahwa kendaraan yang digunakan sebagai sarana transportasi umum harus di "Kir". Jika semua taxi resmi harus di kir maka taxi-taxi uber yang menggunakan kendaraan pribadi (berplat hitam) tidak perlu di kir. Menteri berasumsi maka tentu tidak ada pengawasan atas standard keselamatan yang merupakan salah satu fungsi diperlukannya Kir tersebut. Namun jika kita ingin jujur pada realitas yang terjadi dilapangan apakah selama ini Pemerintah (dalam hal ini Departemen atau Dinas Perhubungan) telah menjalankan tugasnya mengawasi keselamatan dan menjaga standard minimum yang layak sarana-sarana transportasi umum itu > Jawabannya TIDAK. Jika fungsi itu telah dijalankan dengan benar (dan bukan dijadikan sarana mengutip uang semata) tentu sebagian besar PPD, Metro Mini, Kopaja, Mikrolet tidak boleh berolerasi dijalan karena jauh dari layak baik dari sisi keselamatan maupun kenyamanan. Hal yang sama terjadi pada kendaraan-kendaraan angkutan barang. Jika Kir dijalankan dengan benar, tentu sebagian besar truk pengangkut barang sudah tidak lagi boleh beroperasi. Demikian juga soal Ojek. Jika kendaraan roda 2 tidak boleh digunakan sebagai sarana transportasi umum, maka sudah sepatutnya Dinas Pehubungan dan Kepolisian menangkapi seluruh ojek yang ada diseluruh penjuru negeri ini karena mereka semua ilegal karena tidak sesuai UU Lalu Lintas dan punya izin pemerintah untuk menjalankan usahanya itu. Dibalik kontroversi soal penertiban ojek online dan taxi uber ini sangat kental nuasa melindungi para pengusaha taxi resmi yang tentu saja mengeluh dengan pembiaran beredarnya taxi ilegal atau ojek2 (baik yg tradisional maupun yang on line).
Sesungguhnya masalah seperti ini tidak hanya terjadi dibidang transportasi saja. Lihatlah betapa para pengusaha masih saja mengeluh karena sedemikian sulit mengurus berbagai perizinan dari pemerintah pusat maupun daerah untuk menjalankan sebuah indutri manufaktur yang mempekerjakan ratusan atau bahkan ribuan karyawan. Sementara kita menemukan produk-produk yang sama yang akan dihasilkannya beredar dipasar gelap dengan harga yang lebih murah karena tidak perlu membayar berbagai biaya dan pajak2 alias barang-barang selundupan. Bagaimana pengusaha yang sungguh-sungguh mau berusaha malah dipersulit sementara seakan terjadi pembiaran banyak toko menjual barang-barang yang sama namun ilegal.
Lihatlah juga yang terjadi dengan bidang pertambangan misalnya. Perusahaan-perusahaan pertambangan yang memerlukan biaya besar untuk memperoleh perizinan dan beroperasi secara baik dan memenuhi standard keselamatan, pengelolaan lingkungan hidup yang baik, hanya bisa gigit jari melihat maraknya tambang-tambang rakyat yang ilegal yang beroperasi tanpa memikirkan aspek keselamatan, apalagi memikirkan aspek pencemaran dan lingkungan hidup.
So, dimana semua ini akan bermuara ? Menurut saya hanya satu "Penerapan Hukum yang baik" Hukum yang baik itu bukan hanya yang adil dan tidak pilih kasih atau sekedar membela yang punya uang, namun juga yang memenuhi keadilan dan kebutuhan masyarakat. Hal ini bukan hanya menyangkut soal norma-norma yang diatur didalamnya, namun juga penerapannya dalam praktek. Kita harus mengakui bahwa perlu dilakukan sebuah revolusi dalam penerapan hukum di negeri ini agar negeri ini benar-benar menjaga sebuah negara hukum dan bukan negara kekuasaan (apalagi kekuasaan yang dapat dibeli oleh uang) semata.
Memang ini sama sekali tidak mudah. Namun saya tetap optimis, selalu ada ruang kita untuk terus memperbaiki diri dan negeri ini, jika para pemimpin negeri sungguh-sunggu bekerja keras untuk kepentingan rakyat, demi Indonesia yang lebih baik.
Salam Indonesia Raya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H