Mohon tunggu...
Agus Tulastyo
Agus Tulastyo Mohon Tunggu... lainnya -

Praktisi periklanan, Pengamat media, Peneliti. "All Truth passes thru three stages: First, it is ridiculed. Second, it is violently opposed. Third, it is accepted as self-evident." - Arthur Schopenhauer; German Philosopher

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

“Akrasia, Self-Deception, Delusion”, dan Pilpres

17 Juli 2014   20:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:03 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika si Udin melakukan satu penyimpangan perilaku secara sadar, misalkan ia mencopet dompet seseorang, orang dengan ringannya akan melontarkan kata-2 “Dasar copet, tangkap dan penjarakan, selesai perkara”. Apakah kita pernah terpikir, sebenarnya apa yang terjadi di dalam diri Udin sebelum melakukan aksinya?. Dapat dipastikan ia menyadari sepenuhnya konsekuensi apa yang akan ia hadapi kemudian. Hanya saja, mengapa si Udin tetap melakukannya?. Yang terjadi dalam benak Udin sebelum melakukan aksi ialah konflik. Pada saat terjadi konflik diantara dua pilihan dalam benak Udin, muncul “Dissonance”. Satu sisi dia tahu bahwa mencopet adalah satu perbuatan buruk, yang akan berakibat buruk pula pada dirinya jika ia tertangkap. Disisi lain dari benak Udin memberi signal bahwa jika ia lakukan pencopetan dan berhasil lolos, maka Udin akan mendapatkan uang yang ia inginkan, dapat bersenang-senang dengan uang tersebut, ditambah julukan sebagai pencopet ulung dan disegani. Akhirnya dia tetap memilih opsi yang bertentangan dengan keyakinannya, dengan melakukan pencopetan (Cognitive Dissonance).

Itu kisah si Udin, tapi bagaimana kalau penyimpangan perilaku dilakukan oleh politisi, ulama dan pemuka agama, pejabat pemerintah, atau bahkan seorang mantan hakim ketua Mahkamah Konstitusi ?. Begitulah yang terjadi, tentu kadar implikasi dan tanggapan masyarakat berbeda. Orang akan mengatakan “Ada apa dengan orang itu ya,,,mengapa perilakunya berbanding terbalik dibandingkan sebelumnya...apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam diri orang-orang itu ???”.

Akrasia! merupakan sebuah keputusan seseorang untuk melakukan sebuah aksi yang justru berlawanan dengan buah pikir yang diyakini lebih baik dan menguntungkan bagi dirinya dan orang lain, ditinjau dari berbagai sudut. Lalu apa hubungan akrasia dengan perilaku yang di pertotonkan oleh para elit tersebut, dengan pemilihan president ?.

Capres dan cawapres hanya ada dua pasang di tahun ini. Sebagian masyarakat tahu, bahwa untuk mencari informasi tentang kedua pasang capres dan cawapres secara umum tidaklah sulit. Terkecuali informasi-informasi yang bersifat khusus.  Informasi yang terkait dengan latar belakang, terutama apa yang sudah atau pernah mereka lakukan, dan secara langsung bersentuhan dengan rakyat.

Miisalkan kita sebut saja pasangan capres dan cawapres A; Seluruh masyarakat dapat mengakses informasi tentang capres cawapres secara mudah dan terbuka dari berbagai media. Tidak ada informasi khusus  yang dirahasiakan. Apa yang sudah mereka kerjakanpun bersentuhan langsung dan hasilnya telah dirasakan sebagian masyarakat. Dunia usaha swasta nasional dan internasionalpun tidak asing pada pasangan capres dan cawapres, begitu pula pemimpin pemerintahan negara-negara dibeberapa kawasan.

Lalu pasangan capres cawapres B, segala informasinya pun bisa didapat dengan mudah, hanya saja pasangan ini memiliki catatan khusus. Masyarakat sudah mafhum terhadap capres ini. Catatan negatifnya sulit untuk diterima begitu saja, bahkan sampai hari ini juga belum terselesaikan secara tuntas. Beberapa tokoh bahkan mengatakan bahwa calon ini tidak pantas menjadi pemimpin Indonesia, dikarenakan gaya kepemimpinan otokratif dan arogansinya. Demikian pula masyarakat internasional mencatatnya sebagai calon pemimpin bermasalah. Jadi apa bila ia terpilih tentu tidak akan menguntungkan bangsa ini. Mungkin masih banyak catatan lain yang tidak dipublikasikan, hanya diketahui dan dimiliki oleh kalangan terbatas; Yaitu dikalangan elit, mulai dari penguasa, politisi, elit partai, korporasi, bankir, sampai pemuka agama.

Tapi mengapa para elit, penguasa, pemuka agama, beberapa pengusaha besar, media mogul, dan tokoh sekelas mantan ketua hakim Mahakamah Konstitusi pun melakukan “Akratic Action”. Sungguh ironis, karena justru mereka yang dapat mengakses, mengetahui dan memiliki informasi secara utuh mengenai seluruh latar belakang capres ini. Tentu kita tidak akan membahas tentang reputasi dan informasi tentang capres B lebih jauh, tetapi lebih fokus pada fenomena “Akratic Action” yang dipertontonkan para elit.

Sangat tidak mungkin kalau mereka mengambil sebuah keputusan dengan tanpa perhitungan dan kesadaran penuh, untuk memihak capres bermasalah. “Something smell here ...and I Smell Rats!!!”. Jika kita menengok kebelakang sebentar, reputasi orang-orang ini sangat di pertaruhkan; Bayangkan sekelas mantah ketua Mahkamah Konstitusi, yang memiliki reputasi sangat dibanggakan dan dipuja oleh sebagian masyarakat sebagai salah  tokoh nasional yang cerdas, cekatan, piawai dalam memimpin pengambilan keputusan untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat dan bangsa; Melakukan kesalahan besar dengan berperilaku akratic. Ia bersama sebagian tokoh dan akademisi yang disegani telah menipu diri sendiri (Self-Deception) untuk mendukung calon bermasalah.

Mereka ikut aktif dan secara agresif menjalankan popaganda-propaganda yang membingungkan masyarakat, pengikutnya secara khusus dan rakyat Indonesia secara umum. Secara langsung maupun tidak langsung, melalui propagandanya telah mencabik dan merobek perasaan dan hati rakyat, yang lebih buruk lagi adalah terpecahnya masyarakat menjadi dua kubu. Karena propaganda para tokoh bersama-sama dengan pemuka agama, ulama,  pengusaha, dan dibantu oleh para media mogul, maka sempurnalah misi untuk memembentuk kubu pengikut yang militan. Situasi dan kondisi  yang tercipta sangat berbahaya hingga hari ini, sampai nanti pada hasil perhitungan suara resmi KPU. Jika para tokoh-tokoh ini tidak bisa mengontrol diri (Self-Control) serta pengikutnya, dan ternyata dalam hasil perhitungan resmi mereka kalah, kita sudah dapat memprediksi apa kemungkinan yang akan terjadi, “CHAOS”. Inilah yang sangat diinginkan pihak tertentu DESTABILISASI. Semua itudiluar jangkauan, kemampuan, dan kekuatan para tokoh itu sendiri. Mereka telah terjebak kedalam “Spiral of Delusions”.

Kembali kepada keputusan Akratic Action para tokoh. Pada dasarnya perilaku akratic tidak berdiri sendiri, ada faktor yang ikut mempengaruhi terjadinya perilaku tersebut, yaitu faktor Reason. Para tokoh ini kemungkinan besar diberikan iming-iming tertentu bisa berupa kedudukan, keuntungan ekonomi, dll., singkatnya mereka terpengaruh sehingga merubah sikap (Attitude) mengarahkannya kekubu capres bermasalah ini (Intention), dan berperilaku tidak seperti lazimnya tokoh tersebut (Behavior). M. Fishbein & I. Ajzen - Theory of Reasoned Action (1980).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun