Eunuch, beberapa kamus mendefinisikan: Eunuch adalah seorang pria atau anak lelaki dengan kemaluan yang tidak berfungsi atau telah dihilangkan. Menurut catatan ( Maekawa, Kazuya (1980). Animal and human castration in Sumer, Part II: Human castration in the Ur III period. Zinbun [Journal of the Research Institute for Humanistic Studies, Kyoto University], pp. 1–56. Dan Maekawa, Kazuya (1980). Female Weavers and Their Children in Lagash – Presargonic and Ur III. Acta Sumerologica 2:81–125.), eunuchtelah dipraktekan oleh masyarakat Sumerian di kota Lagash pada abad 21 S.M, saat ini dikenal dengan Iraq selatan.
Di zaman para Nabi, eunuch tidak luput dari perhatian, Nabi Isa A.S (umat Muslim), Yesus Kristus (umat Kristiani), mengidentifikasikannya kedalam tiga kategori eunuch; Pertama, orang yang terlahir demikian adanya (Natural); Kedua, orang yang secara paksa dijadikan eunuch (by Force); Dan ketiga, yang secara sukarela menjadikan dirinya sebagai eunuch (Voluteer) (Matthew 19:12). Seiring berjalannya waktu, fakta sejarah membuktikan, bahwa para eunuch biasa dipekerjakan sebagai pelayan, budak, Abdi Dalem penjaga Harem, atau birokrat kerajaan oleh para raja-raja di wilayah Asia maupun Eropa.
Jurnalisme sendiri, adalah suatu proses atau aktifitas mengoleksi, penulisan, editing, dan mempresentasikan berita atau artikel berita yang dituangkan kedalam sebuah harian dan majalah, serta radio dan televisi. Demikianlah mengenai definisi jurnalisme dan eunuch secara umum, kita tidak akan membahas lebih jauh maupun detail tentang difinisi ini; Akan tetapi tulisan singkat ini akan memfokuskan diri pada, bagaimana sebuah proses jurnalistik menghasilkan sebuah produk journalisme, khususnya pada tahun politik saat ini. Tulisan ini akan mengulas perilaku dan produkjurnalisme yang diperbudak atau menjadi pelayan seorang “ Master “, yaitu “Eunuch Journalism”.
“Master of Puppets” in The News Room ?
Pada suatu hari, di sebuah kedai kopi (bukan cafe) yang kebetulan pemiliknya menyediakan sebuah pesawat televisi tua sebagai hiburan pengunjung kedai. Saya duduk di satu sisi, disisi lain beberapa tukang sayur, tukang kerupuk keliling, dan tukang ojek menikmati kopi sambil menyimak tayangan berita dari salah satu stasiun televisi, yang sedang menyajikan berita kegiatan salah satu kandidat presiden. Mereka berdiskusi dan berdebat satu sama lain, layaknya para Pundit yang dibayar untuk mengangkat derajat salah satu kandidat dan menjatuhkan kandidat lawannya. Yang paling menarik adalah, saat salah satu dari mereka ( tukang sayur gerobak keliling ) sebelum beranjak, berkata pada rekan-rekannya, “ Eh...! elu pada harusnye ngarti, kalo elu nonton di...( menyebut nama stasiun televisi dan salah satu pasangan kandidat presiden dan wakil ) die dipuji-puji, diangkat-angkat ..tapi kalo elu nonton di...( menyebut nama stasiun televisi dan salah satu pasangan kandidat presiden dan wakil lawannya ) die dijatoin ampe ngeblangsak dah...( lalu beranjak sambil tertawa )” . Anda tau..? apa reaksi rekan-rekannya ? mereka mengangguk-anggukan kepala tanda menyetujui pendapat tukang sayur keliling itu sambil mengatakan “ Iye...ye!!! kalo kite perhatiin bener juga yeee...( sambil meminta tolong kepada pemilik kedai untuk memindahkan saluran teve dan menyimak sesaat )... waaaah bener juga tu bocah..( sambil tertawa )”.Dalam hati saya mengatakan, orang-orang ini ”Luar Biasa!!!”
Cerita di atas adalah sekelumit cerita yang mencoreng wajah media massa secara umum, yang memang sudah buruk menjadi bertambah buruk. Padahal, masih ada sebongkah kisah besar mengenai wajah buruk media masa kita dengan kompleksitasnya sendiri, tidak terlihat dan tidak diketahui oleh publik.
Dengan melihat, memperhatikan dan mengamati penayangan, penulisan artikel berita atau berita yang di sajikan oleh beberapa media massa (cetak dan elektronik), selama 247-185 tahun ini, memang mengkhawatirkan, memprihatinkan, menggelikan, bahkan memalukan, memuakan dan terkadang menjijikan. Berita yang ditayangkan atau sajian artikel oleh beberapa media massa tersebut amat sangat bias, partisan, dan paling tidak sedikit berpihak. Mereka berusaha meracik dan membungkus produknya secara apik, tetapi dikarenakan kedangkalan pengetahuan, keterbatasan nalar dan pengalaman, serta ketidak profesionalannya, “bangkaipun tercium baunya” meski oleh seorang tukang sayur keliling sekalipun. Akhir-akhir ini, mereka secara terang-terangan dan tidak malu-malu mempertontonkan diri sebagai MEDIA PARTISAN.
Jadi, sebenarnya apa yang sedang terjadi dan dialami oleh media massa kita ? Apakah para jurnalis kita sudah tidak memiliki “Sense of Belonging” lagi pada profesinya ? Apakah mereka telah mengingkari sumpah dan kaidah-kaidah yang mereka buat sendiri ? Apakah mereka masih pantas disebut sebagai “The Fourth Estate” atau “The Messenger“ ? Atau mereka sudah bermetamorfosis menjadi “sesuatu” yang mudah dikendalikan dan dibentuk oleh sang “Master“ ?. Dari hasil pengamatan, kebanyakan sajian berita saat ini, sepertinya pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas terjawab dengan sendirinya. Kemaluan mereka telah dimutilasi; Mereka dijadikan penjaga, pelayan atau budak, menjadi “Boneka“ (“Puppets“), mengabdi tanpa perlawanan, serta loyalitas tanpa batas (“Eunuchs“) pada penguasa yang mengendalikannya ( Master of Puppets ).
Pendidikan mengajarkan, dalam proses
pengambilan keputusan harus menjunjung tinggi IMPARSIALITAS