“It is better to be Human dissatisfied than a Pig satisfied;
Better to be Socrates dissatisfied than a Fool satisfied.
And if the Fool, or the Pig, are of a different opinion,
it is because they only know their own side of the question.
The other party to the comparison, knows both sides.”
John Stuart Mill
Ketika UU Pilkada langsung oleh rakyat diubah menjadi UU Pilkada melalui DPRD, maka terjadilah perdebatan panjang, dan seterusnya... dan seterusnya. Kemudian tengelam seperti ditelan bumi, suara desisnya sekalipun tidak terdengar, sampai-sampai Radio Frequency Monitoring (RFM) tidak menangkap signal apa-apa tentang kasus UU Pilkada. Namun tiba-tiba saja RUU Pilkada tidak langsung, mencuat kembali pasca Pilpres, dan pada akhirnya dijadikan alat politik praktis sebelum waktunya. Untuk saling menjatuhkan dan saling beradu argumentasi. Anehnya, dua kelompok “Presstitute Media - Media dengan perilaku Pelacur” (baca artikel: Presstitute Media dan Pilpres)pendukung kubu masing-masing, tidak saling bertempur dan membahas kasus UU Pilkada ini dengan serius dan kritis. Presstitute hanya mendiskusikan hal-hal yang bukan menjadi esensi permasalahan tapi hal tehnis. Sementara media bukan pendukung setali tiga uang, dalam pemberitaan dan talkshow nya tidak pernah menyentuh esensi perbedaan antara UU Pilkada langsung dan tak langsung, dan dampak dimasa depan. Entah karena memang kurangnya kemampuan daya nalar dan analisis, pengetahuan tentang berbagai hal dan Critical Thinking yang minim sehingga wawasan sangat terbatas. Tidak membahas secara serius, intensif, konstan, masif 247, mungkin hanya karena ingin selamat. Namun setelah DPR memutuskan Pilkada tidak langsung, barulah sebagian besar media massa ( kecuali Media pendukung kelompok pengusung UU) bertingkah layaknya orang kebakaran jenggot. Jadi diantara dua kubu yang bertolak belakang, mana yang benar...??? Tatkala dua kubu politisi bertarung, berhadap-hadapan, jegal-menjegal, saling tuding dan menyalahkan, Jangan Percaya dengan apa yang mereka sering katakan dimedia masa, terlebih distasiun TV “Prestitute Media” pendukung pilkada tidak langsung, sebaiknya cermati saja apa yang dikatakanoleh kedua kubu, sebab kuduanya akan berargumentasi bahwa yang mereka lakukan semata-mata demi Rakyat, Bangsa, dan Negara. Bila kita percaya apa kata-kata politisi kedua kubu, maka, itulah yang menjadikan kita ORANG DUNGU. Sebab kedua kubu memiliki agenda masing-masing yang hanya akan memberi kenyamanan segelintir Oligarch.
Dungu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional: Sangat tumpul otaknya; Tidak cerdas; Bebal; Bodoh.
“A Statesman makes Equilibrium, for the sake of the people;
A Politician produces Pandemonium, for the sake of his/her Potbellies ”
I Say
Orang Dungu
Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa kita harus memilih satu diantara dua kubu, mendukung kubu “Liar” atau kubu “Treacherous Alliance”. Memang sebuah dilema, itu harus diakui. Namun, apabila kita dipaksa atau terpaksa harus berjalan melewati sebuah api unggun, tentu seharusnya kita menunggu api itu mengecil dan memutuskan berdiri disisi kayu yang sudah menjadi arang dan seterusnya, bukan langsung melangkah ketengah kayu yang berapi walaupun api sudah mengecil. Keduanya akan mengotori dan melukai, tapi paling tidak jika kita mengambil keputusan untuk berdiri disisi arang kayu yang terluka telapak kaki dan kotor, cara pengobatannyapun jauh lebih ringan dan tidak memakan waktu lama; Terjadi sebaliknya apabila kita langsung masuk dan berdiri ditengah-tengah api unggun tanpa berfikir, mencerna masukan, menganalisis informasi, dan dampak dimasa depan terlebih dahulu, nah...itulah yang kita sebut dengan ORANG DUNGU.
Apakan orang dungu itu berotak tumpul/bodoh/bebal/tidak cerdas...? Orang bodoh hampir dipastikan dungu, begitu pula orang yang bebal dan tidak cerdas, tapi orang dungu tidak berotak tumpul, tidak bodoh, tidak bebal, dan cerdas. Orang yang langsung masuk kedalam api unggun ketika dipaksa dan diarahkan adalah orang yang bermasalah dengan syaraf pengendali di otak, alias sakit mental alias orang gila. Permaasalahnya adalah bagaimana seseorang dapat menempatkan sebuah masalah pada tempatnya dan tepat atau tidak, mendengar pendapat dan informasi dari orang lain mau atau tidak, jadi masih harus dilihat dari sisi konteks permasalahan terlebih dahulu. Otak tumpul/bodoh/bebal/tidak cerdas semua itu juga masih harus ditinjau dari berbagai sisi dan konteks dari permasalahan yang dihadapi orang tersebut. Seseorang bisa saja mengatakan “dasar otak tumpul/bodoh/bebal/tidak cerdas” terhadap seorang profesor, tapi semua itu bergantung pada konteks permasalahan yang dihadapi. Jika seseorang profesor dihadapkan pada situasi seperti ilustrasi di atas, kemudian ia mengambil satu keputusan, apakah keputusan tersebut sebagai bukti ia berotak tumpul/orang bodoh/bebal/tidak cerdas...? Tentu tidak, yang menjadi masalah pilihan hanya ada dua dan keduanya buruk; Bad and Worst. Dengan akibat berbeda. Api Unggun adalah Aksi, pengambilan keputusan adalah sebuah Proses, keputusan dan ketepatannya adalah Reaksi. Sang profesor dihadapkan pilihan yaitu: Pilihan pertama Bad, hasil dan dampak buruknya bersifat sementara; Pilihan kedua Worst, hasilnya sangat buruk dan berdampak permanen. Jika sang profesor mengambil keputusan untuk memilih pilihan kedua, apakah berarti ia orang berotak tumpul/bodoh/bebal/tidak cerdas...?Tidak... tetapi ia adalah Orang Dungu.
Politisi dan UU Pilkada
So...! Bagaimana dengan politisi yang memilih Pilkada melalui DPRD apakah mereka dungu...? Whooooa...Tentu tidak!!! Lalu apakah politisi yang memilih Pilkada secara langsung pasti tidak dungu...? Whooooa...Tentu...belum tentu!!! Politisi/Pejabat Publik, orang yang kadang kala seenaknya saja melakukan apapun, korupsi, manipulasi, kolusi dan lain sebagainya. Tapi ada satu hal menjadi kebiasaan, mengatakan sesuatu yang mungkin dia sendiri tidak mengerti dan paham untuk mengerjakannya tapi ia katakan secara berulang-ulang didepan publik. Contoh, kita akan mengusut tuntas masalah BLBI dan akan menarik seluruh uang di luar negeri kepangkuan Ibu Pertiwi dan mengejar perampok itu sampai dimanapun...!!!??? Kita akan mengusut tuntas kasus HAM...!!!???, Kita akan meningkatkan tarap hidup para petani dan nelayan...!!!??? Katakan tidak pada korupsi...!!!??? Kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dan hukum adalah panglimanya...!!!??? Whooooa...sepertinya kita sudah sering mendengar suara-suara lantang seperti itu keluar dari mulut para politisi, apa lacur...? Nothing...Nothing...Nothing happen...No!!! Nada man. Ya, karena memang mereka hidup dengan itu, dan sudah habitualnya kalau sering melakukan kebohongan publik dan memberi janji-janji tidak ditepati.
Sama dengan UU Pilkada, satu kubu mengatakan itu adalah hak konstitusi rakyat, kalau kita mengambil hak rakyat dimana letak demokrasi. Apakah pernyataan tersebut salah ? Tidak salah, tapi jika yang mengatakannya seorang politisi jangan pernah percaya sepenuhnya, pasti ada agenda tersebunyi dibelakangnya. Terlebih yang bicara mantan pelawak/aktor/aktris/artis di DPR...hohoho sekarang ada anggota DPR seorang pembalap, apa yang bisa diharapkan dari manusia-manusia seperti ini, sepertinya kita kekurangan orang yang layak. Kubu lainnya mengatakan, pemilihan kepala daerah sebaiknya diserahkan ketangan DPRD, dengan berbagai alasan. Intinya kelompok ini ingin mendominasi daerah dan membagi-bagi jatah kepala daerah diantara mereka sehingga pemilu mendatang dapat dipastikan akan menang dan meraih posisi RI-1, siapapun calonnya.
Pertanyaan, apakah politisi pengusung UU Pilkada tidak langsung adalah orang-orang dungu...? Tidak, dan pasti tidak, hanya sangat berbeda dengan orang biasa. Politisi melakukan itu semua, merupakan satu strategi untuk mendominasi kekuasaan sehingga mereka dapat bergerak bebas dan leluasa melakukan apapun. Jika mereka dapat berkuasa, maka kolega, keluarga yang terkait dan terlibat masalah hukum dan skandal-skandal besar lainnya akan terlindungi. Jika mereka tidak mendominasi kekuasaan, maka suatu hari nanti akan ada yang mengirim mereka berlibur dan menginap di Hotel Prodeo Guntur/Salemba/Sukamiskin/Kuningan/Nusa kambangan. Dengan mendominasi kekuasaan mereka akan mudah mengeruk uang negara untuk menutupi hutang-hutang para oligarki yang berada didalam partai. Mulai dari mafia pemilu hingga Mafia minyak.
Jadi rakyat dianggap apa oleh mereka...? Orang dungu...!!! Terlebih orang-orang yang senang dengan kemenangan kubu yang mengusung UU Pilkada tak langsung. Dan kelompok koalisi tersebut sangat benar, mereka tidak perlu khawatir ternyata tidak sedikit orang-orang dungu yang mendukungnya, bukan orang berotak tumpul/bodoh/bebal/tidak cerdas, tapi sekali lagi Orang Dungu...!!! Dungu...!!! dan si Dungu...!!! Beware, This Country is on the way to FASCISM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H