Beberapa malam yang lalu sebuah televisi swasta menayangkan acara tentang Mas Didi Kempot. Sang maestro campursari itu sekarang dijuluki Bapak Patah Hati oleh kaum milenial.Â
Tentu saja julukan ini tidak disematkan kepada beliau melalui upacara kenegaraan. Julukan itu hanya sebuah simbol dari ekspresi kaum milenial kepada Mas Didi Kempot karena berhasil mengisi ruang tertentu di hati generasi milenial kita.
Ya, inilah generasi milenial, yang memiliki keunikan tertentu dan berbeda-beda di setiap zaman, mudah berubah-ubah tergantung pada ruang dan situasi tertentu. Pada ruang dan situasi tertentu inilah, Mas Didi Kempot hadir dan berhasil diterima oleh generasi milenial kita.
Pada sisi yang lain, keberhasilan Mas Didi kempot yang terbatas dalam ruang dan waktu ini rasanya patut diberi apresiasi. Paling tidak generasi milenial kita mengenal sebuah budaya negeri, yaitu campursari dan tidak hanya K-Pop.Â
Apakah bisa dikatakan bahwa Sang maestro sudah ikut serta menanamkan jiwa nasionalisme di kalangan generasi muda kita? Rasanya memang demikian, meski dalam ruang dan dimensi yang terbatas.
Pada ruang dan dimensi yang lain, walau hanya di kampung yang jauh dari pemberitaan media massa, sudah banyak ibu-ibu berhasil menjadi seorang agen perubahan. Sebut saja salah satunya seorang perempuan bernama Tino Yuliati, yang tinggal di Desa Sukoyoso, salah satu desa di Provinsi Lampung.Â
Si Mbak Tino mantan buruh migran ini mahir memberdayakan kaum perempuan di kampungnya. Di tangan Beliau, KWT-nya berhasil menjadi salah satu KWT termaju di Kabupaten Pringsewu. Dia sukses membawa pundi-pundi pendapatan baru bagi anggota KWT-nya lewat usaha budi daya jamur tiram dan olahan kripik jamur.Â
Seabrek bantuan dari dinas kabupaten dan lembaga lainnya datang ke desanya, dan berkat sepak terjangnya di bidang pemberdayaan perempuan, Desa Sukoyoso semakin maju. Di tengah kegiatan pemberdayaan yang cukup padat, Mbak Tino masih bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik bagi suami dan 3 orang anaknya.Â
Sang suami juga tidak kalah hebat, mendukung penuh gerakan kesetaraan gender meski hanya bekerja sebagai petani. Mbak Tino dan keluarganya adalah contoh SDM unggul yang mencintai negara ini lewat perbuatannya yang terbatas di kampung.
Masih dalam ruang dan waktu yang lain, Akhiruddin dan kelompoknya yang masing-masing bekerja sebagai tukang parkir, petani, pedagang es keliling, honorer dan sebagian besar adalah ibu rumah tangga biasa, rutin setiap bulannya menyisihkan sedikit pendapatannya membantu anak-anak sekolah dari keluarga kurang mampu di Kecamatan Pagelaran.Â
Meski masih sedikit anak-anak kurang mampu yang terbantu lewat pikiran dan tangan Akhiruddin dan kelompoknya, namun mereka sudah berbuat untuk kemajuan pendidikan di negara ini.