Kedua; terpilihnya Muhammad Tamzil untuk kedua kalinya sebagai Bupati Kudus, membuktikan bahwa rekam jejak kasus korupsi belum menjadi pertimbangan masyarakat dan partai politik dalam menentukan dukungan terhadap seorang kepala daerah.
Artinya, ada kegagalan dalam menciptakan efek jera terhadap pelaku korupsi dan masih lemah upaya mengikis budaya korupsi masyarakat dan partai politik.
Maka tidak heran jika publik dan para pegiat anti korupsi berharap besar pada proses seleksi calon pimpinan KPK yang sedang berlangsung.
Proses ini diharapkan mampu menghasilkan  pimpinan KPK baru yang mampu bekerja lebih baik, terutama  mengatasi kegagalan dalam menciptakan efek jera terhadap pelaku korupsi dan mengatasi lemahnya upaya mengikis budaya korupsi masyarakat dan partai politik.
Sanksi hukum terhadap para koruptor memang telah diatur oleh Undang-undang. Diantaranya adalah sanksi berupa kurungan badan, sanksi yang dapat memiskinkan para koruptor dan sanksi berupa pencabutan hak politik, sampai dengan sanksi hukuman mati.
Masalahnya, kapasitas dan integritas pimpinan KPK yang baru nanti, akan dibuktikan dengan kemampuannya mengajukan  tuntutan dan pembuktiannya sehingga vonis hukumnya mampu menimbulkan efek jera para pelaku korupsi.
Prestasi KPK tentu tidak hanya terkait dengan seberapa banyak para koruptor dapat dijaring, tetapi juga terkait seberapa berat vonis hukum yang dijatuhkan hakim pada para koruptor tersebut sehingga para koruptor jera dan tidak bertambah lagi residivis korupsi seperti Bupati Kudus, Muhammad Tamzil.
Saat ini semakin banyak jumlah kepala daerah yang terjaring oleh KPK. Ini adalah bukti bahwa budaya korupsi masyarakat dan partai politik sangat besar pengaruhnya pada perilaku korupsi kepala daerah.
Budaya korupsi masyarakat dapat kita lihat pada kebiasaan menerapkan istilah Nomer Piro, Wani Piro alias NPWP dalam sebuah kontestasi politik. Ini adalah istilah Jawa yang artinya Nomor Berapa, Berani Berapa, dimana hanya kandidat kepala daerah yang mampu memberi uang lebih besar, yang akan dipilih oleh masyarakat.
Akibatnya para calon kepala daerah didorong untuk melakukan suap kepada konstituen agar dapat menang dalam kontestasi politik. Soal rekam jejak hanya berlaku di kalangan masyarakat rasional yang jumlahnya hanya sedikit.
Mungkin KPK perlu mengadakan penelitian bersama LIPI ataupun lembaga lainnya untuk membuktikan seberapa parah budaya NPWP dan seberapa besar pengaruhnya ikut mendorong tindakan korupsi oleh kepala daerah. Kemudian hasil penelitiannya dijadikan acuan penilaian, apakah program KPK seperti aplikasi JAGA, Festival Suara Antikorupsi (SAKSI), Anti-Corruption Film Festival (ACFFEST), Gerakan Nasional Saya Perempuan Anti Korupsi (GN SPAK), ataupun Bus Antikorupsi "Jelajah Negeri Bangun Antikorupsi", sudah efektif mengikis budaya korupsi masyarakat. Atau sebenarnya lamban dan perlu segera ada program baru yang lebih efektif dalam upaya pencegahan korupsi, utamanya yang melibatkan partisipasi masyarakat.