Dinamisnya sebuah Kota Kecil: “Dari Parelenan, Pare, Mojokuto hingga Kampung Inggris” “Pare”-Apalah Artinya Sebuah Nama? Jika menyebut “Kampung Inggris Pare” di kabupaten Kediri, provinsi Jawa Timur, yang dikenal karena pusat kursus bahasa Inggris di Indonesia ini, siapa yang tak penasaran? Nah, berawal dari rasa penasaran pada nama Pare inilah, maka kami mencoba menelusuri sejarah nama Pare. Tim penelusur, Irwan Lalegit, Agus Tri Winarso dan Masruli Abidin, menyajikannya untuk pembaca kompasiana. Sebagai pelajar kursus bahasa di Pare, kali pertama mendengar nama ini, kita pasti menyangka jika nama Pare diambil dari jenis sayuran yang sering digunakan untuk obat, sayur Pare atau Paria–(momordica charantia, Latin)–yang rasanya pahit namun kaya nutrisi. Ternyata sangkaan kita bisa salah. Usul punya asal, nama Pare diambil dari kata “panglerenan”–bahasa Jawa. Berdasar tuturan dari beberapa warga Pare, penggunaan kata “panglerenan” ini berasal dari zaman kerajaan-kerajaan dahulu, yang kala itu identik dengan perang, perebutan kekuasaan, pemberontakan. Waktu itu Pare sering dijadikan “panglerenan”--tempat beristirahat atau bersembunyi dari kejaran musuh--dan biasanya jika mereka bersembunyi di Pare, tentu saja selalu selamat. Pada jaman kolonial Belanda, ada juga orang yang dikejar para serdadu wolanda lalu bersembunyi di Pare. Kebetulan orang itu terselamatkan karena bersembunyi. Dari telusuran kami, di wilayah kecamatan Pare ini memang cocok dan strategis dijadikan tempat persembunyian. Contohnya, disini ada terowongan Surowono–lubang bawah tanah–yang sepertinya memang sengaja dibangun sebagai gua pertahanan, persembunyian dari kejaran musuh. Lubang bawah tanah ini mengingatkan kita dengan film-film bertema perang Vietnam–“film Rambo yang dibintangi aktor laga Sylvester Stallone”–dengan terowongan Cu Chi Tunnel-nya milisi Vietkong dan tentara Vietnam Utara sebagai rumah dan benteng pertahanan melawan pasukan Amerika Serikat sepanjang tahun 1957 sampai 1975. Bagi yang pernah merasakan sensasi masuk terowongan Surowono di desa Canggu–meskipun kalah panjang dengan terowongan Cu Chi Tunnel yang panjangnya lebih dari 200 kilometer–pasti bisa menebak kalau terowongan yang oleh warga sekitar disebut “Gua Kahuripan” sepanjang lebih kurang 500 meter itu jelas dibangun untuk pertahanan. Tuturan beberapa warga sekitar pun mengatakan hal yang sama kalau jejak sejarah itu sengaja di buat pada jaman kerajaan Panjalu-Kediri untuk pertahanan saat perang atau tempat persembunyian raja-raja. Konon, Pare juga sejak dahulu aman dari bencana alam. Pare menjadi tempat berhentinya bencana alam yang menurut salah satu warga sampai sekarang bencana alam jarang terjadi di Pare. “Setidaknya di Pare belum terjadi bencana alam besar”, kata Mas Munir salah satu warga Pare ketika di ajak diskusi. Ceritanya, pada waktu gunung Kelud meletus dan terjadi banjir lahar maka semua daerah yang di sekitaran Pare mengalami banjir lahar dingin, tetapi setelah mendekati Pare, banjir tersebut berhenti hingga warga mengatakannya sebagai “Leren”. Membenarkan kota kecil ini sebagai daerah sejuk dan cocok untuk tempat tinggal, itu sudah pasti, karena berada di ketinggian 125 meter diatas permukaan laut, sehingga terbilang nyaman untuk beristirahat, juga karena biaya hidup yang tergolong terendah se Indonesia. Disini pula berbagai olahan kuliner, jajanan yang enak dan higienis dapat kita jumpai dengan mudah dan sudah pasti murah. Kota ini juga dikenal sebagai kota damai meski silang budaya Jawa dengan beragam suku seperti Cina, Madura, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Bali, Arab, dan sebagainya terjadi disini. Tidak pernah ada benturan karena warga Pare pun telah banyak berasimilasi dengan warga pendatang yang berprofesi sebagai pegawai, pengusaha, pekerja dan pelajar itu. Menguatnya sistem demokrasi, tumbuhnya kesadaran beradab dan kepedulian sosial serta partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan sosial-ekonomi (gairah kewirausahaan), membentuk sebuah karakter dimana karakter inilah yang mungkin menyebabkan masyarakat Pare memiliki keramahan untuk menerima perbedaan dan toleran terhadap semua keadaban. Dengan gairah kewirausahaan inilah, kota Pare menopang kabupaten Kediri pada tahun 2005 untuk menduduki peringkat ketiga dari 200 kabupaten-kota di Indonesia dengan daya tarik investasi yang bagus--sesuai survey yang dilakukan Komisi Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dimana selain kabupaten Kediri, kota Kediri juga pernah dinobatkan sebagai peringkat pertama Indonesia Most Recommended City for Investment pada tahun 2010 berdasarkan survey oleh Majalah SWA--dibantu oleh Business Digest--unit riset bisnis grup Majalah SWA. Hal ini semakin menguatkan pendapat bahwa kota Pare, meskipun sebagai kota kecil tetapi sangat dinamis. Dinamisnya Sebuah Kota Kecil Meski sebagai kota kecil, tetapi semangat dagang–gairah kewirausahaan–warga kota ini tidak bisa dibilang kecil. Bisa jadi karena letaknya yang sangat strategis karena berada di 25 km sebelah timur laut kota Kediri yang dahulu sebagai pusat kerajaan Kediri, atau 120 km barat daya kota Surabaya (kota pelabuhan besar yang ramai di utara Jawa Timur), menjadikan posisi Pare tepat berada di jalur ekonomi Surabaya, Jombang, Kediri, Kertosono dan Blitar serta Kediri ke Malang. Jangan heran kalau Pare memiliki beberapa pasar sebagai pusat ekonomi rakyat, yakni pasar Lama, pasar Lombokan (Cabe), pasar Krempyeng dan pasar Baru atau Pamenang. Selain pasar diatas, ratusan toko-toko yang menjadikannya sebagai pusat keramaian, sekarang ini banyak terpusat di sepanjang jalan di depan bekas stasiun Pare jaman dulu, yang menghubungkan Kediri-Pare-Jombang dengan kereta “Sepur Trotok”-nya sampai akhir tahun 1970-an. Selain pernah meraih dua kali piala “Adipura” untuk kota kecil terbersih, Pare sudah lama diwacanakan untuk menjadi ibukota kabupaten Kediri setelah Kediri dimekarkan menjadi dua yaitu kota Kediri dan kabupaten Kediri. Namun sayang, wacana menjadikan Pare sebagai ibukota kabupaten pun kandas setelah DPRD dan pemerintah kabupaten Kediri menempatkan pusat pemerintahan di desa Sukorejo (Katang) di wilayah kecamatan Ngasem, dekat dengan pusat bisnis terpadu Simpang Lima Gumul dengan ikon monumen Simpang Lima Gumul (MSLG) nya, yang mirip Arch D’ Triomphe-nya Napoleon di kota Paris, Perancis. Sebagai kandidat kota kabupaten, Pare sebenarnya telah memiliki berbagai infrastruktur dan fasilitas penunjang yang memenuhi syarat pengembangan pusat pemerintahan, disini ada berbagai hotel, Rumah Sakit HVA Tulungrejo peninggalan Belanda sejak 1908 (sekarang milik PT. Perkebunan Nusantara X), dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Kediri, Rumah Sakit Umum Amelia, Rumah Bersalin Kasih Bunda, Rumah Bersalin Nuraini dan masih ada lagi Puskesmas, Klinik, Pos Bidan dengan fasilitas lengkap. Tak ketinggalan, ATM Bank bersama, warnet 24 jam ber-AC, Masjid Besar, dan lain sebagainya. Soal fasilitas pendidikan, sekolah-sekolah favorit dari tingkat TK sampai dengan SMA ada disini. Ada SMP Negeri 2 Pare, SMA Negeri 1 Pare dan SMA Negeri 2 Pare juga ada Madrasah Aliyah Negeri Krecek, SMK Canda Birawa dan beberapa kampus seperti Akper, Akbid dan Akop. Jadi jangan heran, walau statusnya sebagai kota kecamatan, Pare memiliki semuanya termasuk Anda tidak akan kesulitan menemukan ATM dari beberapa Bank nasional seperti BCA, Mandiri, BNI, BRI, Bank Jatim, Danamon, Artha Pamenang, dan sebagainya. Fasilitas lainnya adalah lapangan/stadion olahraga “Canda Bhirawa” sebagai homebase atau markasnya tim sepak bola Persedikab (Persatuan Sepakbola Kediri Kabupaten) yang pernah dua kali berlaga di Divisi Utama. Persedikab biasanya menjamu lawan-lawannya di stadion “Canda Bhirawa” yang terletak tak jauh dari Masjid Agung An Nur, kini menjadi “landmark”-nya Pare selain Tugu Garuda, Monumen Mastrip, Patung Pahlawan, Patung Mbah Budho, Alun-alun Tamrin, dan Gedung Sanggar Budaya. Di sektor Agrokompleks, tanah sebagai daya dukung pertanian, peternakan, perikanan darat di wilayah kecamatan Pare sangat subur karena bekas letusan gunung Kelud dan tidak pernah mengalami kekeringan. Maka jangan heran disini banyak dikembangkan bibit-bibit pertanian yang pada 1999 pernah menempati predikat urutan pertama kecamatan sebagai lumbung Padi dan Jagung di kabupaten Kediri dan Jawa Timur. Komoditas andalan yaitu Jagung, Kacang Hijau, Cabai, Jambu Air, Pisang, Melinjo, Kelapa, Ayam buras, sedangkan komoditas unggulannya yaitu Padi, Ayam Ras, Bawang Merah. Selain itu kecamatan ini juga penghasil Terong, Tomat, Jambu Mete, Tebu, Kapuk Randu, Kacang Panjang. Untuk Pisang sering diolah jadi Gethuk Pisang sebagai oleh-oleh khas Pare bersama Tahu Kuning. Satu lagi, Pare salah satu sentra peternakan Kerbau, Ayam Petelur, Lebah Madu, pengembangan ikan Lele Lokal (Clarias Batracus, Latin) dan ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus, Latin) utama dan pertama di Jawa Timur bahkan Indonesia. Disini pula dikembangkan usaha pembenihan ikan, budidaya ikan konsumsi seperti ikan Bawal, ikan Mujair, ikan Mas, juga budidaya ikan hias seperti di desa Canggu, sampai penangkapan ikan (lokasi pemancingan) di perairan umum yang semuanya itu menjanjikan keuntungan cukup besar bagi masyarakat. Karena lahan yang subur itulah, beberapa industri menengah bertaraf internasional pernah didirikan disini. Belanda pernah membangun beberapa pabri gula seperti pabrik gula “Indocorn” yang juga memproduksi minyak goreng “Tjap Sintanola”. Sekarang, ada juga industri rumah tangga beragam produk seperti pabrik tahu, pabrik keripik, pabrik bata merah, pabrik genteng, dan industri menengah seperti pabrik tripleks (plywood) dan puluhan pabrik pembuatan senjata berburu hewan liar juga ada disini. Sejarah yang tak Tercatat Kota kecil Pare termasuk kota sejarah. Hanya saja, sampai sekarang belum diketahui dengan pasti kapan kota kecil ini berdiri dan siapa pendirinya. Meski begitu, sebagai kota sejarah Pare memiliki dua candi yang terletak tidak jauh dari pusat kota, yakni candi Surowono dan candi Tegowangi. Ada juga patung “Mbah Bhudo” yang berada di alun-alun Tamrin (taman ringin budho) sebagai taman kota yang berlokasi di bekas lapangan Persendo. Di jaman Belanda kota Pare masuk jalur kereta api dari Kediri ke Jombang, meskipun sekarang hanya tersisa relnya saja. Peninggalan sejarah diatas membuktikan bahwa kota Pare telah ada ratusan tahun lalu. Karena itu, bisa jadi Pare lalu menarik minat antropolog kaliber dunia, Clifford Geertz, meneliti dan menulis buku terkenal, “The Religion of Java” (lihat tulisan saya lainnya: Kota Pare sebagai “Mojokuto” dalam Masterpiece-nya Clifford Geertz “the Religion of Java” ). Dalam buku tersebut, Geertz menyamarkan Pare dengan nama “Mojokuto” dan dari sinilah nama Pare kemudian mendunia karena diperbincangkan oleh para pengkaji etnografi-terutama pusat kajian budaya Asia-di kampus-kampus Eropa dan Amerika. Mojokuto mungkin dipilih karena daerah ini merupakan pusat kekuasaan kerajaan Hindu-Jawa, sejak kerajaan Daha (Panjalu) hingga Singosari, dan memiliki hubungan historis dengan kerajaan Majapahit yang berpusat di Mojokerto selain juga karena Kediri merupakan salah satu pusat Santri dan sekaligus kaum Nasionalis serta penghayat aliran kepercayaan-kebatinan seperti Sapta Dharma. Di Pare banyak tempat-tempat yang mengingatkan kita pada Pahlawan yang sudah membela Negara Indonesia ini seperti Taman Makan Pahlawan (TMP) Canda Bhirawa. TMP inilah bukti sejarah bahwasanya Putra-Putri terbaik Pare telah berjasa untuk Bangsa dan Negara Indonesia, karena itu apabila kita memiliki kerinduan dengan pahlawan-pahlawan kita bisa mendoakan atau ziarah di TMP yang terletak tidak jauh dari Mesjid Agung An Nur. Untuk mengenang jasa kusuma bangsa pula, ada juga tugu pahlawan yang letaknya persis di ujung jalan PB Sudirman, di tengah-tengah pertigaan sebelahnya alun-alun Tamrin Pare, dan monumen TGP Brigade XVII (Tentara Genie Peladjar) depan gedung tua di jalan TGP yang dulu dijadikan markas TGP dalam perang gerilya mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ya, kota Pare memang sangat dinamis sebagai sebuah kota kecil, “Unik, Khas, dan Membanggakan”. Tak heran, dari Parelenan, Pare, Mojokuto hingga Kampung Inggris, telah menjadikan Pare sebagai salah satu ikon penting dalam perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Pare layak dicatat terus dalam sanubari kita, meski ada rentang-rentang sejarah yang ‘mungkin sengaja’ tak dicatat atau lupa. [caption id="" align="alignnone" width="662" caption="Peta kampung inggris Pare"][/caption] [caption id="" align="alignnone" width="664" caption="Masjid An-nur Ikon kota Pare"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H