Mohon tunggu...
Agus Triwinarso
Agus Triwinarso Mohon Tunggu... profesional -

aku hanya orang biasa yang mencoba untuk mencari kebenaran ilahi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mewujudkan Desa Pendidikan di Kampung Inggris

8 Desember 2012   03:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:01 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini, umat manusia tengah memasuki suatu zaman baru yang ditandai dengan semakin ketatnya persaingan antar komunitas maupun antar individu. Inilah era modern yang kerapkali menjadi "nyamuk raksasa" dalam kehidupan masyarakat. Tradisi umat manusia dalam rangka mempertahankan keberlangsungan eksistensi kehidupan maupun budaya mereka; atau bahkan untuk bersaing antar satu kelompok dengan kelompok lainnya dan antar satu individu dengan individu yang lain adalah melalui pendidikan. Pendidikan merupakan media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, pembentukan kesadaran bangsa, meningkatkan taraf ekonomi, social, mengurangi kemiskinan serta sebagai instrument menguasai teknologi. John Dewey, seorang filsuf pendidikan yang mengusung pendidikan progresif di Amerika, mengatakan "...education is the fundamental method of social progress and reform. All reform which rest simply upon the enactment of law. Or the threatening of certain penalties, or upon changes in mechanical or outward arrangements, are transitory and futile. Education is a regulation of the process of coming to share in the social consciousness; and that the adjustment of individual activity on the basic of this social consciousness is the only sure method of social reconstruction" Dalam bahasa yang lebih sederhana, pendidikan dapat disebut juga sebagai proses yang dilakukan agar ada perubahan di dalam masyarakat. Dari gambaran ini terlihat jelas bahwa parameter kunci pendidikan adalah perubahan. Perubahan yang kita dapatkan dari proses pendidikan sangatlah vital bagi kepentingan masyarakat sebab wajah pendidikan kita hari ini adalah wajah masyarakat kita dimasa yang akan datang. Malcolm X, pejuang kebebasan kulit hitam pernah menyerukan, "Education is our passport to the future, for tomorrow belongs to the people who prepare for it today;" hingga jika kita ingin mendapatkan masa depan yang lebih baik, maka kita harus menyiapkan pendidikan yang juga lebih baik. Berbagai kebudayaan dan keyakinan umat manusia, sesungguhnya terus menerus berusaha untuk menjaga dan mempertahankan penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan ini selanjutnya menjadi kewajiban kemanusiaan maupun sebagai strategi budaya dalam rangka mencapai sebuah pencerahan (enlighment) serta untuk mempertahankan kehidupan mereka. Itulah makanya, melihat begitu pentingnya pendidikan bagi umat manusia. Banyak peradaban manusia yang "mewajibkan" masyarakatnya untuk tetap menjaga keberlangsungan pendidikan. Banyak tradisi dan keyakinan manusia menekankan akan pentingnya pendidikan dan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Anjuran tersebut semata didasarkan karena keyakinan bahwa eksistensi umat manusia akan terancam jika pendidikan diabaikan. Pendidikan merupakan satu-satunya strategi umat manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya yang usianya hampir sama dengan manusia itu sendiri, -sejak adanya manusia- Oleh karenanya, pendidikan harus senantiasa membuat masing-masing individu (manusia) untuk memiliki personal behavior yang efektif, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan sisterm politik dan struktur ekonomi yang penuh dengan persaingan. Dengan demikian ada sebuah slogan "siapa yang kuat dan pandai akan menang dan mereka yang kalah akan tersingkirkan", atau dengan meminjam bahasa filosof -knowledge is power- Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya. Perkembangan dan perubahan yang terjadi secara terus-menerus ini, menuntut perlunya peningkatan kualitas pendidikan nasional, seperti peningkatan sumber daya manusia (SDM), termasuk penyempurnaan tujuan, proses pendidikan, kualitas out put dan lain sebagainya. Ini sumua guna mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Atas dasar tersebut, Pare, yang dikenal dengan "Kampung Bahasa", mencoba melangkah untuk meningkatkan kualitas atau mutu pendidikan yang aksentuasinya adalah bahasa Ingris. Secara pasti tujuan pendidikan di Pare selain menciptakan individu yang berkepribadian baik juga mencetak SDM yang mampu berdialektika dengan dunia internasional, dalam arti, generasi yang dibentuk adalah SDM yang mumpuni dalam bidang ilmunya sekaligus memahami media-media yang dipakai dalam dunia global. Salahsatunya adalah bahasa Inggris. Metode pendidikan dan pengajaran di Pare juga dirancang untuk mencapai tujuan di atas. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut tentu dihindari. Dengan demikian, pendidikan di Pare ditujukan dalam rangka membangkitkan dan mengarahkan potensi, baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimalisasi aspek buruknya. Dalam kerangka ini, diperlukan suatu prinsip yang menjadi paradigm dasar atas pendidikan di Pare, antara lain: 1. Asosiasi Lembaga dan Masyarakat Pare merupakan suatu daerah yang selama ini dikenal sebagai Kampung Bahasa. Sebagai Kampung Bahasa sudah tentu di dalamnya terdapat banyak lembaga yang mengajarkan bahasa, khususnya bahasa Inggris. Dari sekian banyaknya lembaga, dibutuhkan sebuah asosiasi yang mewadahi semua lembaga pendidikan dan kegiatan kemasyarakatan di Kampung Bahasa. Sehingga dengan demikian, semua lembaga yang ada dapat bekerja sama dalam mengoptimalkan dan mengembangkan sistem pendidikan di Pare. Kendatipun demikian, untuk mewujudkan suatu pendidikan yang ideal tidak terlepas dari dukungan masyarakat setempat. Karena masyarakat merupakan salah satu faktor terciptanya pendidikan yang nantinya mampu mengangkat citra suatu bangsa di mata dunia internasional. Untuk itu, diperlukan kerjasama semua lembaga dengan seluruh lapisan masyarakat di Pare dalam bentuk kemitraan. Secara konseptual, kemitraan mengandung makna adanya kerjasama antara satu pihak (lembaga pendidikan) dengan pihak lainnya (masyarakat) disertai pembinaan dan pengembangan usaha atau program yang berkelanjutan oleh kedua belah pihak dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Sehingga akan terbuka ruang akselerasi yang cukup kepada semua elemen masyarakat, untuk turut memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya perluasan akses pendidikan. Rangkaian selanjutnya adalah tahap realisasi. Tentunya akan membutuhkan program pendidikan dan kurikulum yang selaras, serasi dan berkesinambungan dengan tujuan yang telah dicita-citakan 2. Independensi Lembaga Pendidikan Pada dasarnya, modernitas dengan lipstick kuasanya yang berupa mesin tekhnologi mampu menghipnotis kehidupan manusia dari dunia kebebasan berpikir dan berkehendak menjadi penjara nalar, sehingga eksistensi manusia sebagai makhluk yang mulia terinjak-injak oleh ideology tekhnologis. Dan yang paling ironis penjajahan itu pula berimbas pada sistem pendidikan. Pendidikan masa sekarang telah kehilangan objektifitasnya dalam arti kata peran dan fungsinya mengalami anomali dari proses penciptaan kesadaran (consciousness) yang aksentuasinya adalah pencerahan (enlightenment) berubah menjadi proses penciptaan ketidaksadaran (unconciousness) yang skimming-nya pada penindasan berpikir (pembentukan manusia mekanik). Pendidikan yang semula alamiah dan liar, perlahan mulai diikat pada tali formalitas. Maka dibuatlah kurikulum pendidikan secara missal agar ada standarisasi dan pemfokusan hasil agar tidak ada penyimpangan dari target. Mulailah dibakukan jam belajar. Kondisi ini memang memberikan perbaikan bagi dunia pendidikan. Akan tetapi ada efek lain yang juga ditimbulkannya, yaitu terciptanya sejumlah individu yang oleh Herbert Marcuse disebut manusia satu dimensi: individu yang hanya bangun, pergi sekolah, pulang dan belajar secara terus menerus sehingga lupa akan berkreasi dan berimajinasi. Melihat fenomena di atas, lembaga-lembaga pendidikan di Pare umumnya membebaskan diri dari berbagai tendensi yang bisa mengekang perkembangan dan optimalisasi pendidikan yang ada, seperti tendensi pemerintah. Karena realitas yang terjadi sekarang, khususnya di Indonesia adalah kemana penguasa berkehendak, kesitulah roda pendidikan diputar. Dengan demikian lembaga pendidikan di Pare dapat berjalan secara independen dengan bebas, kreatif, inofatif dan imajinatif. 3. Keterpaduan pemberian pelayanan (Integrated delivery of service) Suatu sistem pendidikan dapat dikatakan bermutu, jika proses belajar mengajar berlangsung secara menarik dan menantang, sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dan efisien tersebut perlu disusun dan dilaksanakan program-program pendidikan yang mampu membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan, karena dengan kuwalitas pendidikan yang optimal, diharapkan akan dicapai keunggulan sumberdaya manusia yang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Untuk itu, diperlukan manajemen pendidikan yang dapat memobilisasi segala sumber daya pendidikan. Manajemen pendidikan itu terkait dengan manajemen peserta didik yang isinya merupakan pengelolaan, fasilitas dan kwalitas pelayanan terhadap seluruh peserta didik. Fakta-fakta di lapangan ditemukan sistem pengelolaan peserta didik yang masih belum professional, seperti lebih menekankan pada pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberi perhatian kepada pengembangan bakat yang kreatif. Kreatifitas yang dimaksud adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan, menilai dan menguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubahnya dan mengujinya lagi sampai pada akhirnya menyampaikan hasilnya. Dengan adanya kreatifitas yang diimplementasikan dalam sistem pembelajaran, peserta didik nantinya diharapkan dapat menemukan ide-ide yang berada dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga ide-ide kaya yang progresif dan divergen pada nantinya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu berubah Demikian pula tersedianya sarana dan prasarana (fasilitas) merupakan factor penunjang terciptanya pendidikan yang bermutu dan berkuwalitas. Sebagai contoh; laboratorium bahasa, asrama yang berbasis English Area dan lain-lain. Karena dengan demikian dapat mempermudah dan mempercepat peserta didik dalam penguasaan bahasa Inggris. Oleh karena itu, melalui badan asosiasi yang sudah terbentuk sebagaimana disebutkan di atas, diharapkan akan adanya sebuah lembaga pelayanan terpadu dengan pelayanan dan fasilitas standar tinggi yang telah disepakati bersama oleh seluruh lembaga pendidikan dan kemasyarakatan. Sehingga ini juga akan terbentuk pelayanan yang efektif dan efisien serta memuaskan. 4. Menerima perbedaan (Accept diversity) Dalam masyarakat sering ditemukan pelbagai individu atau kelompok yang berasal dari budaya berbeda, demikian pula dalam pendidikan, diversitas tersebut tidak bisa dielakkan. Diversitas budaya itu bisa ditemukan di kalangan peserta didik maupun para guru yang terlibat -secara langsung atau tidak- dalam satu proses pendidikan. Diversitas itu juga bisa ditemukan melalui pengkayaan budaya-budaya lain yang ada dan berkembang dalam konstelasi budaya lokal, nasional dan global. Oleh karena itu, model pendidikan yang memiliki prinsip menerima perbedaan ini bukan merupakan satu bentuk pendidikan monokultur, akan tetapi model pendidikan yang berjalan di atas rel pluralitas. Diversitas budaya ini akan mungkin tercapai dalam pendidikan jika pendidikan itu sendiri mengakui dan menerima pluralitas yang ada, bersikap terbuka (openess) dan memberi ruang kepada setiap perbedaan yang ada untuk terlibat dalam suatu proses pendidikan. Untuk itu, Pendidikan di Pare telah berkomitmen menjadi pendidikan inklusif. Komitmen ini diwujudkan dengan memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada siapapun untuk belajar, termasuk kepada para penyandang different ability (difabel). 5. Tanggung jawab kelembagaan (Institutional responsiveness) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon pelbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan. Selain itu, tugas lembaga adalah memonitoring secara intensif terhadap perilaku peserta didik, sejauh mana mereka memahami konsepsi-konsepsi khususnya yang berkaitan dengan kehidupan dan nilai-nilainya. Karena setiap lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab akademis kepada setiap peserta didiknya. Salah satu bentuk tanggung jawab akademis itu, selain memastikan kualitas pendidikan, juga memberikan berbagai bukti formal kepada peserta didik yang dinilai telah lulus dalam sebuah program studinya. Kendati demikian, pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia membutuhkan sinergi antar komponen serta membutuhkan kesepahaman visi dan misi seluruh stake holder yang terlibat. Komponen pendidikan yang meliputi raw material (input peserta didik), tools (alat-alat dan sarana prasarana), serta process (metode pembelajaran) adalah sebuah sistem yang akan menentukan kualitas out put (lulusan). Sedangkan stake holder yang terdiri atas siswa, guru, kepala sekolah atau manajer, wali murid, dinas terkait dan pemerintah daerah harus sevisi dan sinergi sehingga memperlancar dan mempermudah pencapaian tujuan baik tujuan akademis maupun pembentukan moral. 6. Wisata Edukasi Tolak ukur keberhasilan setiap individu atau lembaga dalam proses pendidikan berbeda antara satu dengan yang lain. Begitu pula lembaga-lembaga di Pare. Pada umumnya, setiap lembaga memiliki standarisasi keberhasilan bagi peserta didiknya. Standarisasi tersebut adalah kemampuan mengimplementasikan bahasa Inggris sebagai media komonikasi dalam kehidupan sehari-sehari. Lebih daripada itu, peserta didik mampu berkomunikasi secara baik dan lancar dengan pemilik bahasa tersebut (foreigner). Untuk menguji kemampuan itu setiap lembaga mengadakan wisata edukasi ke berbagai tempat wisata di Indonesia dalam rangka berbicara langsung dengan para natif. Bersambung........................................

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun